Meninggalkan Keluarga bersama Sewadah Cinta
Soreku meleleh, bersama lembur yang seakan tak berkesudahan. Raga di kantor, bersama setumpuk kertas yang harus diisi data yang belum jelas berada di mana file-nya, sedangkan jiwa di rumah, mengingat seabreg persiapan yang harus selesai sebelum kembali meninggalkan keluarga ke lokasi KKN.
Ini cerita jelang maghrib kemarin, Kamis, 15 Februari 2018. Sepagi tadi, saya dan seorang kawan sudah menghadirkan diri kembali ke posko kami di Kampung Segene Balik, Kecamatan Kute Panang, Kabupaten Aceh Tengah. Berkendara sepeda motor, menempuh jarak 37 kilometer, selama lebih kurang 1 jam perjalanan dari Pegasing ke sana melalui Simpang Balik. Bekal kami lumayan banyak untuk tiga hari menginap. Ditambah pula belanjaan bahan-bahan untuk demo memasak jajanan sehat yang kami rencanakan sebagai salah satu program KKN kami di sana.
Alhamdulillaah, sebelum maghrib kemarin, saya sudah di rumah. Dari beberapa rencana persiapan, menyediakan menu makanan yang cukup bagi keluarga yang akan saya tinggal selama 3 hari menjadi prioritas. Saya meneladani mak kami dalam hal ini. Mau kemanapun, pastikan sajian untuk keluarga tersedia. Dengan begitu kita terbebas dari pikiran semisal 'anak-anak makan apa?', atau 'bagaimana kalau anak-anak lapar', dan sejenisnya.
Ikan merah bersisik atau ikan kurisi (Melayu) atau lebih dikenal sebagai tuwih dalam Bahasa Aceh dan threadfin bream dalam Bahasa Inggris dan ikan tuna yang sudah duluan dibeli, dikeluarkan dari kulkas, dibersihkan, lalu saya bagi 4 bagian untuk 4 macam menu masakan. Kemudian saya garami dan disisihkan.
Anak-anak kami pembosan, setiap hari mesti beda menu hidangan. Sebagai Bunda, sejauh mampu, saya usahakan. Berurutan, semalam saya buat menu ikan merah sambalado, ikan merah tumis aceh, tuna asam keu'eung dan tuna teuphep ngoen boh gantang atawa tuna tumis asam sunti dengan kentang.
[ikan merah sambalado]
satu bagian ikan tuna dan satu bagian ikan merah saya goreng. Sambil menggoreng ikan silih berganti, saya menyiapkan bumbunya satu persatu. Bumbu sambalado sederhana lebih dulu, berupa 20 buah cabe merah, 1 buah tomat matang, 3 siung bawang putih dan 5 siung bawang merah. Seluruhnya saya cuci bersih, haluskan dengan blender, lalu ditumis dengan sedikit minyak, tambahkan garam dan gula, masak sampai matang, masukkan ikan goreng, aduk rata, matikan api, selesai.
Lanjut menyiapkan bumbu eungkôt tumeh, phep asam sunti dan asam keu'eung. Ketiga menu ini komposisi bumbu dasarnya sama : cabe, asam sunti*, bawang putih, bawang merah, garam.
[Eungkôt asam keu'eung]
Untuk asam keu'eung, tambahannya adalah kunyit, daun jeruk, serai, jeruk nipis dan sedikit ketumbar. Serai dikeprak, daun jeruk disobek, bawang merah dirajang, bumbu selebihnya dihaluskan. Masukkan seluruh bumbu, ikan dan air secukupnya ke dalam belanga tanah, masak sampai matang.
[Eungkôt tumeh]
Untuk eungkôt tumeh atawa tumis ikan berkuah ala Aceh, bumbu tambahannya adalah serai, daun salam koja/daun kari (Aceh : ôn teumurui), dan ketumbar atau aweuh masak.** Sedangkan eungkôt tuna teuphep asam sunti ngoen boh gantang, bumbunya cukup cabe, sunti, bawang dan garam saja. Jika ingin menambah aroma harum, boleh menambahkan satu dua tangkai daun salam koja.
[Eungkôt tuna teuphep ngoen boh gantang]
Aslinya, untuk membuat menu phep ini, biasanya digunakan keumamah a.k.a ikan kayu, yaitu ikan tongkol yang direbus dan dikeringkan sedemikian rupa, lalu dirajang tipis-tipis. Secara di Aceh Tengah tidak saya temukan pedagang yang menjual keumamah, jadi ikan tuna atau tongkol segar digoreng selayang terlebih dahulu, kemudian disuwir-suwir. Tidak ada rotan, akarpun jadi. Kentang dikupas, potong-potong sesuai selera, lalu ditumis duluan sampai setengah matang dengan bawang merah. Kemudian masukkan bumbu yang sudah dihaluskan, garam, lalu masukkan ikan yang sudah disuwir-suwir dan daun salam koja. Tambahkan air secukupnya. Masak sampai matang.
Semuanya adalah menu mudah dan sederhana sehari-hari. Jam 22 malam, tuntaslah semua menu itu dimasak. Tapi, khas ibu-ibu, pekerjaan rumah tangga ada-ada saja terlihat mata. Usai memasak, meskipun lelah, melihat tumpukan piring kotor di sinc, dicuci lagi. Bersih piring, kompor pula yang terlihat kotor. Bereskan juga. Masih pula mengagendakan besok pagi-pagi harus sempat nyetrika, memasak sayur dan camilan anak lagi. Setelahnya, mudah-mudahan sempat leyeh-leyeh pula, walau sebentar, dengan anak-anak sebelum menuju arena KKN.
At least, jam 23.30 WIB jugalah badan bisa diluruskan di tempat tidur. Anak-anak tentu saja sudah lelap duluan, tanpa sempat saya antar tidur.
Pagi-pagi,saya dihampiri Faheema, anak tengah kami.
"Bunda, Bunda berangkat pagi ini?" Tanya Faheema.
"Iya, Neuk." Jawab saya.
"Lama Bunda di sana?"
"Tiga hari, Neuk."
"Tiga hari? Bagaimana kalau anaknya lapar? Siapa yang akan masakkan makanan seperti yang Bunda masak?"
Deg! Syukurlah saya sudah tuntas berjibaku di dapur semalam. Sehingga mudah menjawab pertanyaan si anak tengah ini.
"Sudah Bunda masakkan, Sayang. Kalau anaknya mau makan, tinggal minta tolong ayah panaskan. Semua sudah Bunda simpan di kulkas ya Neuk."
Lega.
Begitulah menjadi Bunda. Sebisa mungkin, tetap menghadirkan cinta untuk keluarga, terutama ketika raga tidak bisa bersama.
Bukan berarti saya sangat rajin masak untuk keluarga. Kadang-kadang malas juga melanda. Sesekali suka beli makanan jadi di warung juga. Tidak jarang makan bersama di luaran sana. Tapi ketika sosok utuh diri sedang tidak bisa membersamai keluarga, setidaknya ada sewadah cinta yang tetap hadir untuk mereka. Terhidang sempurna sebagai menu utama, pengisi perut suami dan anak-anak tercinta.
*sunti : belimbing wuluh yang dikeringkan dengan dijemur dan digarami secara tradisional, selanjutnya tahan disimpan berbulan-bulan, bahkan bilangan tahun
**aweuh masak : ketumbar yang dijemur, lalu disanggrai dengan tambahan sedikit jintan, lada, pekak/bunga lawang dan kayu manis, kemudian dihaluskan. Aweuh masak ini juga tahan disimpan berbulan-bulan.
Emak-emak tangguh dan penuh tangungjawab, beeught 😎
Hahaha, semoga, aamiin. Do'akan kami selalu di jalanNya ya @fauraria
Aamiin kak @hefa