mengenal adat kekinian suku batak
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur.
Suku batak yang dikategorikan salam khas batak yaitu sebagai berikut :
Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina”
Karo “Mejuah-juah Kita Karina”
Toba “horas jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna”
Simalungun “Horas Banta Haganupan, salam Habonaran Do Bona”
Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma tondi Matogu, Sayur Matua Bulung”
Mayoritas pada saat ini umumnya orang batak menganut agama islam Sunni dan Kristen Protestan. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tradisional yakni tradisi malim dan juga menganut kepercayaan animisme disebut (sipelebegu atau parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Batak adalah rumpun suku-suku yang didiami sebagian besar Sumatera Utara. Namun sering juga sekali orang menganggap menyebutkan batak hanya pada suku toba padahal batak tidak diwakili oleh suku toba. Sehingga tidak ada budaya dan bahasa batak tetapi budaya dan bahasa toba, karo, simalungun, dan suku-suku lainnya yang serumpun.
Suku batak dikenal dengan banyaknya marga yang diambil dari garis keturunan laki-laki. Garis keturunan tersebut akan diteruskan kepada keturunan selanjutnya. Marga tersebut menjadi symbol bagi keluarga batak. Induk marga batak dimulai dari si raja batak yang diyakini sebagai asal mula orang batak. Si raja batak mempunyai dua orang putra yaitu :
Guru Tatea Bulan
Si Raja Isumbaon
Sejarah batak
Orang Batak adalah bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda neolitikum. Karena hingga sekarang belum ada artefak neolitikum (zaman batu muda) yang ditemukan di wilayah batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6 pedagang-pedagang tamil asal India mendirikan kota dagang barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur barus dari tanah batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang tamil dari pesisir Sumatera.
Pada masa-masa berikutnya pedagangnya kapur barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur sumatera utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari barus, sorkam, hingga natal. Hingga saat ini, teori-teori masih diperdebatan tentang asal usul dari bangsa batak.
Kebudayaan yang ada pada suku batak
Orang mungkin mengenal suku batak sebagai salah satu suku yang memiliki adat keras. Dapat dikatakan bahwa kata keras disini yang dimaksud dari segi gaya bicara suku batak yang menggunakan suara yang begitu keras seperti orang yang sedang marah, serta juga cara bicara yang ceplas-ceplos. Di berbagai gaya wilayah kota besar, orang batak juga banyak berprofesi sebagai pengacara handal seperti Hotman Paris atau juga Ruhut Sitompul dan sebagainya.
Oleh sebab itu, untuk mengetahui karakter kebudayaan suku batak yang sebenarnya, perlu digali beberapa bentuk indicator kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat batak. Seperti pada kebudayaan suku jawa yang terdapat beberapa sub suku dimana antara suku jawa di Jawa Timur dan juga Jawa Tenggah memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, suku batak juga demikian.
Adat kekinian dalam tradisi suku batak
Daerah batak dahulu dalam setiap pelaksanaan acara adat, dongan sahuta (warga sekampung atau tetangga) selalu berperan vital membantu dalam pelaksanaan acara, yang menggambarkan semangat gotong royong. Namun jika acara adat ini dilaksanakan di daerah lain diluar tanah batak, apalagi di kota-kota besar hal ini tentu tak selalu bisa dilakukan, karena tetangga atau teman sekampung kemungkinan besar terdiri dari berbagai suku selain suku batak.
Selain itu pelaksanaan acara adat batak terutama pesta adat pernikahan diluar wilayah tanah batak tidak selalu dapat dilaksanakan dirumah atau halaman rumah seperti ditanah batak, karena berbagai pertimbangan keamanan dan kenyamanan lingkungan. Lalu pilihannya adalah menyewa gedung-gedung yang khususnya digunakan untuk acara pesta adat pernikahan batak.
Khusus di kota-kota besar, ketersedian tokoh-tokoh adat yang berkualitas tidaklah terlalu banyak, sehingga tidak mengherankan muncul tokoh-tokoh adat “ala kadarnya” yang hanya menjalankan fungsinya sebagai pelengkap terlaksananya sebuah acara adat. semua kondisi keterbatasan yang ada diluar wilayah asal ini pada akhirnya berujung kepada keterbatasan yang ada diluar wilayah asal ini pada akhirnya berujung kepada semakin mahalnya pelaksanaan acara adat.
Dalam ritual adat perkawinan di kota besar, mulai dari marhori-hori dinding, marhusip, martonggo raja atau marria raja, martumpol hingga manjalo pasu-pasu dan ulaon adat memerlukan biaya ekstra karena terkait dengan standar harga dan gaya hidup kota besar. Termasuk dalam mencari tokoh adat, konsultan adat, parhata bukanlah hal yang mudah di kota besar meskipun yang figur yang dibutuhkan ini notabene satu marga dengan yang membutuh.
Bagi orang batak dilarang menikah dengan satu marga dengannya ataupun tidak satu marga. Tapi masih bersaudara dalam silsilah, dalam adat batak beberapa marga masih dianggap sebagai satu silsilah sehingga dianggap saudara jadi tidak diperbolehkan menikah. Maka dalam setiap perkenalan selalu ditanyakan marga apa, supaya tidak terkandung cinta terlarang sesama marga.
Maisarah
150230057
Antropologi VB