Di Suatu Kafe di Masa Depan

in #cerpen7 years ago (edited)

Future-of-Technology-840x420.jpg
Gadis di belakang meja itu masih remaja, pipinya berjerawat kecil-kecil. Dadanya terbungkus celemek biru barista.

Tulisan di dadanya hanya mengatakan bahwa dia seorang trainee. Dia menawariku senyum malu-malu dengan bibir yang mengilap berkilau tipis tertutup rapat. Di pangkal hidungnya bertengger kaca mata bingkai plastik merah murahan yang berbenturan dengan blus kuningnya, membuatnya tampak seperti tenda promosi minuman kemasan kotak di CFD Dago hari Minggu.

Melalui lensa tambahan, dia menyipitkan mata menatapku, mungkin mencari kesamaan. Namun, lebih cenderung untuk mengukur tingkat layanan pelanggan yang kuharapkan.

Dia tidak bisa membaca data diriku. Aku orangnya tertutup. Aku tak mengizinkan komentar omong kosong di Google4D atau Facecloud-ku—atau yang biasa disebut fordi dan awan. Untuk menjaga privasiku, aku membayar dengan sejumlah bitkredit setiap bulannya. Sebagai gantinya, dataku dijaga ketat, terkunci dan terbenam dengan aman di lapis terbawah Deepweb. Selain penampilan fisikku, yang diketahui gadis trainee ini hanyalah namaku Aisha, umurku lima puluh dua tahun, pekerjaanku sebagai pialang saham di sebuah lembaga keuangan setempat. Dia juga akan menemukan bahwa aku pendiri sebuah yayasan amal yang dinamai dengan nama gadis kecilku.

Lensa tambahanku sendiri berbingkai platinum buatan Jerman dengan gagang earphone yang ergonomis, sesuai dengan lekuk telingaku sehingga nyaman dipakai. Berwarna persik lembut yang mampu mendinginkan lampu neon menyilaukan di plafon kafe.

Aku mengedipkan mata memindai wajahnya, berharap bisa mempelajari nama gadis itu. Segera kata-kata dan gambar membanjiri lensaku.

Bisik-bisik tak sabar berkembang dari antrean di belakangku, sementara aku berdiri tegak tanpa suara, berusaha menyerap semuanya. Namanya, tertulis dengan huruf berwarna merah jambu berkelap-kelip: Mila. Zodiaknya Scorpio, umurnya enam belas tahun jalan tujuh belas. Dia memelihara seekor kucing bernama Tristan. Semalam dia menonton film komedi romantis di multipleks tadi di mal pinggir kota dan memberi nilai empat dari lima bintang.

Dia juga menulis di blog yang berisi puisi-puisi sendu dan foto-foto hitam putih pohon yang meranggas. Statusnya merupakan ungkapan perasaan yang lembut tentang eksistensinya, hati dan harapannya dan bagaimana dia bertahan melewati detik-detik harinya.

Mila hanya sendirian bersama potret kucing dan puisi-puisinya, yang mengisi awan dirinya. Penilaian dan komentar teman-temannya mengendap-endap, menggerogoti rasa percaya dirinya. Beberapa menyebutnya pemalu, pendiam, tertutup. Sebagian besar merundungnya dengan font compang-camping dan salah eja bahwa dia jelek, bodoh, menjijikkan.

Semuanya sepakat bahwa dia ‘aneh’, dan kata itu menggantung bagai sarang gagak di atas profil dirinya.

Dia masih di bawah umur. Seharusnya orang tuanya melindunginya dari kekejaman dunia. Mungkin mereka terlalu asyik dengan diri mereka dan lupa bahwa mereka memiliki anak.

Mungkin dia telah menyerah pada tekanan kehidupan remaja yang berat dan meminta orangtuanya untuk tidak ikut campur. Apapun itu, luka di hatiku kembali terkoyak-koyak.

Aku mengedipkan mata dan ‘awan’-nya lenyap. Tanpa data-data itu, dia hanyalah seorang gadis, rambutnya yang halus membingkai senyum terpaksa di wajah yang menyimpan kesedihan dan sakit hati.

Antrean di belakangku makin tak sabar. Aku menyebutkan pesananku dengan nada sehangat mungkin.

"Gayo arabica, besar, tanpa gula."

Dia mengangguk diam, dan meraih tumpukan cangkir besar yang tinggi di sebelah kirinya. Masih saling lekat, dia menyentak dengan kedua tangannya. Menara cangkir itu perlahan-lahan miring, sebelum akhirnya ambruk berserakan di lantai keramik, terpental ke kaki meja dan sepatu para pelanggan yang mengantre.

Intensitas dengung menggerutu kesal bertambah kencang.

Seorang lelaki ceking mengenakan kemeja ketat dengan lengan tergulung bergegas dari balik mesin cappuccino. Matanya menyipit dan rahangnya mengeras.

"Mila, ke sini," katanya.

Bibir Mila bergetar. Dia mengikutinya.

Aku menikmati kopiku. Uapnya yang mengepul menguarkan aroma menggoda segar dan gratis. Selembar kartu hadiah yang dapat kugunakan kapan saja untuk mendapatkan sandwich tanpa bayar.

"Maaf atas ketidaknyamanan Anda," kata pria kurus itu. Lensanya terbungkus bingkai perak. Aku berkedip untuk membuka awan-nya dan tahu bahwa namanya Markus, umur dua puluh tujuh tahun. Mitra-mitranya menganggapnya teliti dan efisien.

Aku bisa saja mengedip untuk memberi ulasan berikut satu bintang untuk penampilannya, jika aku mau.

Tapi itu bukan sifatku. Sebaliknya, aku mengucapkan terima kasih padanya dan pergi.

Di luar, langit suram dan angin dingin berhembus kencang.

Mila duduk di atas trotoar di pinggir jalan. Hidung merah, air mata membanjiri lensa plastik.
Kardigan rajutan hijau terkancing rapat menutupi kaus kuningnya. Celemeknya sudah tak ada.

Dia melihatku melangkah ke trotoar, maka dia berdiri dan bergegas untuk pergi. Sebuah kata baru, dengan huruf bergerigi dari awan perusahaan muncul di pinggiran jendelanya: tidak kompeten.

Dia bergegas ke jalan, menjauh dariku. Kata sifat bagai gergaji itu mengikutinya.

Aku mengedip untuk mengisi komentar dan membisikkan sebuah kata dalam desah napasku. Kata yang kuharapkan untuk kukatakan pada gadis kecilku, berulang kali selama tahun-tahun yang dingin, saat dia seumuran dengan Mila.

Jika saja aku mengatakannya dulu dan dia mendengarnya, mungkin hidupnya tak harus berakhir tragis. Saya memilih huruf, dan mengirimkan komentarku.

Aku telah membeli lensa tambahan rancangan desainer ternama untuk Mila. Data komentar akan masuk dalam sekejap dan tetap anonim.

Dia akan mendengar dengungan, tapi dia takkan pernah tahu siapa pengirimnya.

Mila berhenti di bawah pohon angsana layu di sudut jalan. Dia memindai persimpangan, menyipitkan mata ke deretan kaca jendela toko. Dia berbalik, tapi tatapannya melewatiku, mencari sumber yang lebih pantas dari pada seorang wanita tua yang telah menyebabkannya kehilangan pekerjaan. Ekspresinya masih jengkel, tapi air matanya telah berhenti.

Cukup lama dia berdiri di situ sebelum menyerah. Dia berjalan menyusuri blok pertokoan, seulas senyuman mengintip dari sudut bibirnya. Dagunya terangkat.
Awan-nya mengikutinya, jejak panjang huruf-huruf yang menari di atas kepalanya. Di bagian akhir ada satu kata, yang semakin kecil mengikuti langkahnya yang menjauh. Tertulis dengan huruf merah jambu berkilauan yang sama dengan namanya:

“Cantik.”

 
Bandung, 15 Januari 2018