SULTAN ISKANDAR MUDA
Menurut sebuah manuskrip (MS) Sultan Iskandar Muda lahir pada hari Senin Rabiul Awal 999 Hijriah yang bila dicocokkan pada tahun Masehi jatuh pada hari Selasa (bukan Senin) tanggal 27 Januari 1591. Adapun transkripsi dari MS tersebut adalah sebagai berikut,
“Bismillah Alrahman alrahim. Bahwasanya pada tarikh tahun hijriah sembilan ratus sembilan puluh sembilan, 999 pada dua belas Rabi'lawal hari Isnin, pada waktu dhuha telah dilahirkan Allah ta'ala seorang hamba yang kuat lagi perkasa bernama Abdullah Sulaiman bin Mansur yaitu dalam Dar al Dunia Madinat al Salatin al-Syih al-Kubra, Bandar al-ma'mur Aceh Dar al-Salam, yaitu pada zaman kerajaan Paduka Sri Sultan Ala ad-Din Mansur Syah bin Ahmad, raja Perak. Maka pada hari itu disembelih kambing satu. Dan pada pisang, buah zahib. Maka pada hari tujuh disembelih dengan lembu akikah dan dicukur rambut dan ditimbang dengan emas. Maka diberi sedekah pada fakir miskin serta khanduri. Hadir alim ulama membaca do'a selamat.
Pada hari itulah dinamakan oleh Sultan Ala ad-Din Mansur Syah, Raja Perak Pocul Abdullah Sulaiman Mansur yang memegang Kerajaan Aceh. Kemudian al-Syaikh Abd'l-Khair, berkata inilah Iskandar Muda Mansur al-Asyi. Kemudian maka berkata al-Syekh Muhammad Yamin: Inilah Mahkota Mansur, kemudian tuan kita yang mengimani, mengempu negeri bawah angin, Mahkota Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah al-Kuat. Intiha.
Dengan mukhtasar Tadzkirat tabaqat Mahkota Alam oleh Wazir al-sabil al-Mijahid Amir al-Mijahidal-Ulama Teungku di-Mele, Sayid Abdullah ibn Ahmad ibn Ali ibn Abdul Rahman ibn Usman ibn Hasan Ibn Wandi Mule Sayidi Laila al-Habib Syarif Abdullah ibn Said Abdullah al-Habib Syarif Ibrahim Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir al-Jamal Lail”.
Menurut catatan R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya disebutkan bahwa Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (1588-1604) mempunyai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Yang laki-laki bernama Maharaja Di Raja, Sultan Muda, Sultan Husen, dan Sultan Abangta Merah Upak. Anak yang pertama meninggal pada saat ia masih hidup, anak kedua diangkat menjadi pembantu dalam memerintah Kerajaan Aceh, yang ketiga ditetapkan sebagai Sultan di Pedir, dan yang keempat juga meninggal di Kerajaan Johor. Anak yang perempuan bernama Putri Raja Indra Bangsa dan Raja Putri. Yang tersebut pertama merupakan putri kesayangan Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil. Ia dinikahkan dengan Sultan Manshur, cucu Sultan Alaudin Riayat Al Kahhar (yang memerintah Kerajaan Aceh tahun 1537-1571). Dari perkawinan ini pada tahun 1950 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Darma Wangsa Tun Pangkat, yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda. Jadi kalau kita bandingkan antara keterangan dari MS di atas dengan yang dikemukakan oleh R.A. Hoesein Dajajadiningrat tentang tahun kelahiran sultan tersebut terdapat satu tahun perbedaan.
Selain itu, menurut keterangan Hikayat Aceh perkawinan Mansyur Syah dengan Putri Indra Bangsa diadakan pada masa pemerintahan Sultan Alaudin, anak Sultan Ahmad dari Perak. Menurut sumber lain memerintah dari tahun 1579 hingga 1558/6. Hikayat tersebut menegaskan pula bahwa Putri Raja Bangsa hamil sesudah pernikahannya. Penjelasan ini cocok dengan cerita Thomas Best yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada tahun 1613. Dia mengatakan bahwa Sang Raja (Sultan Iskandar Muda) pada saat itu berumur 32 tahun. Oleh karena itu, kalau pasti menurut perhitungan Islam, ada alasan untuk menganggap Iskandar Muda lahir kira-kira tahun 1583 kalau hitungan Masehi menjadi 1581 dan mangkat pada usia 55/56 tahun pada tahun 1636. Hal ini berarti bahwa umurnya kira-kira 24 tahun waktu naik tahta. Dalam hal ini mungkin karena keterbatasan sumber dan ketidakpastian informasi dari sumber yang ada, maka umumnya para penulis sejarah belum menunjukkan suatu kesepakatan tentang angka yang konkrit sehubungan dengan kelahiran Sultan Iskandar Muda.
Naskah Hikayat Aceh mengkisahkan tentang pertumbuhan Sultan Iskandar Muda. Disebutkan bahwa ketika umurnya 4 tahun kakeknya yang menyayanginya secara khusus memberinya “gajah emas dan kuda untuk permainannya”. Selain itu, juga memberi sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5 tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah yang bernama Indrajaya sebagai teman bermain. Pada umur 7 tahun anak itu sudah berburu gajah liar, pada umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang, peperangan dengan meriam-meriam kecil. Pada umur 9 tahun ia melakukan perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertahanan kecil. Pada umur 12 tahun ia berburu kerbau liar dan waktu mencapai umur 13 tahun ia mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh membuatkan 30 batu tulis dari logam mulia bagi cucunya dan teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al Qur'an dan seorang guru pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang kepadanya.
Di atas telah disinggung bahwa yang membantu atau yang melindungi Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (karena ia telah berusia lanjut) dalam memerintah Kerajaan Aceh adalah Sultan Muda. Rupa-rupanya putranya ini berambisi hendak menjadi sultan penuh. Untuk ini ia menyingkirkan ayahnya dari kedudukan sultan dan ia sendiri naik tahta memerintah sebagai sultan dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). Tahun-tahun pertama dari pemerintahan sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana besar yang menimpa Kerajaan Aceh, yaitu adanya suatu musim kemarau panjang dan ganas luar biasa yang telah menimbulkan bahaya kelaparan dan berjangkitnya suatu wabah penyakit yang menimbulkan banyak kematian di kalangan penduduknya. Sultan ini tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dan ditambah lagi dengan adanya suatu pertikaian berdarah dengan saudaranya yang menjabat sebagai sultan di Pedir. Meskipun untuk beberapa lama Sultan Ali Riayat Syah masih menduduki jabatan sultan, tetapi kerajaannya pada waktu itu merupakan sebuah kancah perampokan, pembunuhan, dan ketidakteraturan yang sangat menyedihkan. Oleh karena itu, pemerintahannya berjalan dengan tidak memuaskan rakyatnya. Hal ini disebabkan juga karena ia menduduki jabatan sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri dan ia kurang memperhatikan bahaya yang mengancam kerajaannya. Rasa tidak puas terhadap kepemimpinannya diperlihatkan pula oleh kemenakannya Darma Wangsa Tun Pangkat. Hal ini menyebabkan sultan tidak senang kepadanya sehingga dia ditangkap dan dijatuhi hukuman. Darma Wangsa Tun Pangkat kemudian dapat melarikan diri dari tahanan dan mencari perlindungan pamannya yang bernama Sultan Husen di Pedir. Di sana dia diterima dengan baik, tetapi Sultan Aceh menghendaki agar Darma Wangsa Tun Pangkat diserahkan kembali kepadanya oleh Sultan Pedir. Namun Sultan Pedir tidak bersedia, mengingat Darma Wangsa Tun Pangkat adalah cucu dari anak kesayangan ayah mereka. Perkara ini menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan otonom Pedir. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran antara kedua kerajaan ini yang menimbulkan banyak korban jiwa, akhirnya rakyat Pedir tidak mampu lagi menghadapi pihak Aceh dan Sultan Pedir (Sultan Husen) terpaksa menyerahkan kemenakannya kepada saudaranya, Sultan Aceh.
Pada saat orang-orang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro pada bulan Juni 1606 menyerang Aceh, Darma Wangsa Tun Pangkat masih ditahan sebagai tawanan. Ketika dia mendengar adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada sultan agar dia diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis. Permohonan ini rupa-rupanya dikabulkan oleh Sultan Aceh. Kemudian ia bersama-sama dengan tentara Aceh lainnya melakukan penyerangan terhadap orang-orang Portugis di sebuah benteng Aceh yang telah direbutnya.
Sesudah beberapa lama bertempur, tentara Aceh berhasil menghancurkan benteng terakhir Portugis “Kuta Lubok” dekat Krueng Raya dengan pasukan kavaleri bergajah dan mengusir kembali armada orang-orang Portugis dari Aceh dengan kerugian besar. Oleh karenanya Darwa Wangsa Tun Pangkat yang telah berjasa karena keberaniannya dalam pertempuran itu menjadi terkenal dan menarik perhatian orang-orang di kalangan istana Aceh.
Sultan Muda Ali Riayat Syah menurut Kitab Bustanus Salatin meninggal pada hari Rabu 4 April 1607. Sebagai penggantinya adalah kemenakannya sendiri, yaitu Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat dengan gelar Sultan Iskandar Muda. Pada mulanya sebahagian pejabat-pejabat di istana berkeberatan untuk menobatkan Darma Wangsa Tun Pangkat sebagai sultan karena mereka menganggap masih ada saudara Sultan Ali Riayat Syah yang lebih berhak untuk memangku jabatan tersebut, yaitu Sultan Husen dari Pedir. Menurut laporan Agustin de Beaulieu, Darma Wangsa Tun Pangkat dapat diangkat karena ibunya (Putri Raja Indra Bangsa) yang berhasil mempengaruhi orang-orang di kalangan istana, sebelum Sultan Husen datang dari Pedir. Setelah Sultan Husen mengetahui tentang kematian saudaranya Sultan Aceh, ia datang ke Aceh untuk menerima warisan dari saudaranya itu. Ketika sampai ke Aceh, ia tidak mendapatkan penyambutan yang selayaknya. Tatkala memasuki istana Aceh, Sultan Aceh yang baru yaitu Sultan Iskandar Muda yang dulu dibela dan dilindunginya, kini segera menangkapnya dan memasukkan ke dalam penjara.
Demikianlah riwayat hidup Sultan Iskandar Muda dari masa kecil hingga dia mencapai tahta sebagai Sultan Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaanya sampai ke Sumatra Barat. Selain itu, semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh berusaha mengusir para penjajah. Bahkan ia berusaha mengusir Portugis yang berada di Malaka. Atas jasa-jasa yang dilakukannya terhadap bangsa dan negara, pemerintah Republik Indonesia me-nganugrahi Sultan Iskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional.(lukisan SIM)
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://agusbwaceh.blogspot.com/2009/03/sultan-iskandar-muda.html