Kupiah Meukeutob : The Anchestral Heritage Masterpiece (English on Italic)
Salam Sejahtera para Steemian Semua, kali ini perkenankan saya menulis beberapa informasi terkait budaya, khususnya Budaya Aceh, terkait topi tradisional rakyat Aceh yang disebut dengan Kupiah Meukeutob. Mungkin terkait topik ini sudah ada beberapa postingan sebelumnya dari para steemian sebelumnya, tapi tidak mengapa untuk saya angkat kembali, semoga menjadi tambahan terhadap informasi yang disajikan.
Hello all Steemian friends, this time please allow me to write some information related about cultural heritage, especially Aceh Culture, related to traditional hats of the people of Aceh called Meukeutob. Perhaps this topic there have been some previous posts from the steemian before, but iwant to lift it back, hope it will be additional information presented.
Sebagai makhluk yang lemah, manusia dituntut untuk terus mengisi kehidupanya dengan berbagai peralatan untuk mempertahankan kehidupan. Pakaian merupakan alat yang sangat sakral untuk mempertahankan kehidupan, dengan adanya pakaian manusia dapat bertahan dari cuaca dan gangguan makhluk lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah peradaban manusia, alat penutup kepala merupakan manifesto terbesar yang pernah ditemukan oleh manusia. Dengan adanya penutup kepala hampir dari 50% kehidupan manusia terhindar dari marabahaya atau hilangnya nyawa seseorang. Sejarah juga membuktikan dari awal kehidupan manusia bahwa dalam setiap peperangan bangsa-bangsa yang ikut serta didalamnya juga memakai penutup kepala sebagai alat pelindung dari serangan musuh, dan bahkan sampai saat ini kita kenal penutup kepala tersebut dengan istilah helm/helmet.
As a weak creature, humankind is required to continue and fill his life with various tools to sustain life. Clothing is a very sacred tool for sustaining life, with human clothing able to withstand weather and other creatures' distractions. It can not be denied that in the history of human civilization, the headgear is the greatest manifesto ever discovered by human. With a head covering almost 50% of human life is protected from distress or loss of life. History also proves from the beginning of human life that in every war of nations who participated in it also wear head cover as a protector of enemy attack, and even until now we know the head cover with the term of helmet.
Budaya Aceh merupakan bagian dari kekayaan budaya nusantara (Indonesia), hampir setiap daerah di Indonesia memiliki pakaian adat/tradisional yang memiliki penutup kepala, contoh saja Blangkon dari pulau Jawa yang hampir setiap daerah memiliki ciri khas tertentu. Dalam sejarah budaya masyarakat Aceh penutup kepala bagi seorang lelaki di kalangan masyarakat dikenal dengan nama Kupiah, ada dua jenis penutup kepala; Meukeutob dan Riman. Penamaan Kupiah/Kopiah juga tersebar dari dasar bahasa Melayu yang pengambilannya erat dari istilah Arab Keffiyeh untuk menelusuri lebih jelas lagi anda dapat membuka tautan ini sebagai sumber bacaan yang lebih lengkap lagi.
Aceh culture is part of the cultural richness of the archipelago (Indonesia), almost every region in Indonesia has traditional / traditional clothing that has a head covering, for example Blangkon from Java Island that almost every region has certain characteristics. In the cultural history of the people of Aceh, the head cover for a man in the community known as Kupiah, there are two types of head coverings; Meukeutob and Riman. Naming of Kupiah / Kopiah is also spread from basic Malay language which closed to Arabic language Keffiyeh, to explore more detail you can open this link as a source for more complete reading.
Kupiah Meukeutob digunakan oleh para bangsawan sedangkan Kupiah Riman digunakan oleh masyarakat biasa. Kupiah Meukeutob dalam sejarah kebudayaan Aceh diyakini sudah menjadi pakaian resmi sejak zaman kesultanan Iskandar Muda atau Kerajaan Aceh Darussalam. Bentuk penutup kepala ini hampir menyerupai Fez atau Tharbusy dalam istilah orang Arab, dengan memiliki bentuk silinder memanjang ke atas, kata Fez sendiri nantinya oleh sebagian masyarakat disebut dengan Fezzy yang dikenal oleh masyarakat luas di rumpun Melayu dengan Peci. Tidak diketahui sampai saat ini siapa yang pertama sekali merajut Kupiah Meukeutob, akan tetapi dilihat dari bentuknya sangat erat dengan Fez yang dipakai oleh para bangsawan dan raja-raja pada era Turki Usmani, karena sejarah mencatat bahwa hubungan diplomatik antara Kerajaan Aceh Darussalam dan Turki Usmani sangat erat, seperti pertukaran hadiah kerajaan dan prajurit sangat intens dilakukan saat itu sehingga diyakini pertukaran nilai budaya juga terjadi pada saat itu. Pada versi yang berbeda Kupiah Meukeutob juga sangat mirip dengan Topi Rumi yang sering dipakai oleh para pemandu Sufi Darwis dalam praktik zikir dalam sebuah tarekat yang mereka lakukan saat mempersembahkan syair dan tarian putar ala sufisme yang beraliran Zuhud.
Kupiah Meukeutob used by nobles while Kupiah Riman used by ordinary people. * Kupiah Meukeutob * in the history of Aceh culture was believed have become the official dress since the time of the Sultanate of Iskandar Muda or the Kingdom of Aceh Darussalam. This form of headscarf almost resembles Fez or Tharbusy in Arabic terms, with a cylindrical shape extending upward, Fez said later by some people called Fezzy known by the wider community in the Malay with Peci. It is unknown until now who was the first to knit the hat, but seen from its form very closely with Fez used by the nobles and kings of the Ottoman era, as history records that the diplomatic relations between the Kingdom of Aceh Darussalam and the Ottoman Turks are very closely, such as the exchange of royal gifts and warriors was so intense at the time that it was believed that the exchange of cultural values also took place at that time. In different versions Meukeutob Rupiah is also very similar to Rumi's Hat which is often used by the Sufi Dervish in the practice of dhikr in a tarekat that they do when presenting poetry and whirling dance of Zuhud-style.
Kupiah Meukeutob memiliki bentuk dan warna yang unik, berbeda dengan Fez yang memiliki bentuk yang datar dan hanya memiliki warna merah. Karakter tersebut mencerminkan kebudayaan masyarakat Aceh yang penuh akan keberagaman, tali yang dirajut terdiri dari beberapa warna yang memiliki makna tersendiri. Seperti kuning memiliki makna kerajaan atau negara, hijau bermakna agama Islam, merah bermakna kepahlawanan, hitam bermakna ketetapan hati atau ketegasan, dan putih bermakna kesucian atau keikhlasan. Sedangkan di bagian tengah Kupiah Meukeutob sendiri tersusun sulaman seperti bentuk tangga atau dalam masyarakat Aceh dikenal dengan sebutan Teratak, masing-masing anak tangga juga memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sarat akan makna. Anak Tangga paling atas merupakan Hukum Islam, Kedua merupakan Adat, Ketiga merupakan Reusam/Rasam, Keempat merupakan Qanun. Susunan dari keempat tersebut mencerminkan bahwa tatanan sosial masyakarat Aceh memiliki sumber yang kuat dalam penerapan pada kehidupan kesehariannya.
Kupiah Meukeutob has a unique shape and color, unlike Fez which has a flat shape and only has a red color. The character reflects the Acehnese culture that is full of diversity, the knitted rope is made up of several colors that have their own meaning. As yellow has the meaning of kingdom or country, green means Islamic religion, red meaning heroism, black means resolve or firmness, and white means purity or sincerity. While in the middle of the Meukeutob Kupiah itself embroidered as a form of stairs or in the community of Aceh known as Teratak, each rung also has cultural values that are full of meaning. The top stair is Islamic Law, Second is Adat, Third is Reusam / Rasam, Fourth is Qanun. The composition of these four reflected that the social fabric of the Acehnese society has a strong source of application in daily life.
The several Pictures below are from Tropenmuseum publiced on Wikimedia Commons :
Saat ini Kupiah Meukeutob masih menjadi lambang kebudayaan masyarakat Aceh, pemakaiannya juga pada acara-acara adat seperti resepsi pernikahan atau pemakaian kepada tamu-tamu agung yang berkunjung ke Aceh. Oleh karena itu mempelai pria saat acara pernikahan disebut juga dengan raja satu hari, karena memakai pakaian para raja yang termasuk Kupiah Meukeutob pada rangkaian pakaian tersebut.
Currently, Kupiah Meukeutob is still a symbol of Acehnese culture, its use also on traditional events such as wedding receptions or dressed for great guests who visit Aceh. Therefore, the bridegroom during the wedding is also called the king of one day, because wearing the clothes of the kings who include the Kupiah Meukeutob in the series of clothing.
Salam Hangat Saya
My Kind Regard