Sihir Saman | Magic of Saman |
Oleh @ayijufridar
UDARA panas segera menyergap begitu memasuki Aula Meurah Silu Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh, di sebuah malam pada akhir Juli lalu. Sejumlah mesin pendingin udara yang menempel di beberapa sudut, diam tak mengembuskan apa pun. Entah sengaja dimatikan untuk menghemat energi, atau daya yang ada memang tidak mampu menerangi ruang aula sekaligus mendinginkannya. Dalam keadaan seperti itu, duduk diam saja sudah membuat tubuh bermandikan keringat, apalagi berjingkrat-jingkrak di atas panggung yang beralaskan kayu.
Namun itulah yang dilakukan delapan gadis remaja berjilbab di atas panggung beralaskan kayu. Udara panas di dalam aula yang terletak di lantai tiga tersebut tidak menghalangi gerak mereka. Gadis remaja tersebut duduk bersila dalam satu baris memanjang, tetapi tidak diam. Mereka menggerakkan tangan, bahu, dan kepala secara berirama.
Pada mulanya dengan gerakan lembut mengikuti syair yang dibacakan salah seorang gadis di tengah barisan. Syair itu berisi puja puji kepada Allah, penghormatan kepada hadirin (tidak ada seorang pun hadirin), dan ajakan berbuat kebajikan. Syair itu sesungguhnya pendek, tetapi disampaikan dengan irama tertentu dan diulang-ulang sehingga sebaris syair saja bisa menghabiskan waktu sampai beberapa menit.
Seiring dengan semakin cepatnya syair mengalir, gerakan tangan gadis remaja itu semakin cepat. Mereka meliuk ke kiri dan kanan. Saling bertepuk tangan dengan teman di samping. Menepuk dada kiri dan kanan bagian atas. Menepuk paha. Menepuk lantai kayu (mungkin karena alasan itulah panggungnya dibuat berlantai kayu), serta menggelengkan kepala ke kiri, kanan, depan, dan belakang.
Itulah saman.
“Saman memang artinya delapan. Biasanya dibawakan delapan penari. Tetapi ada juga yang lebih. Yang pasti, harus genap. Kalau pun ada yang ganjil, seorang di antaranya adalah pembaca syair,” ungkap Bira Agustin (24). Lelaki berkulit putih itu adalah salah seorang penari Saman yang malam itu menjadi pelatih tari bagi mahasiswa Universitas Malikussaleh Lhokseumawe untuk menghadapi sebuah even kesenian dan budaya.
Gerakan-gerakan dalam tari saman, jelas Bira, juga menyampaikan pesan keagamaan. Dalam gerakan ritmis tersebut mengandung beberapa gerakan wajib dan ada juga yang sudah dimodifikasikan dengan gerakan modern. Dalam perkembangannya, saman sudah diimprovisasi sedemikian rupa sehingga berbeda dengan gerakan saman dasar yang diperkenalkan di Gayo, Aceh Tengah.
Bira sudah mempelajari saman sejak 2001 ketika menjadi anggota Sanggar Seni Cut Meutia di Pendopo Bupati Aceh Utara. Adalah M Rizal yang mengenalkannya kepada tari saman dan sejumlah jenis tari lainnya. Bukan hanya Aceh, tetapi juga tari dari daerah lain di Indonesia. Dalam beberapa kunjungan budaya ke berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, Bira merasakan kemampuannya menari di luar sama, sangat bermanfaat. Di tangan M Rizal telah lahir puluhan – bahkan mungkin ratusan – seniman tari di Aceh bagian barat dan timur. Sayangnya, ketika didatangi Pendopo Bupati Aceh Utara di Lhokseumawe, diperoleh kabar bahwa M Rizal kini sudah bermukim di Banda Aceh seiring kian redupnya dukungan pemerintah Kabupaten Aceh Utara terhadap perkembangan seni tari.
Bira yang kini sedang menyelesaikan skripsi di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh, dipercayakan melatih pada Sanggar Tari Ratu Malikah Nur Ilah yang beranggotakan 15 penari dan ddelapan musisi. Ada even atau tidak, mereka selalu latihan setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu atau para mahasiswa sedang mengikuti ujian di kampus. Karena itu, bukan hanya saman yang mereka pelajari, melainkan sejumlah tari Aceh lainnya seperti tari poh kipah, liko pulo, ranup lam puan, dan sejumlah tari luar Aceh lainnya seperti serampang dua belas. “Tapi, kalau tampil di luar, tari saman dan seudati memang lebih mendapat apresiasi penonton. Mungkin karena kedua tari itu yang paling dikenal,” ujar Bira.
Mungkin bukan hanya itu alasannya. Saman juga menjadi tontonan yang mengangumkan karena gerakan kompak dan cepat sehingga terkesan magis. Perpaduan suara tepukan tangan, dada, paha, juga tepukan di panggung serta liukan tubuh itulah yang menyihir para penonton sehingga melahirkan tepukan tangan yang panjang seusai pementasan. Penonton seolah tidak peduli pada syair yang disampaikan dalam bahasa Gayo yang tidak mereka pahami.
Itulah yang diakui Rahmad YD, seorang fotografer di Lhokseumawe ketika pertama kali menyaksikan tari saman yang dibawakan 11 penari dari Kabupaten Gayo Lues, Aceh, dalam Peyasan Pase, sebuah evem budaya yang secara rutin pernah digelar di Aceh Utara. Rahmad mengaku kagum dengan gerakan tari dan suara serta tidak peduli dengan arti syair karena memang tidak paham bahasa Gayo.
Tari saman yang selalu menjadi tontonan favorit di Peyasan Pase tersebut, dibawakan 11 penari saman yang berpakaian khas Gayo yang dominan warna merah bata dan hitam. Motif kain yang mereka gunakan mirip dengan ulos Batak di Sumatera Utara dan Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Penari saman tersebut berasal dari Sanggar Rempelin Gayo dari Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.
Menurut Samsul Bahri, pimpinan Sanggar Rempelih Gayo tatkala itu, menari saman sudah seperti makanan sehari-hari bagi anak asuhnya. Menari bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, sehingga tidak lagi menjadi beban. Tak heran bila Rempelis Gayo berhasil menjadi grup tari berpenampilan terbaik pada 2005, 2006, dan 2007 di ajang Gebyar Wisata di Jakarta.
Saman bagi masyarakat Gayo merupakan kesenian sehari-hari. Biasanya pertandingan saman digelar antarkampung dan bisa berlangsung sampai dua hari dua malam. “Istirahatnya hanya untuk salat dan makan saja,” tambah Alamsyah Ariga (24), pimpinan Sanggar Seni Seulawet IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Saman memang tari tradisional masyarakat Gayo (Aceh Tengah) yang sudah dikenal sejak Abad XIV. Karena itu, syair yang dibawa mengiringi tari – juga istilah dalam saman – banyak dalam bahasa Gayo. Kabarnya tari ini diciptakan dan dikembangkan seorang tokoh Agama Islam bernama Syekh Saman. Tari saman adalah perkembangan dari seni tari yang asalnya diberi nama “Pok pok Ane” yaitu nyanyian sajak dengan iringan tepukan tangan, tepukan dada, dan tepukan paha. Kemudian Syekh Saman memperindah tari Pok pok Ane dengan berbagai gerakan seperti tari saman yang dikenal saat ini.
Menurut Alamsyah, saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan. “Saat turun ke sawah, atau memperingati hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad, Idul Fitri atau Idul Adha, sering digelar pertandingan saman.
Dijelaskan Alamsyah, saman bisa dibagi dalam dua bagian penting yakni syair yang dibawakan oleh syekh dan gerakan tarian. Pembukaan syair dimulai dengan rengum, yaitu pembukaan atau mukaddimah dari tari saman. “Biasanya rengum berisi ucapan salam pembuka atau puja puji kepada Allah dan Nabi Muhammad,” kata Alamsyah.
Setelah rengum dibacakan, biasanya segera diikuti dengan dering, yakni pembacaa syair oleh syekh yang diikuti seluruh penari sehingga terdengar saling bersahutan. Penari di bagian tengah sering menimpali nyanyian dengan suara pendek yang disebut dengan redet. Lalu ada juga istilah syaek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak. Terakhir, nyanyian tersebut diulang oleh seluruh penari dan disebut dengan saur.
Gerakan dalam saman menggunakan menggunakan dua unsur gerak utama; tepuk tangan dan tepuk dada. Itulah mengapa, di Sanggar Rempelih Gayo, Samsul Bahri tidak menerima anak sanggar perempuan karena ada gerakan tepuk dada. Beberapa daerah pernah mengombinasikan penari perempuan dan laki-laki. “Itu pun tidak kami lakukan,” tambah Samsul.
Ia menambahkan, syair yang dibawakan biasanya berisi pesan-pesan moral dan sarat nilai keagamaan. Mereka masih mempertahankan keaslian saman Gayo. Beberapa saman lain, sudah melakukan improvisasi seperti menambah dengan suara rapai atau gendang.[]
Photos by @ayijufridar
Dari Gayo untuk Dunia
SAMAN merupakan tarian tradisional masyarakat Gayo yang bisa dikatakan masyarakat terpencil di Aceh. Masyarakat di daerah Gayo seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan beberapa daerah lainnya, menggunakan bahasa Gayo dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Gayo berbeda jauh dengan bahasa Aceh yang digunakan masyarakat pesisir. Misalnya saja di Kabupaten Bireuen yang hanya sekitar dua jam perjalanan darat dari Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah, memiliki bahasa yang berbeda. Bukan hanya bahasa, budayanya secara spesifik juga berbeda.
Namun, tari saman bukan hanya milik masyarakat Gayo. Masyarakat Aceh pesisir seperti di Lhokseumawe dan Aceh Utara juga memelajari dan menampilkan tari saman, tidak hanya di Aceh melainkan juga di berbagai kota di Indonesia karena sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia non-benda pada 2011. Bira Agustin (24), salah seorang penari yang kini melatih saman, mengaku sudah menampilkan saman di Medan, Padang, Riau, Batam, Manado, Jakarta, NTT, Bali, dan Semarang. Bira sudah mengenalkan tari saman ke luar negeri seperti di Singapura, Brunai, Australia, dan Malaysia. “Bahkan untuk Malaysia, hampir setiap tahun kami menampilkan saman, selain seudati yang memang sangat dikenal di luar negeri,” ungkap alumni STAIN Malikussaleh Lhokseumawe itu.
Alamsyah Ariga (24) mempunyai pandangan lain tentang saman yang banyak dikenal terutama di luar Aceh. Menurut Alamsyah masyarakat luar hanya mengenal saman sehingga banyak tari serupa kemudian dikaitkan dengan saman. “Bisa jadi itu likok pulo atau rapai geleng, tapi karena dibawakan penari dari Aceh maka dikira sama,” tuturnya.
Ia mengakui sekarang ini tari saman sudah banyak yang diimprovisasi dengan tari modern, baik dalam syair maupun gerakannya. Namun, ia berharap hal itu tidak sampai menghilangkan keaslian tari saman dari daerah Gayo. “Saman itu ‘kan bukan sekadar tari, tetapi menjadi media dakwah,” tutur Alamsyah.
Adalah suatu kebanggaan bagi Alamsyah jika saman menjadi kekayaan budaya dunia. Makanya ia sangat mendukung upaya Unesco mematenkan saman sebagai tari tradisional masyarakat Gayo yang menjadi bagian dari kebudayaan milik dunia. “Saya juga bermimpi suatu saat juga ada sekolah tari saman di luar negeri,” kata Alamsyah.
Pemuda itu juga sudah menampilkan saman di berbagai kota besar di Indonesia dan juga di Malaysia, China, dan Amerika Serikat. “Akhir bulan nanti kami juga akan tampil kembali di China,” tandas Alamsyah.
Kesempatan melanglang buana juga dinikmati para penari dari Sanggar Rempelih Gayo sampai ke Spanyol dan Amerika Serikat serta sejumlah negara lainnya. Seluruh perjalanan para penari tersebut, kian mengukuhkan saman sebagai salah satu kekayaan budaya dunia.[]
Hello, @ayijufridar. Thank you for using the realityhubs tag. You have shared avery nice information. However this is not a review. What is the subject topic? That is missing. You should consider going through the following article from WIKI: https://www.realityhubs.com/dance/@ayijufridar/sihir-saman-or-magic-of-saman-or-ef31388f1116 to get a better Idea on what review is all about.
Cheers!
RealityHubs Mod
Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq
Tari Saman ini pantas masuk rekor muri. Karena jumlah penarinya juga super duper banyak. Dan kepiawan mereka sudah tak perlu di ragukan lagi.