BI Dan OJK-Bappebti Perluas Larangan Transaksi Bitcoin
Bank Indonesia (BI) berupaya berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan instansi lainnya untuk memperluas jangkauan larangan transaksi dengan bitcoin atau mata uang digital (cryptocurrency) lainnya di Indonesia.
Kepala Pusat Program Transformasi Bank Indonesia Onny Widjanarko menyatakan BI akan meminta instansi-instansi itu ikut mengeluarkan sikap bersama mengenai larangan terhadap penggunaan mata uang digital di tanah air.
Onny menegaskan BI melarang Bitcoin dan mata uang digital lainnya di sistem pembayaran dengan tujuan untuk mencegah dampak buruk penggunaannya terhadap stabilitas sistem keuangan. Selain itu, larangan tersebut demi memastikan adanya perlindungan terhadap konsumen di Indonesia.
Dia menjelaskan selama ini penggunaan mata uang digital di Indonesia terdapat pada tiga konsep praktik. Ketiganya yakni sistem pembayaran (fee), dompet atau pengiriman dan penerimaan (pockets), pertukaran (alternate) dan mining atau kegiatan pengumpulan mata uang virtual.
"BI (melarang Bitcoin dan mata uang virtual lain) di sistem pembayaran. Kami terus koordinasi dengan instansi terkait, seperti OJK, untuk perdagangannya dengan Bappebti,” kata Onny di Jakarta pada Senin (15/1/2018) seperti dikutip Antara.
BI menilai koordinasi dengan OJK, Bappebti dan sejumlah intansi terkait lainnya penting untuk memastikan bahwa penggunaan Bitcoin atau sejenisnya dilarang di semua transaksi keuangan.
Mata uang digital dengan pangsa pasar terbesar saat ini adalah Bitcoin dengan kontribusi sebesar 33 persen atau jika dikapitalisasikan sebesar 246 miliar dolar AS. Secara general, menurut Coinmarketcap, terdapat 1.400 mata uang digital saat ini di dunia, dan yang terbesar adalah Bitcoin dan Etherum.
“Apakah ada sanksi jika mata uang digital digunakan sebagai komoditas? Itu bukan di BI, tapi kami koordinasi (dengan lembaga lain). Mungkin di BI di bagian komoditas tidak ada kewenangan, tapi memperingatkan agar tidak diperjualbelikan karena risikonya tadi, (mengancam) untuk stabilitas sistem keuangan," ujar Onny.
Baca juga:
BI Tegaskan Larang Penggunaan Bitcoin Sebagai Alat Pembayaran
Bappebti Tekankan Kajian Mengenai Bitcoin Baru Wacana
Bayang-bayang Risiko Mata Uang Kripto dan Bitcoin di 2018
Alasan BI Nilai Mata Uang Digital Ancam Stabilitas Keuangan
Direktur Eksekutif Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni V. Panggabean memastikan pihaknya akan menjatuhkan sanksi keras ke penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) maupun perbankan, yang melayani transaksi memakai Bitcoin dan mata uang digital lainnya.
"Kami tegaskan kami akan panggil dan kami kenakan sanksi keras. Sudah ada empat peraturan di Indonesia yang melarang mata uang digital," kata Eni di Jakarta, pada Senin (15/1/2018).
Ia menambahkan perkembangan pesat transaksi mata uang virtual, dengan nilai permintaan yang berlebihan, berpotensi menciptakan gelembung harga (bubble). Karena itu, maraknya penggunaan mata uang digital bisa berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan.
Selain berbahaya bagi stabilitas, transaksi mata uang digital juga berbahaya bagi perlindungan konsumen, stabilitas sistem pembayaran dan rawan digunakan sebagai modus tindakan kejahatan seperti penampungan dana terorisme dan pencucian uang.
Belakangan, salah satu jenis mata uang virtual, yakni Bitcoin makin populer di dalam negeri. Mata uang ini terkerek popularitasnya karena memiliki nilai tukar yang terus melonjak sampai 164 kali sejak April 2013 hingga Januari 2018. Nilainya kini ditaksir setara Rp214,4 juta.
Menurut Eni, Bank Sentral berupaya memastikan bahwa transaksi dengan Bitcoin tidak akan bisa dicairkan melalui perusahaan jasa sistem pembayaran. Tapi, Eni juga mengklaim larangan transaksi Bitcoin dan sejenisnya yang dikeluarkan sejak 2014 berlaku efektif. Sebab, hingga kini, BI belum menemukan perusahaan jasa sistem pembayaran yang melayani transaksi mata uang digital.
Meski perkembangan mata uang digital yang pesat di seluruh dunia, Eni mengimbau masyarakat perlu lebih berhati-hati dan tidak tergiur dengan iming-iming melonjaknya nilai alat tukar virtual itu.
"Karakteristik mata uang virtual tidak ada regulator, pseudonim, nama penggunanya juga tersamarkan sehingga rentan digunakan sebagai tindak kejahatan. Selain itu tidak ada otoritas sentral yang mengatur," ujar dia