51% Saham Freeport, keberhasilan atau kemunduran?
Malam tadi, seperti biasa di beberapa meja lain di sekitar saya, saat ngopi menjadi waktu ngobrol. Maklum kami generasi analog yang masih belum sepenuhnya terbawa gaya (sebagian) milenial, yang ngopi tapi fokus ke gawai masing-masing.
Obrolan beragam. Dari soal Fitri Rahmawati & Nikita Mirzani bin Mawardi yang berhijab (tentunya bisa diduga fokusnya di Nikita Mirzani), TGB dan kekuatan politik, sampai membahas keberhasilan pemerintah membeli 51% saham Freeport.
Image source pixabay.com
Karena sedang memberdayakan wifi gratis,
juga duduk menyendiri beda meja, untuk mencari data mengenai bagaimana komik & karakter superhero berkembang mengikuti kondisi sosial politik. Saya hanya sekilas acuh dengan obrolan yang lain.
Mendadak dari meja di samping saya seorang teman menarik saya ikut percakapan mereka. Pertanyaannya berat pula. Apa pendapat saya soal 51% Saham Freeport yang akan dibeli pemerintah.
Jujur. Itu pertanyaan yang membuat tidak nyaman. Sederhana sebabnya. Di meja mereka, melingkar dua kelompok berbeda. Loyalis Jokowi, dan pendukung #2019GantiPresiden.
Saya mendukung #2019GantiPresiden tapi juga anti fanatisme buta. Dan sepenuhnya paham, pertanyaan tadi hanya bagian dari mencari bahan tambahan dalam obrolan mereka.
Saya memilih tertawa sajalah. Debat di kedai kopi begitu, beda tipis dengan debat di sosial media.
Debat di kedai kopi dan sosial media, seringnya hanya sekadar menang-menangan. Bukan upaya mencari solusi.
Mereka paham. Berlalu, kembali ke debat mereka. Tapi saya di meja terpisah jadi kehilangan fokus. Pertanyaan itu malah terus berputar dalam pikiran saya.
Apa pendapat saya soal 51% Saham Freeport yang akan dibeli pemerintah.
Saya bukan pakar pertambangan, juga bukan menteri ekonomi yang dianggap salah satu terbaik. Saya pasti menilai dari sudut pandang awam.
Bagi saya, tercapainya kesepakatan 51% Saham Freeport itu menarik. Sebuah prestasi yang perlu dicatat.
Tapi ada sisi lain yang sejak awal muncul dalam pikiran saya.
Image source pixabay.com
Freeport terlepas dari kontrak ini-itunya beroperasi di atas (dan di dalam) bumi Indonesia. Dan kita sebagai pemilik tanah justru harus membayar untuk mendapatkan hak bagi hasil?
Logika awam saya merasa itu tidak adil.
Apalagi ketika mengetahui 51% Saham Freeport itu dibeli. Sebuah tindakan bisnis biasa, tak beda dengan kesepakatan antar perusahaan.
Bukan hanya itu, Inalum hanya memiliki setengah dana, sehingga sisanya berupa pinjaman dari beberapa investor, dari berita mereka itu bank.
Bank apa saja? Kalau bank asing, bukankah itu artinya memindahkan kekuasaan kendali dari satu pihak asing ke lainnya?
Image source pixabay.com
Bank nasional? Bank yang mana. Tiga bank nasional kita berhutang pada China.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk perseroan pada September 2015 disuntik pinjaman oleh CDB, masing-masing senilai US$ 1 miliar dengan tenor 10 tahun. Dan Tiga bank pelat merah itu menggunakan dana hasil pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai total US$3 miliar, yang sebagian besar untuk restrukturisasi utang-utang korporasi.
CNN Indonesia
Artinya, kendali tidak sepenuhnya kita pegang lagi. Karena tentu ada aturan dalam kesepakatan pinjaman itu.
Skenario yang paling nasionalis dalam pikiran saya adalah. Inalum/pemerintah tidak membeli saham itu. Dan menegaskan tidak akan memperpanjang kontrak Freeport yang akan habis 2021.
Logikanya sederhana. Kita memang rugi cukup besar selama 3 tahun itu. Tapi dengan melemahnya Dollar, penambahan hutang yang berpotensi memberi keuntungan sesaat tapi tetap membuat ada penguasaan asing pada salah satu aset besar bangsa secara jangka panjang itu bukan solusi. Ya, ada dana cepat. Tapi jangan lupa. Itu juga memperpanjang kontrol asing pada aset kita.
Dalam pikiran saya. Menegaskan tidak adanya perpanjangan akan memberi tekanan besar pada Freeport. Karena potensi tambangnya masih sangat besar.
Kemungkinan akan ada negosiasi pengalihan saham, atau apapun istilahnya, tak jauh beda dengan 51% Saham Freeport sekarang. Karena bila tidak, maka mereka sepenuhnya akan harus angkat kaki.
Kalaupun mereka memilih keluar dari Indonesia. Saya melihat kecemasan soal ketidak siapan sumber daya untuk mengelola tambang itu terlalu berlebihan.
Dengan kembalinya kendali penuh pada pemerintah, maka kontrak baru bisa disiapkan. Nilai hasil tambang yang besar tentu akan diminati oleh banyak perusahaan professional lainnya.
Bahkan terbuka peluang kontrak yang memberikan kesempatan bagi SDM nasional untuk dilatih dan memiliki keahlian operasional dan manajemen pengelolaan tambang untuk masa depan.
Image source pixabay.com
Kalah untuk menang. Mungkin itu yang mengisi pikiran saya. Apakah benar sistemnya akan berjalan seperti itu. Saya tidak tahu. Hanya saja yang saya tahu, kita saat ini hidup dalam zaman serba cepat. Seolah-olah kita adalah para speedster. Sehingga segala hal seakan wajib diselesaikan dengan cepat. Padahal sering dalam ketergesaan kita yang kita lihat sebagai peluang bisa saja berpotensi sebagai hambatan.
Saya bukan pakar. Rakyat biasa. Yang berpikir semampu kapasitasnya. Punya impian bangsa ini kembali menguasai negerinya sendiri.
Jangan dicela kalau sebagai professional anda tidak setuju. Rakyat belum dilarang berharap.
ulasan yang mantap..
Kami asal cukup makan Dan ngopi dah cukuplah banh