MALAYSIA BRUNEI DARUSSALAM DAN INDONESIA BERUTANG BUDI KEPADA SAMUDRA PASAI (ACEH)
Keberasalan orang Melayu dan bahasa Melayu masih terus dibincangkan para ahli, sekalipun secara garis besar, mereka telah mencapai beberapa kesimpulan. Antara lain, dikarenakan kawasan selatan Sumatra (Jambi-Palembang) sampai dengan waktu ini merupakan kawasan yang terbanyak memiliki prasasti-prasasti dalam bahasa Melayu kuno, maka para ahli masih pada kesimpulan bahwa bahasa Melayu berasal dari sana.
Keberasalan bahasa Melayu ini juga dikaitkan dengan sebuah kerajaan bercorak Buddhisme yang pernah muncul di kawasan selatan Sumatera, yakni Kerajaan Sriwijaya. Sebab itu, mereka juga berkesimpulan bahwa prasasti-prasasti bahasa Melayu kuno yang dijumpai di kawasan selatan Sumatera berasal dari masa sebelum kemunculan kerajaan-kerajaan Islam.
Sementara mengenai prasasti tertua dalam bahasa Melayu kuno yang dibuat dalam zaman Islam dan masih menggunakan aksara Sumatra kuno, para ahli sepakat menunjuk prasasti pada satu batu nisan yang berada di Gampong Menye Tujoeh, Kecamatan Pirak Timur, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Nisan tersebut adalah nisan makam seorang ratu yang namanya disebutkan pada inskripsi berbahasa Arab. Beberapa ahli telah membacanya, namun menyangkut nama orang yang dimakamkan, mereka menghasilkan bacaan yang berbeda satu sama lain: Nurul A’la, Nurul ‘Aqla, Nurul Ilah, Wabisah. Saya sendiri membacanya: Danir atau Dannir. Inskripsi berbahasa Arab itu juga memuat tarikh wafat pada hari Jum’at 7 (9?) Dzulhijjah 791 Hijriah (26 November 1389 Masehi).
Sementara prasasti berbahasa Melayu kuno yang terdapat pada nisan bagian kaki makam telah dibincangkan oleh para ahli semisal J. G. de Casparis, W. F. Stutterheim, Morisson, dan yang paling mutakhir telah dibaca dan dibahas oleh Willem van der Molen dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008).
Pada prasasti berbahasa Melayu kuno ini juga disebutkan dua nama negeri di mana ratu ini telah dipertuan agung, yakni Pasai dan Kedah.
Seraya menolak bulat-bulat prasangka bahwa prasasti berbahasa Melayu kuno ini hadir di wilayah pesisir utara Aceh akibat ekspansi Majapahit, maka perlu dipertanyakan tentang kedudukan kedua negeri ini: Pasai dan Kedah—malah tiga negeri jika ditambahkan Jambur Ayir—sebelum masa Islam, atau dengan kata lain pada zaman mana pengaruh Kerajaan Sriwijaya di kawasan selatan Sumatera (geografi Arabo-Persia: Jaziratul Maharaj) masih mendominasi kawasan besar meliputi Pulau Sumatera dan Daratan Semenanjung Melayu sampai Indocina.
Kepustakaan geografi yang ditulis dalam bahasa Arab sejak Sulaiman At-Tajir (abad ke-3 H/ke-9 M) sampai dengan Ibnu Majid (wafat 906 H/1501 M) menyebutkan sebuah daerah bernama Jawah (Javah) dan mengacu ke wilayah pesisir utara Aceh. Ibnu Baththuthah yang memuat informasi lebih panjang tentang Sumuthrah (Samudra Pasai) dalam karyanya Tuhfah An-Nazhzhar menyebutkan dengan terang, ia telah melihat “Jawah” yang hijau dari jarak setengah hari perjalanan laut.
Di sini, saya memaklumi sensitivitas orang Aceh terhadap sebutan “Jawa”, tapi toponimi semisal Krueng Jawa dan Rayeuk Jawa di wilayah pedalaman Krueng Pase, menurut sumber sangat terpercaya, sudah dikenal paling tidak sejak sebelum 100 tahun silam—tokoh yang kami wawancarai untuk keterangan ini pada waktu itu (2010) telah berusia sekira 80 tahun dan ia menuturkan tentang toponimi yang sudah didengar sejak masa kakeknya yang bernama Panglima Si Kleing dari Meuraksa, Lhokseumawe. Maknanya, sensitivitas saya dan Anda tidak dapat menggugurkan kenyataan.
Mohon bersabar sejenak sebab belum tentu semuanya seperti yang kita duga selama ini, dan jangan sampai gara-gara sensitivitas yang tidak sepenuhnya beralasan itu kita akhirnya melepaskan sesuatu yang hakikatnya kita miliki. Menurut Anda yang sensitif, dari mana datangnya istilah Jawi(جاوي) atau Al-Jawi (الجاوي) itu sendiri? Jawiy merupakan sebuah nisbah yang sejak abad ke-16 sudah mulai ditabalkan untuk penghuni kepulauan bawah angin di India Belakang, dan Al-Jawiyyah menjadi nama sebuah bahasa yang merupakan muasal dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu hari ini.
Ibnu Baththuthah dalam karyanya menyebut Jawah dan Mul Jawah. Jawah, dalam catatan tahun 746 Hijriah (1346 Masehi) yang ditulis Ibnu Baththuthah, adalah wilayah di mana dijumpai sebuah kota yang besar, indah dan dikelilingi benteng serta menara-menara penjagaan yang terbuat dari kayu. Sultannya seorang Muslim pengikut mazhab Al-Imam Al-A’zham Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy—Radhiyya-Llahu ‘anhu. Sedangkan Mul Jawah adalah sebuah negeri kafir.
Sebelum Ibnu Baththuthah, Marco Polo dalam laporannya juga telah menyebutkan Jawa Minor yang nama negeri-negerinya antara lain Samara.
Maka tentang wilayah pesisir utara Aceh yang disebut dengan Jawah (Javah) dalam kepustakaan geografi Arab adalah sesuatu yang tidak saya ragukan lagi. Pelacakan bukti-bukti untuk adanya daerah inti dari wilayah yang disebut dengan Jawah ini juga masih dilakukan. Daerah aliran Krueng Jawa dan Rayek Jawa di Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, adalah di antara daerah-daerah yang sangat dinanti-nantikan dapat menyajikan informasi-informasi berguna menyangkut persoalan keberasalan Jawiy atau Al-Jawiy ini.
CISAH Lhokseumawe, pada 2011, telah melakukan ekspedisi besar-besaran di daerah pedalaman yang berjarak kurang lebih 20 km di selatan Lhokseumawe. Selain temuan-temuan dari masa Islam, CISAH juga menemukan petunjuk-petunjuk yang menyemangatkan mengenai kehidupan masa sebelumnya.
Sesuatu yang sudah ditemukan pula lewat inskripsi pada batu nisan adalah nama negeri-negeri kuno yang diyakini sudah ada sebelum Islam, yakni Pasai di wilayah Krueng Pase, Kedah di wilayah Krueng Keureuto dan Pirak, serta Jambur Ayir di wilayah Krueng Jamboe Aye. Dari ketiga wilayah ini, Kedah atau wilayah Krueng Keureuto merupakan wilayah yang berada di bagian paling tengah.
Pada 2012, CISAH telah melancarkan ekspedisi yang menghabiskan biaya besar untuk menjelajah kawasan Paya Bakoeng dan sebagian Pirak Timur selama dua bulan lamanya. Dari ekspedisi yang didukung Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara itu, CISAH membawa pulang berbagai informasi yang mengejutkan. Siapa sangka jika daerah di pedalaman Keureuto yang merupakan daerah paling belakang di Aceh Utara dan bertapal batas dengan rimba tengah Aceh itu merupakan pusat permukiman yang sangat padat, dan layak untuk disebut sebagai sebuah kenegerian atau kerajaan?!
Ratusan kompleks makam tersebar di sepanjang bantaran aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak begitu pula di tepi alur-alur air kuno. Pecahan gerabah dan keramik yang ditemukan di daerah itu, menurut Arkeolog Dedy Satria, juga menunjukkan kelas kehidupan mereka yang mewah, dan telah mampu mengimpor barang-barang mewah sejak abad ke-15 M. Ukuran dan bentuk nisan pada beberapa kompleks makam juga mengesankan adanya satu wilayah politis yang kuat dari sejak sebelum Islam datang.
Dari sumber masyarakat setempat, CISAH pada akhirnya menemukan sebuah kejelasan yang terpercaya bahwa yang dimaksud dengan Kedah pada prasasti Melayu kuno dan Arab di Meunye Tujoeh—yang juga disebut dalam sebuah sumber sekunder—ialah wilayah tengah dari aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak, dan sama sekali bukan Kedah di semenanjung Melayu.
Dua toponimi di daerah itu telah menjadi pemutus syak wasangka mengenai kedudukan Kedah yang dimaksud pada prasasti Meunye Tujoeh. Pertama, satu tempat yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Abeuk Kedah, yakni semacam kubangan atau genangan air yang berukuran relatif besar dan seringnya ditumbuhi rumpun pokok rumbia serta tanaman penyedot air lainnya, dan biasanya juga terbentuk dari bekas tempat yang terdalam (leubok) dari sebuah aliran sungai yang sudah lama tidak berfungsi akibat proses geomorlogis.
Kedua, satu lokasi yang disebut dengan Juroeng Ma Prang Kedah, artinya lorong panglima perang Kedah.
Sebuah kesimpulan yang dapat diambil secara gamblang dari data-data ilmiah yang sudah diketemukan ialah bahwa Pasai, Kedah dan Jambur Ayi merupakan daerah-daerah kuno di wilayah yang kemudian diperkenalkan oleh para pelaut abad-abad dominasi Islam dengan nama Jawah (Javah). Dan di antara daerah-daerah ini, Kedah atau wilayah di antara aliran sungai Krueng Keureuto dan Krueng Pirak telah memberikan petunjuk-petunjuk signifikan mengenai kebudayaan pra-Islam lewat peninggalan-peninggalan sejarah zaman Islamnya.
Tampaknya, Kedah merupakan sebuah kenegerian atau kerajaan kuno yang pesat dan menduduki strata yang lebih tinggi dalam kebudayaan, di samping secara jelas, dan masih dapat disaksikan sampai dengan hari, ia adalah wilayah yang paling subur di timur pesisir utara, dan memiliki hutan yang kaya. Semua ini menjadi modal bagi Kedah untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam kebudayaan dan peradabannya. Dan sesuai bukti yang ditemukan, secara mutlak dapat dikatakan bahwa Kedah merupakan sebuah kerajaan yang dalam terminologi sejarah hari ini dirumpunkan ke dalam kerajaan-kerajaan Melayu kuno. Sebagai catatan penting di sini yang tidak bisa saya lewatkan ialah pandangan saya terhadap terminologi kerajaan Melayu kuno. Dalam pandangan saya, ini adalah penamaan yang saya kira keliru. Terminologi yang paling relevan dan memiliki dasar-dasar lebih kuat sebenarnya adalah kerajaan Jawi kuno. Kiranya, dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di Aceh kelak, terminologi kerajaan Melayu kuno dapat ditukar dan diluruskan dengan penyebutan “kerajaan Jawi kuno/lama”.
Wajarlah bila kemudian, di abad ke-14 Masehi, jasad seorang ratu telah disemayamkan di sana sebab Kedah merupakan tanah leluhurnya, dan kakeknya adalah Raja Kedah seperti tersebut pada inskripsi berbahasa Arab di nisan kuburnya. Ia adalah puteri dari Sultan Al-Malik Azh-Zhahir bin Raja Khan bin Raja Kedah yang ditemui oleh Ibnu Baththuthah ketika datang ke Sumuthrah di pertengahan abad ke-14 M.
Inkripsi Nisan di Matangkuli, Aceh Utara.
Bunyi: Ayat 1-5 dari Surah Al-Baqarah.
Pelacakan untuk menembus relung waktu yang lebih awal telah pernah dilakukan namun belum menghasilkan data-data yang diharapkan. Barangkali, disebabkan penelitian yang dilakukan baru sebatas peninjauan permukaan, dan baru sekali tahapan sampai dengan saat ini. Namun bagaimanapun, daerah ini dan sekitarnya sangat menjanjikan adanya temuan-temuan yang penting menyangkut kebudayaan yang berkembang pada masa pra-Islam, asal dari kebudayaan Jawi yang secara kurang mengena hari ini telah disebut dengan kebudayaan Melayu.
Untuk satu bukti pendukung atas kedalaman akar kebudayaan Jawi di Kedah atau wilayah aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak ini saya tampilkan satu batu nisan berinskripsi Arab, yang ditemukan di Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara. Sisi yang perlu diperhatikan pada batu nisan ini menyangkut masalah yang sedang dibicarakan adalah: model kaligrafinya, begitu pula bunyi inskripsinya yang sedikit banyak juga menarik perhatian.
Dengan memperbandingkan model kaligrafi pada nisan ini dengan tulisan Melayu kuno pada nisan Ratu Dannir di Menye Tujoeh dapat diperhatikan suatu kedekatan yang memberitahukan adanya keterpengaruhan model kaligrafi Arab itu dengan tulisan Melayu kuno. Untuk saat ini belum dapat ditentukan mana yang lebih tua antara kedua batu nisan tersebut sebab dari hasil pembacaan sementara, belum ditemukan penanggalan pada nisan di Matangkuli ini. Sementara pada nisan Ratu sebagaimana telah disebutkan tadi tercantum tarikh wafat 791 (781) Hijriah.
Sampai sekarang, meskipun telah mengerahkan segala upaya yang dimiliki untuk menemukan makam tiga tokoh lain yang disebutkan pada nisan Ratu Dannir, yaitu Sultan Al-Malik Azh-Zhahir, Raja Khan dan Raja Kedah, tapi usaha tersebut masih belum menuai hasil. Jadi, boleh-boleh saja, nisan makam berinskripsi Arab di Matangkuli itu adalah milik salah seorang dari tiga tokoh tersebut, ataupun seseorang yang telah wafat sebelum Ratu Dannir. Dari segi tipologi batu nisannya terbilang unik dan masih terbilang dalam model yang mewakili abad ke-14 M. Sesuatu yang kemudian dapat mendukung ketuaan batu nisan ini dari batu nisan Ratu Dannir adalah bunyi inskripsi yang hakikatnya langka—bahkan seingat saya belum pernah—ditemukan pada nisan-nisan Samudra Pasai.
Inkripsi Nisan di Matangkuli, Aceh Utara.
Bunyi: Ayat 1-5 dari Surah Al-Baqarah.
Inskripsi tersebut adalah bunyi ayat-ayat Al-Qur’an di permulaan Surat Al-Baqarah, ayat 1-5. Yakni, ayat-ayat yang dalam susunan Al-Qur’an adalah yang pertama setelah Surah Al-Fatihah. Berikut bunyi inskripsinya:
أ.
- الم ذ(لك) الكتاب لا
- ريب فيه هدى للمتقين / الذين (يؤمـ)نون بالـ
- لغيب ويقيمون الصلاة / ومما رزاا (؟) قنا هم
ب. - ينفقون والذين / يؤمنون بما أنزل (إليـ)ـك
- وما أنزل من قبلك / وبالأخرة هم يو
- قنون أولئك على هد(ى) / من ربهم وأولئك هم المفلحون
Ayat-ayat tersebut kiranya mensinyalir sebuah permulaan; ayat-ayat yang menjelaskan dan menanamkan keyakinan penting mengenai wahyu Tuhan, serta asas-asas daripada Islam. Adalah suatu hal yang berkenaan kiranya mengukirkan ayat-ayat ini pada nisan-nisan periode pertama Islam mekar di Samudra Pasai, yakni dalam kurun waktu abad ke-14 M.
Namun yang penting, kaligrafi seperti yang terdapat pada nisan tersebut dengan jelas menampilkan keterpengaruhannya oleh kebudayaan yang pernah berkembang di Kedah, dan wilayah Jawah (Jawi) secara umum sebelum Islam. Satu bentuk kaligrafi yang dihasilkan dari percampuran cita rasa Arab dan kekhususan lokal, yakni Jawi kuno yang juga masih menggunakan aksaranya yang kuno sebelum beralih ke aksara Arab.
Untuk perkembangan bahasa Jawi selanjutnya telah disaksikan untuk pertama sekali unsur Jawi digunakan dalam pemahatan tarikh wafat pada batu nisan. Penanggalan dengan kata-kata angka Jawi telah ditemukan pada beberapa batu nisan dalam abad ke-15. Ini menandakan bahasa Jawi telah mengalami perkembangan signifikan sehingga digunakan dalam penanggalan pada monumen semisal penanda kubur. Namun penggunaan kata-kata angka Jawi pada batu nisan teramati semakin meningkat pada penghujung abad ke-16 Masehi di Aceh Darussalam. Bahkan, di permulaan abad ke-11 Hijriah, dan masih di penghujung abad ke-16 Masehi, telah ditemukan batu nisan dengan inskripsi yang seluruhnya berbahasa Jawi. Ini menunjukkan bahasa Jawi telah mencapai puncak perkembangannya di abad ke-11 H/ke-17 M Aceh Darussalam. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari data-data pada batu nisan, sampai saat ini, terlihat selaras dengan perkembangan bahasa Jawi dalam dunia pernaskahan. Bahasa Jawi yang digunakan oleh Nuruddin Ar-Raniriy, misalnya, terlihat sudah sangat mapan dan baku. Wajar jika dikatakan bahwa bahasa Jawi tumbuh dan membesar dalam kandungan abad ke-15 dan ke-16 Masehi dan mencapai kemapanannya di permulaan abad ke-17 M.
Meskipun era Aceh Darussalam abad ke-16 Masehi telah mengantarkan bahasa Jawi ke puncak kemapanannya, dalam karya-karya yang dihasilkan di abad ke-17 Masehi masih saja direkam keberasalan bahasa Jawiy dari daerah Pasai atau pesisir utara Aceh.
Untuk kenyataan tersebut, T. Ibrahim Alfian telah mengemukakannya dalam Bab IV bukunya, Kronika Pasai, bahwa Bahasa Melayu yang berkembang di Kerajaan Samudra Pasai (1250-1524 M) dinamakan dengan bahasa Jawi oleh Pujangga Hamzah Fansuri (meninggal 1590 M) dan Syaikh ‘Abdur Ra’uf As-Sinkili (meninggal 1680 M).
Alfian lalu mengutip mukadimah Syarab Al-‘Asyiqin yang ditulis Hamzah sebagai berikut:
“Ketahui bahwa faqir dan dha’if Hamzah Fansuri hendak menyatakan jalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ma’rifat Allah dengan bahasa Jawi dalam kitab ini—insyaAllah—supaya segala hamba Allah yang tiada tahu akan bahasa Arab dan bahasa Farisi supaya dapat memicarakan dia. Adapun kitab ini dinamakan Syarab Al-‘Asyiqin yakni Minuman Segala Orang yang Berahi.”
Ia juga mengutip Syaikh Syamsuddin dalam Mir’atul Mu’min:
“... Terbanyak daripada orang yang mulia daripada saudaraku yang shalih…, karena tiada mereka itu tahu akan bahasa Arab dan Parsi, tetapi tiada diketahui mereka itu melainkan bahasa Pasai jua.”
Dan sebuah keterangan yang teramat terang menisbahkan bahasa Jawi itu kepada bahasa Pasai adalah keterangan yang dinukilkan T. Ibrahim Alfian dari dalam Mir’at At-Thullab, karya paling terkenang dari Syaikh ‘Abdur Ra’uf As-Sinkili:
“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia [Paduka Seri Sultanan Tajul ‘Alam Shafiyatuddin Syah] itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj [diperlukan] kepada orang yang menjabat jabatan qadhi……”
Bahasa Pasai dan bahasa Jawi, dengan demikian mengacu kepada satu bahasa yang berasal dari wilayah pesisir utara Aceh dan mengalami awal perkembangannya sedini abad ke-14 M sampai dengan abad ke-15 M, yang kemudian dilanjutkan dalam abad ke-16 Aceh Darussalam.
Sejalan dengan perkembangan penyiaran Islam di Asia Tenggara, bahasa Jawi kemudian dengan sendirinya menjadi bahasa berbagai bangsa di kawasan ini. Sebagaimana Islam telah diterima dan berkembang secara menakjubkan di Asia Tenggara dalam abad-abad ke-15 dan ke-16 M, maka begitu pula pada gilirannya dengan bahasa Jawi yang meraup wilayah-wilayah baru yang luas di Pulau Borneo, Bugis sampai dengan Sulu di timur. Sebagaimana Islam, para penutur Jawi pun tersebar mulai Aceh di barat sampai dengan Sulu di timur kawasan, bahkan ke seberang samudera India, ke Madagaskar. Dalam kala itulah, abad ke-15 dan ke-16 M, ia menjadi Lingua Franca, bahasa penghubung masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara.
Sebelum mengkhiri pembicaraan singkat atau tulisan rintisan dalam topik ini, kiranya pantas pula saya mengajukan satu temuan baru sebagai data autentik tambahan atas apa yang telah diajukan oleh T. Ibrahim Alfian. Saya kira, andaikata Almarhum Prof. T. Ibrahim Alfian, sang guru besar sejarah itu, masih ditakdirkan hidup sampai sekarang dan menyaksikan temuan baru ini, sungguh ia akan sangat suka cita hatinya—semoga Allah Ta’ala merahmati dan meluaskan kuburnya.
Teks kolofon manuskrip yang menjelaskan Syaikh Nuruddin Ar-Raniry
menerjemahkan karyanya dengan bahasa Sumathrah (Samudra Pasai).
Manuskrip:Luengputu Manuskrip Melayu Aceh
Adapun saya, maka sungguh tiada terkira girangnya hati saya yang diiringi syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla setelah melihat salah satu koleksi Ananda saya yang baik hati, Teungku Masykur bin Syafruddin Luengputu, sang kolektor muda terkenal itu, yang dipamerkan di aula UIN Ar-Raniriy sekitar setahun yang lalu! Pada bagian kolofon salah satu manuskrip yang dipamerkan termaktub baris-baris kalimat sebagai berikut:
والله أعلم بالصواب وقد فرغ الفقير إلى الله تعالى شيخ نور الدين محمد جيلاني ابن علي ابن حسنجي ابن محمد حميد الرانري سكنا والشافعي مذهبا من جمع هذه الأحاديث (كذا) النبي صلى الله عليه وسلم وترجمها بكلام السمطرة يوم الجمعة من شهر شوال سنة خمسة والعشرين بعد ألف غفر الله [له] ولوالديه آمين
تمت كتاب فد هاري جمعة فد وقت ظهر دان يغ ميوره محمد علي دان يغ امفوث تكو تنجغ فاسي وصلى الله على خير خلقه محمد وآله وصحبه وسلم وتمت
(Dan Allah yang lebih Mengetahui akan kebenaran. Seorang yang faqir (amat memerlukan) Allah Ta’ala, Syaikh Nuruddin Muhammad Jilaniy bin ‘Ali bin Hasanjiy bin Muhammad Hamid, Ar-Ranir tempat tinggalnya, As-Syafi’iy mazhabnya, telah selesai mengumpulkan (dan menyusun) hadits-hadits Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan menerjemahkannya dengan bahasa Sumatra pada hari Jum’at dari bulan Syawwal tahun dua puluh lima setelah seribu (1025) [Hijriah]. Semoga Allah mengampunkan [baginya] dan bagi kedua orang tuanya. Amin.
Tammat kitab pada hari Jum’at pada waktu Zhuhur dan yang menyurat Muhammad ‘Ali dan yang empunya Teuku Tanjoeng Pasi. Dan shalawat beserta salam Allah ke atas sebaik-baik ciptaan-Nya Muhammad dan keluarga serta sahabat beliau.)
Teks kolofon manuskrip yang menjelaskan Syaikh Nuruddin Ar-Raniry
menerjemahkan karyanya dengan bahasa Sumathrah (Samudra Pasai).
Manuskrip:Luengputu Manuskrip Melayu Aceh
Banyak hal yang terjelaskan dari baris-baris dalam kolofon ini, namun satu di antaranya yang perlu digarisbawahi berkenaan dengan topik pembicaraan ialah keterangan bahwa Syaikh Nuruddin Ar-Raniriy telah menerjemahkan Kitab Hadits susunannya ini dengan bahasa Sumatra. Kata “Sumathrah” yang ditulis dalam manuskrip ini persis seperti kata “Sumathrah” yang terdapat dalam Rihlah Ibnu Baththuthah. Ini berarti Sumaththrah yang dimaksud adalah kota Sumathrah yang hari ini lebih dikenal dengan sebutan “Samudra Pasai”.
Dengan temuan baru ini terjelaskanlah bahwa yang dimaksud dengan bahasa Jawi, bahasa Pasai dan bahasa Sumathrah adalah sebuah bahasa yang telah dikembangkan dan disempurnakan di wilayah pesisir utara Aceh atau tepatnya di wilayah Kerajaan Samudra Pasai, dan kemudian menjadi lingua franca di Asia Tenggara, terutama di negeri-negeri Muslimya. Bahasa itu berakar dari bahasa Jawi (Melayu) kuno yang sudah lebih dahulu ada serta telah menjadi alat tutur dalam negeri-negeri di pesisir utara Aceh semisal Pasai, Kedah dan Jambur Ayir.
Inilah, kiranya, asal muasal dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang dipertuturkan hari ini dan telah menjadi bahasa resmi Malaysia dan Indonesia. Saya sangat yakin, jika tanpa Samudra Pasai (Sumuthrah) pada awalnya, dan jika tanpa Malaka dan Aceh Darussalam pada kemudiannya, sungguh bahasa ini tidak akan mencapai kemapanannya dan menjadi lingua franca di seluruh pelosok kawasan Asia Tenggara. Saya kira, negara-negara besar semisal Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia telah berutang budi kepada Samudra Pasai, begitu pula kepada Malaka dan Aceh Darussalam, atas bahasa Jawi modern yang dituturkan oleh warganya hari ini.
*) Tulisan rintisan ini sekalipun sederhana dan masih kurang mendalam, saya persembahkan untuk Adinda saya yang baik hati, Saudari Aini Aziz (Aini Aziz Beumeutuwah ), senior di Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh dan penulis Muslimah muda berbakat, yang atas dorongan dan dukungannya saya dapat menyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah Ta’ala membalas jasa baiknya serta merberkati amal dan umurnya. Teriring doa kebaikan dan salam sejahtera pula kepada organisasi di mana Saudari Aini Aziz telah menggabungkan diri, Forum Lingkar Pena, seraya menjujung tinggi persahabatan yang telah terjalin antara Penulis Muslimah Besar Helvy Tiana Rosa dan Mapesa.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.facebook.com/groups/SAHABAT.MAPESA/permalink/10153722040277552/