Review Seri Acehnologi Vol. III (Kontribusi Keilmuan Alumni Luar Negeri di Aceh)

in #aceh6 years ago

Penulis mengatakan dalam bukunya, bahwa inti dari bab ini adalah untuk melihat bagaimana peran alumni luar negeri dalam masyarakat Aceh. Tidak hanya pada fenomena masa sekarang, namun juga akan dilihat pada sejarah pendidikan Aceh tempoe doeloe.

Menuntut ilmu ke negeri orang memang telah menjadi tradisi masyarakat Aceh. Para alumni ini juga bahkan dielu-elukan oleh orang Aceh. Ini terbukti dari diadakannya syukuran oleh para orang tua sang anak yang hendak berangkat ke negeri orang untuk melanjutkan studi mereka di sana. Syukuran ini bertujuan agar sang anak dilindungi oleh sang Khalik hingga sampai pada tujuan dan bisa kembali lagi ke dalam masyrakat. Sehingga berangkat ke luar negeri menjadi simbol yang amat bergengsi bagi masyarakat Aceh khususnya.

Ketika mereka pulang dari menuntut ilmu, katakanlah dari Timur Tengah, maka mereka akan berkiprah dalam masyarakat, sehingga peran para alumni tersebut begitu dirasakan karena keluasan dan kualitas ilmu yang mereka miliki. Akibatnya, peran yang nyata ini telah menjadi tradisi atau budaya ilmu yang amat mengesankan di Aceh. Dengan demikian tidak mengejutkan jika para orang tua Aceh cenderung mengirim anak-anak mereka untuk menuntut ilmu disana.

UHEnpe1w.jpg

Sedangkan orang Aceh yang menuntut ilmu ke Eropa belum begitu mencuat di kalangan masyarakat Aceh, hal ini penulis katakan karena para bangsa Eropa hanya mengkhususkan studi ke Eropa bagi kelompok bangsawan jawa saja, baik ke Belanda untuk memahami hukum-hukum mereka, maupun ke Amerika Serikat untuk mengerti ilmu-ilmu ekonomi. Inilah mengapa dalam pentas nasional orang Aceh hanya hanya diperankan oleh sarjana yang pernah mengenyam pendidikan di dayah, beberapa arsitek studi Islam di Indonesia diisi oleh putera terbaik dari Aceh.

Jika kita lihat generasi pada era 1970-an maka mereka memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan spirit keilmuan. Ini terbukti dengan adanya karya-karya mereka yang masih bisa kita jumpai hingga saat ini, belum lagi karya tersebut tidak hanya dibaca di Indonesia, melainkan juga telah dibaca oleh orang Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan.

Sayangnya generasi muda saat ini sangat minim dalam menghasilkan karya-karya hebat layaknya pada era 1970-an dan 1980-an. Hal ini disebabkan mereka yang mendapatan beasiswa untuk melanjutkan studi luar negeri seperti kawasan Eropa, Amerika Utara dan Australia cenderung dipersiapkan untuk mengisi pos-pos jabatan strategis untuk pengembangan ilmu pengetahuan, bukan usaha dalam berkarya. Sarjana ini cenderung sangat sedikit dalam hal menulis, mereka kerap ditempatkan pada jabatan penting di kampus.

Inilah yang membedakan alumni Eropa dengan alumni Timur Tengah yang mana lebih banyak langsung bersentuhan dengan masyarakat kecil dalam kehidupan sosial dan budaya karena mereka para alumni Timur Tengah dianggap berperan sebagai ustadz dan juga dianggap orang yang mampu menjawab persoalan-persoalan agama di wilayah urban.

Disamping itu ada juga staf atau pegawai yang diberangkatkan ke luar negeri untuk program master oleh pemerintah, namun sayang jarang sekali dari program ini yang berhubungan dengan penguatan ilmu pengetahuan, melainkan hanya untuk menerapkan ilmu mereka secara aplikatif. Lagi-lagi dikatakan mereka abai secara karya intelektual jika dibandingkan dengan era 1970-an dan 1980-an.

Pasca tsunami di Aceh, tepatnya masa pemerintahan Irwandi, ada didirikan lembaga khusus yang dikenal dengan sebutan KBA (Komisi Beasiswa Aceh). Ini suatu bentuk untuk menciptakan SDM Aceh yang mampu mengisi pembangunan Aceh pasca tsunami. Dengan begitu mandat untuk menciptaan otak-otak kreatif dipikul ole lembaga yang berada di bawah sayap pemerintahan Banda Aceh. Model perekrutan untuk diberangkatkan ke luar negeri pun sudah semakin terbuka, artinya siapapun bisa mendaftar, sejauh dia orang Aceh. Namun sayang program KBA ini belum begitu mengarah pada aspek mendetailkan strategi pembangunan manusia, KBA masih pada level distribusi bantuan pendidikan dan sebagai monitoring pembagian uang rakyat. Ini artinya lembaga tersebut belum mampu menciptakan agen perubahan masyarakat aceh dari masyarkat aceh bagi alumni KBA.

Untuk itu penulis berharap agar generasi muda Aceh yang berkiprah di dalam ranah keilmuan, teruntuk juga anak-anak muda Aceh yang merupakan alumni luar negeri untuk bisa memahami ranah-ranah kehidupan rakyat Aceh secara lebih baik, artinya saya menangkap penulis ingin para intelektual Aceh baik jebolan dalam negeri maupun luar negeri mampu mengabdi bagi bangsa Aceh dalam upaya memperteguh supaya proses pengenalan terhadap aceh semakin menguat dan mampu bersaing dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, sehingga tidak ada lagi lorong sejarah yang disabotase oleh pembajak ilmu yang hanya menginginkan untuk melakukan kekisruhan di dalam masyarakat Aceh. inilah harapan penulis melalui Acehnologi-nya.