Laila
Kugapai raket nyamuk yang tergantung di bibir jendela. Sreeet.... Raket kuayunkan pada laler yang terbang. Kena! Tetapi kok terbang lagi? Halah, raketnya tidak menyala.
Dua ekor laler ini terbang hilir mudik mengganggu lamunan. Tak jarang juga hinggap di kepala. Sementara kepalaku penuh isi tentang Laila. Laler dan Laila sepertinya mempunyai niat yang sama: mengusikku.
Tetapi aku justru ingin bisa terbang seperti laler. Terbang mengejar Laila. Tetapi sekarang Laila ada di mana? Aku kehilangan kontak sejak dia memutuskan tak mau menerima teleponku lagi, karena aku menikahi Jenita.
Tetapi apakah betul tersebab Jenita, Laila memutus kontak denganku? Jangan-jangan tersebab lelaki lain, Laila mengakhiri kontak. Tetapi gak mungkinlah. Laila termasuk orang yang susah melupakan kenangan. Bahkan kenangan buruk sekali pun.
Kebon Kacang beberapa tahun silam. Aku seperti mati berdiri. Menakjubkan! Perempuan itu sungguh mempesona. Dari gerai rambutnya aku sudah merasa terikat. Maakk... senyumnya. Ia melempar senyum padaku.
Hanya itu. Ya, hanya senyum itu. Sesaat ia sudah menghilang. Turun ke lantai bawah.
Ya, aku mengenalnya di tempat kontrakan. Aku pindah tempat kontrakan agar supaya lebih dekat kantor di Tanah Abang. Awalnya memang seperti itu. Sesudahnya, sampai seminggu kemudian aku tidak melihat perempuan yang mempesona tadi, apakah ia penghuni kontrakan ini atau tidak.
Aku gelisah. Perempuan itukah penyebabnya? Entah. Eh, mungkin ia. Senyumnya, rasanya sudah menusuk hati. Aku ingat sebuah adagium lama, "Cukup satu menit untuk menaksir seseorang..." Betulkah adagium ini? Rasanya ada benarnya juga. Aku dibuat kenyat-kenyut. Klepek-klepek.
Dan aku sudah sampai di depan pintu kamar Mbak Sus. Mbak Sus adalah asisten di rumah kontrakan ini yang mengurus semua tetek-bengek keperluan dan kebutuhan pengontrak. Mulai dari mencuci, menyetrika, sampai urusan pijit memijit para penghuni perempuan.
"Ada apa Mas Yoga kok termenung di depan kamarku?" Mbak Sus menegur. Rupanya ia dari bawah.
Eh, anu, halaah... aku kelimpungan. "Anu Mbak Sus..."
Mbak Sus tersenyum. Senyumnya malah menambah grogiku.
Aku mencoba menenangkan diri. Busyet. "Simbak yang kemaren ketemu di sini itu ke mana ya, Mbak? Apakah ia bukan tinggal di sini?"
Mbak Sus masih tersenyum. "O Mbak Laila? Dia memang tinggal di sini. Biasanya kalau ia tidak ada, berarti ia sekarang nginap di rumah kakaknya di Pancoran. Dia memang suka begitu."
Aku menarik napas lega. Berarti Laila, eits... namanya Laila. Nama yang keren. Aku ingat sebuah lagu Madonna. Laila bonita... (hehehe, salah ya?).
"Kenapa memang, Mas?" Tanya Mbak Sus lagi.
Oh... Eh.... Aku hilang akaaalll....
"Laila, aku ingin mengajakmu menikah." Dan inilah kalimat terakhir yang aku lontarkan kepada Laila.
Setelah pertemuan pertama dengan Laila yang membuat jantungku berdebar-debar tempo hari, sesudah itu kami suka jalan berdua. Rasanya cocok. Rasanya klop. Rasanya tak mau berpisah. Dan Laila sanggup menghentikan kebiasaan merokokku yang melebihi umum. Tetapi aku tak bisa mengikat hatinya. Laila tidak meng-iya-kan permintaanku, juga tidak -bilang tidak- atas permohonanku itu. Aku digantung tak bertali. Dan itu tidak enak.
Laler masih berseliweran di kepalaku. Bahkan yang satu hinggap di hidung. Aduuuh aku kok kayak sapi? Aku geleng-gelengkan kepala. Lalernya terbang. Tetapi Laila juga tidak terbang dari kepalaku.
"Terbang, terbanglah, Laila." Rutukku. "Kalau kau marah kepadaku kenapa waktu kuajak menikah dulu, tak kau iya-kan? Terbang, terbanglah dari kepalaku, Laila. Aku sekarang ingin terbang bersama Jenita."@eds