Cara Rezim Jokowi Naikkan BBM dan LPG Bersubsidi
Sebagai pengguna jalan dan kendaraan tentu tidak mungkin rasanya bila tidak singgah ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk kendaraan kita supaya bisa beroperasi dan tetap bisa melanjutkan perjalanan dan beraktifitas sehari-hari. Betapa jengkel dan panik ketika masuk ke SPBU untuk mengisi bahan bakar minyak (BBM) kendaraan kita, disana tertulis premium atau solar habis atau kosong.
Fenomena ini sering terjadi, bahkan setiap hari kelangkaan BBM di wilayah Aceh dan Sumut mungkin juga wilayah lain di Indonesia. Ada apa dengan pertamina, kenapa pasokan BBM tidak lancar ke SPBU? Dan sering habis, apakah pihak SPBU tidak mampu tebus ke depo Pertamina? atau justru pihak Pertamina menjual ke pengencer BBM yang mengisi dengan jeregen/galon dimalam hari?
Tentu banyak pertanyaan muncul dalam benak kita masyarakat selaku pengguna, setelah kita telusuri dan berasumsi ternyata ada indikasi pemerintahan atau rezim Jokowi menaikkan harga BBM dengan cara merubah nama atau menciptakan varian baru BBM dengan warna baru seperti Pertalite, Dexlite, Pertamax, Pertamina DEX dan lain-lain. Celakanya pelan-pelan jenis premium dan solar dikurangi pasokannya ke SPBU sehingga tidak heran ketika kita mau isi BBM kendaraan kita di SPBU, petugas bilang premiun atau solar kosong, kalau Perlite/Pertamax atau Dexlite/Pertamina Dex ada, tentu harganya jauh lebih tinggi dan mahal dari premium dan solar.
Cara menaikkan BBM dan LPG ala pemerintahan Jokowi terbukti efektif dan sukses, dimana tanpa demo anarkis dari mahasiswa dan masyarakat. Kita seolah-olah tanpa kuasa untuk menolak harga BBM terbaru tersebut. Pertanyaan lanjutan kita kemana para mahasiswa yang biasa berdemo jika pemerintah menaikkan harga BBM, Tarif listrik dan juga elpiji?
Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswanamigas) Aceh mensinyalir ada indikasi penyimpangan dalam penyaluran bahan bakar minyak (BBM), Jika di lapangan terjadi kelangkaan, maka masalahnya bukan pada kurangnya kuota, melainkan patut diduga adanya indikasi penyalahgunaan BBM yang tidak tepat sasaran. Maka aparat penegak hukum harus segera bergerak jika ada temuan atau penimbunan BBM.
Selain itu pihak Pertamina Aceh khususnya harus menjelaskan ke masyarakat terkait kelangkaan BBM dan kenaikan harga BBM, agar masyarakat tahu dan mendapatkan informasi aktual dan humanis ditengah himpitan ekonomi dan lesunya daya beli masyarakat. Tiba-tiba saja kita ke SPBU jenis premium/solar tidak ada yang ada jenis baru yang harga lebih tinggi, mau tak mau masyarakat harus beli dengan berat hati. Disatu sisi pemerintah telah menaikkan BBM dengan Soft dan senyap tapi secara makro pertumbuhan ekonomi kita juga belum menunjukan trend positif dan malah utang luar negeri semakin bengkak. Belum lagi PLN dan BUMN lainnya juga mengulah dan terus merugi kita simak di berita.
Setali dua uang, elpiji/LPG atau gas bersubsidi 3 kg alias si melon juga tiba-tiba langka dan sulit dicari di pangkalan kalau adapun di kios warga dengan harga selangit yaitu Rp. 32.000 padahal nomimalnya harga HET adalah Rp. 18.000, usut-usut punya ternyata lagi pemerintah melalu Pertamina telah membuat varian elpiji baru untuk masyarkat yaitu Bright Gas, isi 5 kg dengan harga tabungnya Rp. 350.000 dan isi ulannya Rp. 85.000.Sungguh pemerintah era Jokowi ini sangat memberatkan ekonomi masyarkat kecil dengan cara mencabut semua subsisdi untuk masyarakat miskin atau kurang mampu, sementara itu elpiji 12 kg juga mengalami sedikit kenaikan dibandingkan harga normalnya.
Ada apa dengan pemerintah Jokowi dengan tampilan merakyat tapi kebijakannya jauh dari pro kerakyatan?. Nah!!!
*) Tulisan ini telah dimuat di Harian Waspada Medan, Rabu, 25 Oktober 2017