Menjembatani Persebaran Budaya Indonesia untuk Anak-anak Dunia (Bag. 1)

in #bahasa7 years ago (edited)

sis belajar.jpg

Tepat jam sembilan lonceng sekolah dipukul tiga kali. Pagi itu para siswa kelas empat Sanur Independent School Bali duduk dalam formasi lingkaran. Mereka tengah mempersiapkan diri untuk memulai pelajaran hari itu. Bukannya langsung menuju meja masing-masing, anak-anak yang mengenakan t-shirt aneka warna tersebut harus berkumpul terlebih dahulu bersama guru kelas.
Setelah menunggu hingga tenang selama beberapa menit, Pak Sam, guru kelas empat mulai menyapa para siswa. Tanpa perlu pengalaman belajar yang mumpuni sekalipun tidaklah terlalu sulit untuk merasakan adanya tingkatan emosi yang berbeda pada diri setiap anak pagi itu. Raut wajah ceria, murung, mengantuk, atau antusias sangat mudah dikenali. Hal tersebut rupanya disiasati oleh Pak Sam dengan duduk bersama dan tenang sejenak. Kegiatan tersebut bahkan sudah menjadi agenda rutin tiap pagi. Di hadapannya ia tempatkan sebatang besi sebesar pensil yang terikat pada bilah kayu. Dengan pemukul khusus, bunyi dentingan nyaring batang besi mengiringi anak-anak duduk tenang mengatur napas. Tujuannya adalah duduk diam guna mendengarkan suara-suara di sekitar mereka. Jika sesi menenangkan diri ini berhasil cukup baik maka kadang detak jam dinding pun bisa terdengar jelas. Tak jarang selama sesi, Pak Sam juga menyampaikan beberapa kalimat yang membuat siswa merasa nyaman dan lebih siap belajar.
Dengan duduk tenang, mengatur napas, dan yang terpenting adalah fokus pada apa yang diminta, diharapkan dapat menyamakan level kegairahan siswa untuk memulai kelas. Rasa marah, cemas, mengantuk, bahkan terlalu bersemangat pun dapat diatasi. Tak jarang sesi yang mereka sebut mindful moment ini juga diisi untuk menyampaikan doa atau mengirimkan perasaan positif ketika ada salah satu siswa yang sakit, para korban bencana alam, dan kejadian lain yang memerlukan empati siswa. Hal-hal yang dekat dengan kehidupan siswa didiskusikan bersama. Walaupun anak-anak tersebut berasal dari berbagai penjuru dunia namun ketika menjadi bagian kehidupan di Indonesia, mereka turut merasakan dan mengikuti perkembangan di sekitarnya.
Beberapa guru telah terbiasa tidak mengabsen kehadiran siswa secara langsung. Bukannya membacakan daftar nama siswa, tetapi beberapa di antara mereka justru menyerahkan daftar nama tersebut kepada salah seorang siswa terpilih. Ibu Terry di suatu pagi misalnya meminta Arjuna untuk mengabsen teman-teman sekelasnya. Selanjutnya siswa berdarah Jepang – Indonesia itu mulai menyapa temannya satu-persatu. Jadi bukan guru yang mengabsen kehadiran siswa namun siswalah yang menyapa ramah teman-teman mereka. Bukankah ini adalah sebuah ‘paksaan’ yang kreatif untuk membuat mereka saling sapa dan megucapkan selamat pagi antara satu sama lain? Kadang tidak melulu dalam ragam bahasa Inggris, namun ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘apa kabar?’ juga kerap terlontar.
Lain dengan Ibu Terry ataupun Pak Sam, ada lagi Ibu Alice yang merutinkan siswa untuk belajar berbicara di hadapan teman-temannya. Melalui sesi berbagi berita terbaru (current event), siswa tidak saja diwajibkan menggali informasi tentang berbagai peristiwa aktual, tetapi bagaimana menyampaikannya dengan baik. Untuk dapat berpartisipasi dalam sesi ini siswa harus mempersiapkan dirinya di rumah. Setidaknya mereka wajib memiliki gambaran peristiwa apa yang hendak disampaikan. Selanjutnya menggali informasi dengan membaca aneka media, bertanya, atau menonton tayangan yang berisi informasi khusus. Proses lanjutannya adalah menyusun dalam paragraf yang mudah dipahami, sehingga nantinya dapat dipresentasikan dengan baik pula.
Hal menarik dari sesi berbagi cerita ini adalah ketelitian anak-anak ketika harus memilih event apa yang akan mereka ceritakan. Tak jarang, mereka justru tertarik untuk menggali lebih jauh budaya dan kejadian yang mereka jumpai di Indonesia. Peristiwa bencana alam, perayaan kenegaraan, bahkan kejadian-kejadian kecil bisa diolah menjadi ‘berita’ pagi hari.
.
Membuka Kelas Mengingat Sesama
Contoh-contoh teknik membuka kelas yang telah disampaikan di atas bagi beberapa orang yang belum terbiasa tentu akan terasa janggal. Mendapati para siswa selama hampir 20 menit duduk di lantai beralas karpet yang kadang membicarakan permasalahan yang tidak bersentuhan secara langsung dengan mata pelajaran bukanlah hal yang jamak dijumpai. Mereka tidak pernah membahas cara menemukan luas segitiga. Mereka tidak mendebat bagaimana menulis kalimat yang baik dan benar. Sebagian besar bahan diskusi justru adalah hal-hal umum di luar materi pelajaran. Namun dari sesi yang mengalir tersebutlah guru secara optimal mampu menyisipkan pesan-pesan tentang etika, kepedulian terhadap sesama, dan juga kedisiplinan.
“Jika orang tua kalian tahu kalian tidak bagus dalam perkalian mereka tidak akan terlalu kecewa dibanding kalian tidak menyapa anggota keluarga yang duduk di sebelahmu saat makan malam.” Ucap Pak Sam. Demikialah prinsip dasar yang ia harapkan dapat menyeimbangkan perkembangan akademik siswa dengan soft skill dan sikap mereka.
Membuka kelas bagi guru bisa jadi adalah hal yang menantang atau hanya sebagai bagian dari rutintas sehingga akan terus berulang secara monoton. Di sinilah guru memegang peranan penting untuk menemukan cara-cara kreatif untuk mengondisikan anak agar dalam keadaan siap belajar. Menyeragamkan level antusiasme belajar menjadi cukup vital. Selain itu membuat anak peduli dengan sesama dan lingkungan juga tak boleh diabaikan. Kemudian mengemasnya secara unik dan selalu ada kebaruan ide adalah kuncinya. (Bersambung)

Sort:  

Helo @gustiguna, apa kabar? Diupvote yah.. (Sebagian kontribusi kami sebagai witness untuk komunitas Steemit berbahasa Indonesia.)

Saya newbie,, belum terlalu paham steemit..

Terim kasih..