FUNGSI MEUNASAH

in #blog7 years ago

TIMANG-RASA

DSC.jpg
Meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong (desa) mendapatkan pendidikan. Di setiap kampung di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pendidikan bagi masyarakat. Sehingga meunasah menjadi sebuah lembaga maupun saranan pendidikan agama bagi masyarakat Aceh. Menurut Sulaiman Tripa, (2006: 11). “Pada tingkatan pendidikan di meunasah ini, anak-anak didik dan diberikan ilmu tentang baca tulis Al-Qur’an dan berbagai pelajaran agama lainnya. Sisa-sisa dari jenjang pendidikan rendah ini masih dapat dijumpai sekarang karena hampir setiap gampong di Aceh memiliki meunasah”.
Fungsi meunasah sebagai tempat pendidikan Islam dalam sejarah, dimana meunasah telah memainkan peran penting dalam proses pencerdasan bangsa. Meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya, yaitu pendidikan yang berintikan agama Islam di lembaga ini. Mengikut apa yang disampaikan oleh Teungku Mustafa:
“Pada lembaga meunasah pada umumnya, metode pembelajaran yang digunakan adalah halaqah (dalam lingkaran) klasikal sesuai dengan sifat meunasah sebagai lembaga pendidikan tradisonal. Halaqah pada prakteknya seorang teungku memberikan pengajaran dengan posisi duduk di tengah, sementara anak didik (murib; aneuk miet beuët) mengelilingi teungku. Metode lain yang diterapkan dalam penyampaian materi pelajaran adalah metode sorogan, yang umum dilaksanakan di pesantren yaitu anak didik belajar secara perorangan di hadapan teungku” (wawancara dengan teungku Mustafa selaku Imum Meunasah di beringen pada tanggal 13 Januari 2016).

Proses pembelajaran yang dilaksanakan di meunasah pada hakikatnya belajar secara alamiah dengan penerapan metode-metode, seperti: mengeja yaitu seorang teungku mula-mula mengajarkan atau memperkenalkan huruf dengan bunyi (alif…ba…ta….tsa….dan seterusnya). Pada tahap mengeja ini penekanan lebih banyak tertuju pada lafal bacaan-bacaan bahasa Arab, dari pada memahami isi al-Qur’an, menghafal surat-surat pendek al-Qur’an. Pada prakteknya seorang murib (anak didik) melakukan penghafalan ayat-ayat al-Qur’an dan surat pendek di hadapan teungku. Pada tahapan ini seorang murib berkosentrasi kepada alat dengar, mengucapkan dengan lidah berulang-ulang agar tajwidnya benar.
Berbagai upaya dilaksanakan oleh teungku meunasah agar tujuan pengajaran dapat dicapai yaitu seorang anak didik dapat membaca membaca al-Qur’an dan menamatkan (khatam) al-Qur’an. Walaupun anak didik tidak memahami makna dan tafsir al-Qur’an, tetapi sistem pembelajaran halaqah, sorogan dan metode mengeja-menghafal. Persoalan makna dan tafsir al-Qur’an pada pengajaran tingkat dasar di meunasah tidak mendapatkan tekanan yang penting, mengingat penguatan makna dan tafsir dilaksanakan kurikulum tingkat pendidikan di atasnya yaitu rangkang dan dayah.
Perlu dijelaskan bahwa materi pembelajaran yang diberikan pada lembaga pendidikan keagamaan di Aceh hanya mencakup satu jenis ilmu, yang dalam istilah Aceh disebut eleumeë (dari kata Arab ‘ilm: ilmu). Menurut Baruzzaman Ismail,(2002: 15). “Eleumeë meliputi segala sesuatu yang harus dipercayai dan dilaksanakan oleh setiap muslim sesuai dengan kehendak Allah SWT yang diwahyukan pada Nabi Muhammad SAW. Ilmu tersebut diarahkan untuk mencapai cita-cita tinggi, mulia serta praktis yang memungkinkan manusia memenuhi kehendak Tuhan. Hal-hal yang berhubungan dengan eleumeë tersebut antara lain; masalah aqidah, ibadah dan mu’amalah yang dituntut syari’at Islam”.
Berdasarkan pemahaman tersebut, anak didik (murib) diharapkan dapat beriman, beribadah dan bekerja sesuai dengan tuntutan Islam. Adapun dalam kurikulum pendidikan Islam yang diselenggarakan di meunasah tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum modern yang mengandung komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Kurikulum dengan segala komponennya sulit ditentukan dalam literatur-literatur pendidikan Islam pada masa kesultanan Aceh tersebut. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam di meunasah dalam tulisan ini dipahami sebagai subjek atau materi-materi ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam suatu proses pendidikan.
M. Sadli, dalam Abuddin Nata (2011: 43) menjelaskan bahwa “Meunasah pada umumnya mendidik anak gampông khususnya anak laki-laki, selama dua sampai sepuluh tahun. Pengajarannya berlangsung pada malam hari (ba’da shalat fardhu). Materi yang diajarkan meliputi pendidikan dasar yang dimulai dengan diajarkan al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuët Quruan. Biasanya pelajaran dimulai dengan mengajarkan huruf Hijaiyah, seperti yang terdapat dalam kitab Kaidah Baghdadiyah. Diteruskan kemudian dengan membaca juz ‘amma, menghafal surat-surat pendek dan baru membaca al-Qur’an besar dengan pelajaran tajwidnya”.

Materi berikutnya di samping al-Qur’an dan tajwidnya adalah diajarkan juga pokok-pokok agama (dasar-dasar agama), seperti rukun Islam, rukun Iman, dan sifat-sifat Tuhan. Materi lainnya yaitu diajarkan rukun shalat, puasa, dan zakat. Kegiatan belajar itu berlangsung sepanjang minggu, kecuali malam Jum’at yang umumnya digunakan untuk acara kesenian yang bernafaskan Islam. Kesenian tersebut berupa nyayian (sya’ir), terutama nyayian yang berhubungan agama dan dakwah, seperti qasidah, rapai, dalael, meurukôn, dikê atau seulaweut (berasal dari kata zikir dan shalawat). “Kitab-kitab pelajaran dalam pengajian yang diberikan di lembaga meunasah, bila melihat materi-materi yang diberikan antara lain; Kitab Bidayah al-Hidayah, Kitab Perukunan, Risalah Masail al-Muhtadin karya Syeikh Daud Rumi (Baba Daud) dan karya Syeikh Muhammad Zain Ibn Faqih Jalal al-Din. Isi kitab-kitab tersebut meliputi dasar rukun Islam dan fiqih, yang merupakan kupasan ringkas pokok dokrin Islam serta kewajiban keagamaan umat Islam” (wawancara dengan teungku Usman Rauf selaku Tuha Peut di gampong Teumpen pada tanggal 13 Januari 2016).
Selain mempelajari al-Qur’an dan kitab-kitab yang telah disebutkan tadi, di meunasah aneuk miet beuët juga diajarkan tentang akhlak kesopanan, pantangan-pantangan dalam masyarakat Aceh yang sudah menjadi adat kebiasaan, seperti larangan memegang kepala orang lain, menyepak orang, menunjuk sesuatu dengan kaki, mengeluarkan angin dari bawah hingga dapat didengar orang lain-terutama dalam majelis, mengeluarkan angin dari mulut tatkala makan bersama-sama orang lain (geureu-ob), duduk di tangga dengan berselimut pada pagi hari, dan lain-lain. Tidak ada kitab rujukan khusus dalam hal ini, tetapi pantangan-pantangan tersebut langsung diajarkan teungku yang biasanya memahami adat dan budaya Aceh.
Maka dalam hal ini seperti yang disampaikan oleh Ibrahim Husen bahwa “Mendidik anak-anak dimulai dengan mengajarkan al-Qur’an, karena anak-anak telah siap dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean, pada waktu
yang sama pula diajarkannya huruf hija dan diajarkannya dasar agama, mempelajari sya’ir dan artinya (makna), yang menceritakan keutamaan budi pekerti, yang memuji ilmu pengetahuan, yang mencela kebodohan, yang menyuruh hormat ibu bapak” (wawancara dengan Ridwansyah selaku Tokoh Adat di gampong Kabu pada tanggal 10 Januari 2016).
Dari apa yang disampaikan oleh Ibrahim Husen tersebut sangat berdasar karena materi yang diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan anak didik (aneuk miet beuët) yang masih segar dan jernih. Di samping itu berhubungan juga dengan pentingnya materi-materi dasar tersebut sebagai penguat fondasi berfikir dan emosional anak didik. Walaupun demikian, kurikulum yang diberlakukan di meunasah sangat bergantung pada teungku meunasah. Apabila pengetahuan agama para teungku sangat kurang, materi pembelajaran yang diberikan sangat terbatas, kadang hanya pada hal-hal yang penting (praktis ibadah) saja seperti rukun shalat, rukun berpuasa, dan kewajiban membayar zakat.

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://anthokzz.blogspot.com/2013/05/pendidikan-islam.html

Thank you for the compliment