Runyam Yang Berembus
Senang nian hatiku. Bangsawan hujan mulai berdendang memancarkan rasa riang tiada terkira setelah musim kemarau melanda kampung kami. Para petani, tumbuh-tumbuhan, dan kawanan kambing tersenyum berseri-seri.
Tak kupungkiri hujan ialah rahmat berlinang indah, diturunkan untuk mendekapi berbagai macam kebutuhan makhluk hidup. Wahai kawan, bayangkan jika tak ada hujan, betapa runyamnya kehidupan ini.
Di balik jendela kaca rumah yang berembun. Kupandangi hujan dan kurasakan tiap-tiap dentingannya di atas seng. Aih, terhibur nian diriku di tengah-tengah kondisi fisik yang malang ini. Sebab untuk sekian kalinya aku kena seruduk oleh sapi hamil senewen. Kawan, mohon maaf, tak ingin aku berpanjang kisah perihal seruduk itu. Kecuali kalau ditulis ke dalam novel. Hhmm.
Guyuran hujan secara otomatis membuat kali di depan rumahku yang semula kering menyedihkan, kini dilintasi air kesyukuran. Sehingga beriak-riaklah para komplotan anak kecil berburu ikan ketika usai hujan. Barangkali hal semacam itu sudahlah cukup menjadi pendendang keceriaan mereka.
Maka tak kulewatkan momen tersebut untuk membidik mereka. Namun apalah daya. Baduludin, salah satu bocah yang bercita-cita ingin menjadi atlet pelari kencang sekuat jiwa raga macam Usain Bolt itu, mongomel-ngomeliku.
“Bek ka poto-poto long, ku cok hp, ku tik bak lueng”. Ia mengancam ingin mengambil hp ku serta dilempari ke kali karena tak mau di foto.
Bibirku terdiam, tubuhku tetap kokoh laksana tiang bendera di kantor bupati, tanganku tiada henti membidik. Tanpa buatan, semakin benderanglah Baduludin menggerutu macam emak-emak dalam drama sinetron.
Ketika kurasa semua sudah cukup, kepada tuan Baduludin kumohon undur diri dan kuberikan ia sebuah permen. Diambilnya permen itu dengan tatapan mata setajam belati.
mantap lanjutkan @wahyusetiawan
Terimakasih bung @hattaarshavin