Kehidupan Ganda Seorang Konselor
Bicara tentang masak seringnya di identik dengan perempuan. Buk ibuk yang suka masak atau tidak suka, bisa masak atau tidak, ujung-ujung harus ke dapur juga. Sebenarnya permasalahan koki di dalam keluarga bukan lah kodratnya perempuan, namun tradisi kita selalu menganggap bahwa masak adalah pekerjaan perempuan yang wajib.
Di kampus saya dulu, Unsyiah, jurusan Tataboga cuma ada 1 hingga 2 orang saja laki-laki, selebihnya adalah perempuan. Di Aceh, tradisi memasak lebih dilimpahkan kepada perempuan, kecuali ada menu tertentu yang diambil alih oleh laki-laki, seperti memasak kuah kambing dalam porsi besar, kuah Beulangong, atau memasak nasi di acara pesta perkawinan atau acara besar lainnya.
Dua kalimat di atas cuma kata pengantar saja, sih. Sebenarnya yang mau saya ceritakan adalah kisah koki andalan kami di kantor. Hihihi...
Siapa koki andalan kita?
Si koki ini setiap harinya harus memasak untuk 25 s.d 30 porsi. Mereka bukan koki tulen, bukan lulusan Tataboga, dan tidak berpengalaman bekerja sebagai pelayan/ koki di restauran. Melainkan pria-pria ini adalah Konselor Junkie, alias kerjaannya ngurusin pecandu biar taubat.
Diantara semua staf, yang diizinkan untuk memasak hanya laki-laki saja, sedangkan kami yang ladies, duduk manis menunggu panggilan makan.
Saya sih syukurnya pakai banget. bukan tidak bisa memasak, bukan pula tidak mau memasak. Tetapi memasak untuk porsi segede ini bisa bikin percaya diri hilang. Apalagi kalau masak nasi goreng, duh pasti gak bakal kuat mengaduknya. Berat, saya gak bakal kuat, jadi biar pria-pria ini saja.
Sebelumnya kita catering, namun karena menunya jarang kolaborasi dan porsi terbatas, jadinya memutuskan masak sendiri dulu. Alhamdulillah sudah berjalan hampir 7 bulan. Dengan beragam adegan yang telah terjadi di dapur. Ibaratkan rumah ini bukan tempat rehabilitasi, tetapi semacam kos-kosan asrama.
Hari pertama diambil alih oleh Pak Bos, kalau ini saya akui bahwa hobi beliau adalah masak. Nah, hari-hari berikutnya tinggallah mereka, para lelaki garang berhati lembut. Setiap waktunya dapat giliran memasak. Untuk sarapan pagi, mereka mulai action dari pukul 06.00 selepas gotong-royong bersihin rumah luar-dalam. Sehari 3 waktu. Menunya beragam. Tergantung selera dan permintaan terbanyak.
Sang Pria ini belanja sendiri ke pasar. Untuk urusan harga sembako, sayur-mayur, ikan, daging, dan sebagainya, mereka lebih hafal dibandingkan saya.
Pernah sekali saya ikut dengan salah satu staf ke pasar. Si Bapak jualan langsung celoteh, “Kok tumben ikut?” tanyanya kepada saya.
Ada satu lagi kejadian aneh, saat ibu-ibu di pasar pada lihatin kami belanja. Saat itu posisi saja cuma bayar-bayar saja. Urusan yang beli, pilih-memilih, tawar-menawar, itu kerjaannya si pria-pria ini. haha...
Ajaib memang. Dalam sekejab mereka berubah menjadi koki andalan kita. saya sering lihatin mereka masak, cuma lihat saja, sih. Sesekali celoteh saat mereka masukkan micin atau memasak masakan yang tidak ada namanya. Tapi melihat kepiawan tangan itu kadang bikin geli. Hasilnya hingga saat ini masakan mereka cukup delicious.
Untuk urusan koki, sebenarnya keahlian lelaki ini sangat hebat dibandingkan perempuan. Coba lihat di restauran mewah dan terkenal, kebanyakan seorang koki dikuasi oleh laki-laki, bukan. karena kalau perempuan banyak pakai perasaan. Kalau mood tidak baik, bisa berpengaruh terhadap hasil masakannya. Begitu lah kira-kira cerita singkat malam ini. Terima kasih sudah membacanya. Salam sukses!
Mangat that sang, Ka deuk nyoe beungoh beungoh @astinaria 😂
haha... berarti ini sebagai pemicu untuk sarapan ya bg..