Saudara dari Gaza/ A Brother from Gaza (Indonesia-English)
Sejak lulus sarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, aku telah mengimpikan untuk melanjutkan pendidikanku ke tingkat master di luar negeri. Tujuanku semula adalah Australia. Namun, tidak terduga takdir mengantarku ke kota Frankfurt am Main, sebuah kota terkenal di Negara Bagian Hessen, Jerman. Dibaliknya, Allah telah menyiapkan rencana yang jauh lebih sempurna. Pengalaman sebagai minoritas di Jerman justru membuatku merasa lebih berkembang sebagai seorang muslim. Banyak pelajaran hidup kudapatkan di sana.
Tentu saja nilai dan karaktek penduduk Jerman jauh berbeda dengan Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan kampung halamanku Aceh yang sangat kental nilai islamnya. Tapi di sisi lain, Frankfurt hampir memenuhi semua standarku tentang kehidupan kota yang sempurna. Iklim yang sejuk, tidak ada polusi, transportasi umum kelas dunia, taman yang indah, sungai Main yang cantik, dan penduduk dari beragam budaya yang hidup harmonis. Begitu nyaman sehingga Kota Frankfurt am Main hampir selalu masuk dalam sepuluh besar kota terbaik dunia. Sempat aku berpikir untuk tidak kembali ke Indonesia setelah lulus. Hidupku terasa begitu sempurna disini.
Namun seketika itu berubah setelah aku bertemu dengan seorang sahabat asal Gaza, Palestina.
Aku bertemu pertama kali dengan sahabat dari Palestina tersebut saat Hausversammlung (sejenis acara briefing untuk penghuni baru asrama) di aula utama asramaku (studentenwohnheim). Aku tinggal di asrama mahasiswa Friedrich Desauer Haus (FDH) yang terletak di pinggiran Kota Frankfurt. Seperti adat disini, bir dan anggur wajib disediakan. Sebagian besar menyerbu minuman beralkohol itu. Sebagai muslim, aku memilih air putih bersoda. Lumayan banyak juga penghuni asrama yang muslim. Kebetulan aku duduk di sebelah seorang bermuka khas Arab. Aku segera berkenalan dengannya dalam bahasa Jerman yang patah-patah.
“Halo, aku Putra”, Aku menyapanya. “Aku Abdullah, dari Palestina. Kamu?”. Aku menjawab, “Dari Indonesia”. Kami berbincang sebentar. Aku ingin menanyakan sebuah pertanyaan “tabu” di Eropa kepadanya. Namun aku ingin menyimpannya hingga acara selesai.
Acara Hausversammlung selesai dua jam kemudian. Kawan baru asal Palestina dengan bersemangat mengajakku jalan pulang bersama ke asrama. Kebetulan kami tinggal satu lantai di asrama haus E. Kamar kami terletak di lantai 4. Sambil jalan, kami bercakap-cakap tentang hal-hal ringan. Akhirnya dialah yang menanyakan pertanyaan tabu yang dari tadi kusimpan:
“Indonesia memiliki banyak penduduk muslim, kan? apakah kamu Muslim?”.
Aku menjawab dengan tegas: “Ya, aku muslim”.
Dia berkata: “Alhamdulillah, maka kita adalah Bruder (saudara)”
Kemudian lanjut mengatakan: “Lihatlah Bruder, bagaimana Allah mempertemukan dua saudara berbeda negara ini di Jerman, negeri sekuler. Indah sekali, kan?”.
Aku menjawab sambil tersenyum: “Ya, bruder”.
Dia melanjutkan pembicaraanya: “Aku telah berteman dengan beberapa teman muslim asal Indonesia waktu di Berlin. Mereka sangat ramah. Indonesia walaupun jauh jaraknya, namun lebih dekat kepada kami dibanding tetangga-tetangga kami”.
Aku terkejut, terkesan sekaligus bangga menjadi seorang Indonesia saat itu juga. Aku terdiam sebentar kemudian menjawab: “Ya, aku bisa mengerti kenapa”.
Kami tiba di lantai 4. Kami mengakhiri pertemuan pertama dengan salam.
Aku mengerti kenapa Abdullah mengatakan Indonesia sebagai saudara jauh tapi dekat. Selama ini Palestina hanya mendapat dukungan seadanya dari negara-negara tetangganya, terlihat dari penutupan pintu gerbang Rafah, Mesir dan beberapa negara Arab bekerjasama dengan Israel. Indonesia juga dikatakan termasuk negara yang cukup sering mengirimkan bantuan ke Palestina, baik terbuka maupun selundupan. Selain itu, ormas-ormas islam secara aktif berdemonstrasi memberikan dukungan moral bagi Palestina.
(Israel ist Veruckt) Israel Gila
Aku sering bertemu dengan kawan Palestina tersebut di dapur asrama. Di lantai kami, tersedia satu ruang dapur dan dua kamar mandi bagi 16 penghuninya. Aku berniat memasak di dapur. Seperti biasa aku berjalan pelan sambil mencoba mendengar apakah ada orang di dapur. Ini adalah kebiasaanku karena makanan Indonesia memiliki bumbu-bumbu berbau tajam yang sering membuat bersin kawan-kawan mayoritas dari Eropa. Hari ini dapur bebas. Jadi aku segera menyiapkan semuanya sampai kemudian pintu terbuka dan terdengar salam dari Bruder Abdullah.
Hari ini kami bertukar cerita tentang kampung halaman kami. Dia terkejut ketika mendengar tentang asalku Aceh. Dia langsung menanggapi “tsunami 2004”. Aku bercerita tentang MoU Helsinki dan pembangunan Aceh yang luar biasa setelah tsunami, yang kuanggap sebagai berkah dibalik bencana. Aku juga bercerita tentang mesjid-mesjid yang tetap berdiri tegak di tengah kehancuran di sekitarnya.
“Masyaallah, luar biasa”, tanggapnya.
Abdullah balik bercerita tentang Palestina. Dia bercerita tentang Gaza. Aku menyinggung tentang rangkaian serangan Israel yang mensyahidkan ribuan penduduk Gaza. Hidungku tidak bisa mencium harumnya masakan Indonesia ketika kami berdiskusi tentang penderitaan warga Palestina saat perang tersebut. Pesawat Israel membom rumah penduduk, rumah sakit dan sebagainya. Tentara-tentara Israel membunuh penduduk Palestina, termasuk anak dan wanita.“Israel ist verruckt” (Israel gila), ucapnya dengan nada marah.
Jiwa Sejati
Setelah itu aku beberapa kali bertemu dengannya di dapur dan di U-bahn (kereta api bawah tanah). Namun pembicaraan berkesan berikutnya adalah pertemuan dengan Abdullah sepulang shalat tarawih di malam pertama bulan ramadhan. Saat itu aku menghadiri shalat tarawih di Mesjid Abu Bakar, yang hanya 10 menit jalan kaki. Mesjid Abu Bakar adalah sebuah mesjid cantik bernuansa warna hijau. Kubahnya juga indah. Jamaahnya kebanyakan muslim arab.
Mesjid membludak. Jadwal shalat isya adalah pukul 23.15 dan tarawih baru dimulai pukul 23.30. Setelah shalat, sang imam langsung meminta para makmum untuk segera pulang agar tidak mengganggu pekerjaan besok. Aku berjalan cepat sampai kemudian aku mendengar salam dari Abdullah. Aku tidak menduga bertemu dengannya. Kami bicara sambil berjalan pulang. Diantaranya tentang undangan pesta dari teman selantai. Kami berbicara tentang beberapa hal sebelum akhirnya dia bertanya: “Bruder pernahkah kamu menghadiri pesta?”.
Aku jujur saja “Ya pernah, tapi aku tidak minum alkohol. Aku hanya datang saja. Ketika mereka mulai menunjukkan geliat ingin mabuk, aku langsung permisi pulang. Bagaimana denganmu?”.
Abdullah menjawab “Tidak, ketika mereka mengajakku pesta, aku katakan saja bahwa aku muslim dan aku tidak minum alkohol”.
Sepanjang perjalanan kami berbicara tentang islam. Aku bercerita dengan bangga tentang syariat islam di Aceh, walaupun pelaksanaannya masih cacat dimana-mana. Sebaliknya Abdullah bercerita islam di Palestina, dimana walaupun dijajah Israel selama puluhan tahun, tidak pernah kehilangan kepercayaan kepada Allah. Faktanya, penjajahan Israel membuat mereka memegang teguh kepercayaan mereka.
Sebenarnya menghadiri pesta adalah hal yang tidak terlalu kusukai. Aku datang sebentar untuk menghargai undangan mereka, walaupun aku was-was dengan makanan dan minumannya. Namun aku simpan saja perasaan itu karena aku tahu teman selantai tahu aku seorang muslim dan selalu berupaya untuk menghormati kepercayaanku.
Sesampai di lantai kami, Abdullah mengajakku shalat shubuh di mesjid pagi nanti. Aku mengiyakan. Namun paginya aku tidak jadi pergi karena entah kenapa aku tidak bisa tidur. Aku sahur lebih cepat sebelum t idur. Untuk memberi tahu Abdullah, aku menempelkan kertas kecil di tombol bel kamar Abdullah yang bertuliskan “Qaseem, Abdullah” dengan pesan: “Abdullah, bruder, aku tidak bisa pergi shubuh hari ini”. Aku shalat shubuh di kamarku pagi itu.
Pertemuan terakhir kami adalah di dapur ketika imsak di akhir-akhir ramadhan. Dia masih teringat tentang aku yang membatalkan rencanaku ke mesjid di awal ramadhan. Aku bercerita padanya bahwa setelah bulan ramadhan ini aku akan berangkat ke Istanbul selama satu semester. Aku mulai berbicara tentang Istanbul. Sampai kemudian dia bertanya:
“Bruder, apakah kamu akan kembali ke Indonesia setelah studi di Jerman?”
Aku jawab pertanyaannya dengan: “Hidup di Jerman lebih baik”. Aku memaparkan rencanaku untuk menetap di Jerman. Alasanku membentang dari alasan ekonomi, mudahnya kehidupan di Frankfurt, merebaknya korupsi di Indonesia dan keburukan-keburukan lain yang dulu membuat aku dan kawan-kawan aktivisku berdemonstrasi selama aku aktif dalam organisasi mahasiswa di Yogyakarta.
“Bagaimana denganmu?” balasku.
Jawabannyalah yang mengubah pendirianku seketika.
Hari itulah aku baru tahu bahwa ia dan orangtuanya tinggal di Suriah, bukan Gaza, Palestina. Dia tidak pernah menyinggungnya selama ini. Walaupun berdarah Palestina, dia lahir di Suriah. Orangtuanya mengungsi ke Suriah puluhan tahun lalu. Keluarga tinggal di Damaskus, Ibukota Suriah. Dia mendengar cerita tentang Gaza dari kerabatnya di Palestina. Ia kuliah bidang kedokteran di Jerman dengan biaya dari orangtuanya, yang berarti dia adalah orang kaya.
Aku berkata, “Beruntungnya kamu bisa terhindar dari perang di Gaza”.
Namun jawabannya tidak pernah kusangka-sangka, “Tidak Bruder, walaupun kami hidup damai di Suriah, aku bermimpi untuk kembali ke Palestina. Walaupun seumur hidupku aku belum pernah menginjak tanah Palestina, aku pasti akan kembali ke sana.”
Aku terkejut mendengar jawabannya.
“Tapi setiap hari perang disana, Bruder”, aku berargumen,
Dia menjawab dengan mantap “Aku tahu”,
Dia terdiam sebentar, kemudian berkata “Aber Palestine mein Land ist, (tapi Palestina adalah negeriku). Ich mochte da gehen und meine Leute helfen (aku ingin kesana dan menolong orang-orangku). Insyaallah”. Aku terdiam. Kemudian dia melanjutkan:
“Wir sind Muslim, bruder, und islam ist rahmatin lil alamin.”/ "Kita adalah muslim, Saudara, dan islam adalah rahmatan lil alamin."
“Kita tidak seharusnya hidup hanya bagi diri kita sendiri”.
Dadaku terasa tertusuk sembilu. Kami berdua sama-sama muslim. Tapi Abdullah seperti kebalikan dariku. Aku takut kembali ke Indonesia karena alasan ekonomi dan kemuakanku terhadap keadaan di Indonesia. Sebaliknya Abdullah, meninggalkan kenyamanan hidup di Suriah dan bertekad kembali ke Palestina meskipun harus mempertaruhkan nyawa. Aku kemudian sadar, betapa dangkalnya jiwaku sebagai seorang muslim. Abdullah, saudaraku dari Gaza, mengajarkan pelajaran hidup yang luar biasa.
Percakapan itu menjadi percakapan terakhir kami. Perkataannya terngiang lama di kepalaku dan membuatku kembali berpikir tentang rencana masa depanku. Setelah kembali ke Frankfurt dari exchange semester-ku di Turki, aku tinggal di asrama lain. Sampai dengan kelulusanku, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya.
Tapi, percakapanku dengan Abdullah benar-benar berkesan. Aku pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Aceh, Indonesia.
English
A Brother from Gaza
Since graduating from the Gadjah Mada University Yogyakarta, I have been dreaming of continuing my education to master's degree abroad. Actually my original target was Australia. However, destiny unexpectedly brought me to Frankfurt am Main, a famous city in Hessen State, Germany. Instead, God has prepared a much more perfect plan. Experience as a minority in Germany actually makes me feel more developed as a Muslim. I learn a lot of life lesson there.
The values and characteristics of its citizen are far different from Indonesia or my homeland Aceh which is strongly influenced by islamic value. But on the other hand, Frankfurt am Main meets all my standard of perfect city life. The city has s comfortable climate, no pollution, world class public transportation, huge amount of green spaces, the beautiful Main River, and diverse population living in harmony. It is so comfortable that Frankfurt am Main is often regarded as one of top ten best cities in the world. At some point in my first year in Frankfurt, I was thinking of not returning to Indonesia. My life is so perfect in Frankfurt.
But, something change after I met a friend from Gaza, Palestine.
The first time I meet the friend from Palestine was at Hausversammlung (a kind of briefing for the new dormitory settler) in the main hall of my dormitory (studentenwohnheim). I live at Friedrich Desauer Haus dormitory located at the fringe area of Frankfurt. Of course the organizer provides a lot of beer and wine to drink. Beer and wine is a part of their culture here. But, as a Muslim, of course I choose drink water. I am the only muslim here. There as actually few muslims there. I happened to be sitting next to an arabian student. I introduce myself in German Language.
"Hello, I'm Putra", I greeted him. "I am Abdullah, from Palestine. You?". I replied, "From Indonesia". We talked for a while. I wanted to ask a "taboo" question in Europe to him. But I save it until the event is over.
Hausversammlung's event was completed two hours later. We walk together to our dormitory. Coincidentally we stayed at the same 4th floor in dormitory E. As we walked, we talked about many things. Finally it was he who asked the taboo question that I had saved:
"Indonesia has a lot of Muslim population, right? Are you a Moslem, Putra?".
I replied firmly: "Yes, I am Muslim".
He said: "Alhamdulillah, then we are Brothers (brothers)"
Then he said: "Look at this, Brother, how God brings together two different brother from different countries in Germany, a secular country. It's beautiful, isn't it? ".
I replied with a smile: "Yes, brother".
He continued: "Previously in Berlin, I also had some muslim friends from Indonesia. They are very friendly. Indonesia is far away from Palestine, but we feel that Indonesia is closer to us than our neighbors".
I was surprised, impressed and proud to be an Indonesian. I paused for a moment then replied: "Yes, I understand why".
We arrived on the 4th floor. Our room is located in different section of the floor. We ended our first meeting with greetings.
I understand why Abdullah says that Indonesia is a far away but close. So far, the Palestinians have received only modest support from their neighboring countries. Egypy close the Rafah gate which is very important to Palestinian. Some Arab countries also cooperate with Israel. While Indonesia is said to be among the countries that often send donation and aids to Palestine, either openly or smuggled. In addition, the Islamic organizations in Indonesia often commences demonstration to provide moral support for the Palestinians.
(Israel ist Veruckt) Israel is insane
I often met the Palestinian friend in the dormitory kitchen. On our floor, there is one kitchen and two bathrooms for 16 residents.
As usual I walked slowly while trying to hear if anyone was in the kitchen. This is my habit because Indonesian culinary has strong smell that often make European friends sneering. Seems like the kitchen is free. So I immediately prepared everything until then the door opened and greetings from Brother Abdullah. Today we exchange stories about our hometown. He was shocked when he heard about my homeland Aceh. He immediately responded to the "2004 tsunami" disaster. I talked about the Helsinki MoU and the tremendous development of Aceh after the tsunami, which I consider to be the blessing in disguise. I also told him the miraculous story about the mosques that remained standing in the midst of destruction.
"Masyaallah, extraordinary", responsiveness.
Abdullah shares the story about Palestine. He told me about Gaza. I mentioned a series of Israeli attacks that kills thousands of Gaza residents. The Palestinian suffers greatly. Israeli aircraft bombed houses, school, hospitals and so on. Israeli soldiers killed Palestinians, including children and women. "Israel ist verruckt" (Israel crazy), he said angrily.
The Real Soul
After that I met him several times in the kitchen and at U-bahn (underground train). But the next memorable talk was a meeting with Abdullah after the tarawih prayer on the first night of Ramadan. At that time I attended the tarawih prayer at Abu Bakar Mosque, which is only 10 minutes by walking. Abu Bakar Mosque is a beautiful mosque nuanced in green. The dome is also beautiful. Jamaahs are mostly Arab Muslims.
The mosque was full. The isya prayer schedule is at 23:15 and the tarawih starts at 23.30. After the prayer, the Imam immediately asked the congregation to go home so as not to interfere their work tomorrow. I walked quickly until then I heard greetings from Abdullah. I did not expect to see him. We talked as we walk home. Among them is about the invitation to the floor party. We talked about a few things before he finally asked: "Brother did you ever attend the party?".
I'm honest "Yes, never, but I do not drink alcohol. I just came. When they start to getting drunk, I immediately excused myself. How about you?".*
Abdullah replied "No, when they invite me to party, I just say that I am Muslim and I do not drink alcohol".
Along the way we talked about Islam. I told them proudly about the Shari'a in Aceh, although its implementation is not well. Abdullah, on the other hand, speaks of Islam in Palestine, which, although occupied by Israel for decades, Palestinian never loses faith in God. In fact, the Israeli occupation kept them firmly in their belief.
Actually attending a party is something I do not really like. I came briefly to appreciate their invitation, although I was worried about the food and drink. But I just want to keep the relationship their feeling because I know they tried their best to respect my faith.
Arriving on our floor, Abdullah invites me to pray in the mosque for morning prayer. I said yes. But in the morning I did not go because somehow I could not sleep. I eat shahur faster before I sleep. To inform Abdullah, I put a small paper on Abdullah's room bell that read "Qaseem, Abdullah" with the message: "Abdullah, brother, I cannot go to the mosque for shubuh prayer today". I prayed shubuh in my room that morning.
Our last meeting was in the kitchen when it came to the end of Ramadan. He still remembers about the shubuh prayer that I canceled. I told him that after this month of Ramadan I will leave Frankfurt to spend my exchange semester in Istanbul. I started talking about Istanbul. Then he suddenly asked:
"Brother, will you return to Indonesia after studying in Germany?"
I answered his question with: "Living in Germany is better". I explained my plan to stay in Germany. My reasons includes economic reasons, the perfect life in Frankfurt, the corruption in Indonesia and other problem that consume my country. When I was still a student activist in Yogyakarta, I often participate in demonstration to protest about these problems.
"How about you?" I replied.
That day I found out that he and his parents live in Syria, not Gaza, Palestine. He never mentioned it previously. Despite he often called himself a Palestinian, actually he was born in Syria. His parents fled to Syria decades ago. His family lives in Damascus, the capital of Syria. He heard stories about Gaza from his relatives in Palestine. He attended university in medical field in Germany funded by his parents, which means his family is very rich.
I said, "You are lucky that you don’t live amidst war in Gaza".
"No Brother, although we live in peace in Syria, I want to return to Palestine someday. Even though I've never stepped on Palestinian soil in my whole life, I'll definitely come back there. "
His answer shocked me:
"But every day there is war there, Brother," I argued,
He answered clamly: "I know",
He paused for a moment, then said "Aber Palestine mein Land ist, (but Palestine is my country). Ich mochte da gehen und meine Leute helfen (I want to go there and help my people). Insha Allah". I was struck by his statement. Then he continued:
"Wir sind Muslim, bruder, und islam ist rahmatin lil alamin." / "We are Muslim, Brother and Islam is bless for all."
"We should not live only for ourselves".
His answer struck my soul like a lightning. We are both Muslims. But he is clearly the opposite of me. I am afraid to return to Indonesia for economic reasons and the hard life in Indonesia. Abdullah, on the other hand, would leave the comfortable life in Syria and is determined to return to war-torn Palestine. He is even ready to sacrifice his life for that.
Then I realized how shallow my soul is. Abdullah, my brother from Gaza, has taught me an extraordinary life lesson.
The conversation became our last conversation. Few days later I flew to Istanbul for exchange semester. His last words stuck in my head and made me reconsider my future plans. After returning to Frankfurt from my semester exchange in Turkey, I stayed at another dormitory. Up to my graduation, I never saw him again.
But that conversation with Qaseem left its mark in me. I finally decided to return to Aceh, Indonesia.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! Readers might be interested in similar content by the same author:
https://steemit.com/writing/@rikiputra/saudara-dari-gaza-a-brother-from-gaza-indonesia-english
I have deleted the previous one to change the picture. May I do that?
Oh you are a robot.
Thnx @rikiputra for putting this info all together.
@mrainp420 has voted on behalf of @minnowpond. If you would like to recieve upvotes from minnowponds team on all your posts, simply FOLLOW @minnowpond.