Dari Teungku Ke Ustadz - Bab XXXII (Vol. III)
Pada hari yang hampir malam ini, saya akan me-review kembali buku Acehnologi vol 3 bab 32 yang mengkaji tentang Dari Teungku ke Ustadz.
Sumber: youtube.com
Coba kita melihat kembali keadaan sosio-kultural pendidikan Islam di Aceh, terkhusus mengenai perubahan otoritas religi dalam masyarakat Aceh dari teungku ke ustadz. Makna ustadz adalah guru. Mereka berperan tidak hanya di lingkungan Pondok atau Dayah akan tetapi juga sebagai juru dakwah. Antara dua konsep ini sangat di kenal begitu luas di Aceh. Para ulama di kenal di daerah Aceh dengan panggilan teungku, abu, abi, abon, waled, atau abati. Di dalam hal ini terdapat hindari atau tingkatan tersendiri. Ulama yang paling tinggi di kenal dengan julukan abu (bapak), sering juga di hubungkan dengan kampong kediaman beliau, contohnya : Abon Darurrahmah, Abuya Muda Waly, Abu Tanoh Abe dan lain sebagainya.
Sumber: perahukehidupan.com
Pada masa kerajaan Islam, para ulama dijadikan sebagai penasehat khusus bagi Sultan atau Sultanah. Pada saat perang melawan Belanda, Ulama juga bergabung sebagai pahlawan yang menggunakan ideologi jihad sebagai bentuk dari perang di jalan Allah. Adapun 'teungku' yang bekerja di bawah Abu Chik atau Teungku Chik adalah seorang teungku di bale atau TPA (Tempat Pengajian Al-Qur'an). Dilihat dari segi akademik, teungku sama dengan peran seorang ustadz di dayah modern. Namun, jika dilihat dari kedudukan nya sederajat dengan tingkat SMU. Para santri atau murid belajar dari teungku bale di balai-balai dayah.
Berikut adalah teungku Rangkang. Tingkatan kedudukan teungku ini sederajat dengan sekolah menengah pertama. Teungku rangkang ini kelompoknya dipilih dari santri yang akan bertindak sebagai asisten bagi teungku bale. Tingkatan berikutnya adalah teungku meunasah. Tugas teungku meunasah ini bukanlah di dayah, melainkan di gampong (kampong). Meunasah adalah tempat anak-anak belajar Islam dan melakukan shalat berjamaah. Jadi, jika dalam sebuah kampong tidak ada satu orang pun yang belajar di dayah, maka kampung tersebut mengalami persoalan internall. Dalam artian mereka sama sekali tidak memiliki generasi yang akan menduduki posisi sebagai pengganti teungku meunasah.
Dalam bagian bab ini terdapat beberapa hal yang sangat penting, yaitu :pertama, kajian tersebut mengindikasikan bahwa di Aceh terdapat dua gelar untuk menunjukkan identitas keagamaan dalam bidang pendidikan Islam. Kedua dalam kajian ini terlihat bahwa gelar teungku tidak hanya di pergunakan dalam pendidikan Islam. Gelar tersebut sering di pakai juga oleh beberapa anggota GAM, walaupun mereka tidak ada sama sekali latarbelakang dayah. Sementara untuk lingkungan ustadz terdapat sinyal bahwa kedatangan mereka tidak hanya mengajarkan islam akan tetapi juga berperan sebagai uapaya memperluas jaringan radikalisme di Indonesia. Demikianlah review kali ini, semoga bermanfaat untuk semua pembaca.
Congratulations @andriansayuti! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!