Profesi Bisnis Dengan Angelina
Ilustrasi : Pixabay
Tentu saja sebagai pebisnis Angelina sangat paham situasi dan kondisi. Kami kembali bertemu di Cafe MelTios, di lantai dua letaknya tepat di tengah-tengah kota Sigli. Ia menyarankan agar aku mengikuti saran yang pernah diutarakan padaku untuk mengembangkan bisnis rempah ke Malaysia.
Malam itu suasana agak cafe remang-remang, seperti malam barusaja usai gerimis dan listrik padam. Begitulah nuansa agak romantis. Hanya nyala lampu kerlap-kerlip warna-warni menghiasi cafe itu. Angelina sudah mempersiapkan sebuah kamera rekaman untuk mewawancaraiku. Seperti kuduga sebelum kami bertemu, bahwa ia sengaja mengajakku untuk membuat dokumentari film manual yang hendak ditayangkan di stasiun Televisi swasta milik keluarganya, "baiklah, "
"Ukey-ukey! Kamu tidak usah khawatir Angelina kau akan mendapat wawancara singkat ini, aku tahu kau mau merubah pola sumber ekonomi urang Pidie bukan?" Ia menggeleng resah. Seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu, dia tidak ingin rahasia ini terbongkar. Tapi, ya sudah kelicikan Angelina sudah mengendus dari inderaku, akhirnya ia mengaku, "Ya Dani, aku ingin kau menceritakan sumber ekonomi utama orang Pidie." "Tak ada lain, " kataku, "selain sumber potensi laut, petani, salah satunya adalah melinjau, ketika ekonomi macet produktivitas itulah yang mengantar urang Pidie ini berdenyut."
"Baiklah tepat sekali sasaran tembakmu," balasnya. Dia menghidupi tombol rekaman kamera, lalu kami duduk berdampingan sambil berbicara. Ia mengenakan baju kaos tipis dan nampak sexsi, sepertinya ia sengaja menampakkan kedua belah buah dada di hadapanku. Aku tidak bermaksud melihat, tapi apalah hendak di kata, gratis. Bukankah hal itu berdosa? Menurut kita benar, tapi barangkali tidak bagi Angelina yang menganut agama leberarisi mungkin saja tidak. Soal itu aku tak paham. Yang kutahu ia temanku yang sedikit nakal, dan pebisnis handal. Tahun ini ia ingin membeli kapal layar milik Haji Rubi. "Apa yang kau pikirkan tentang sumber ekonomi kerupuk mulieng ini?" Tanyaku barang sepintas.
"Aku ingin merubah kebisingan menjadi kesenyapan?"
"Maksudmu?" Aku keheranan sendiri. Tapi, tiba-tiba aku tahu maksudnya, lalu dengan cepat dan tangkas menyeringai maksudnya, "kau pasti ingin menciptakan mesin pèh kerupuk bukan?" Tanyaku. Ia pun tertawa terbahak, setelah mengetahui bahwa aku tepat menebak rencana awalnya. Sedari dulu, terkaanku tidak melesat, bahwa Angelina yang hampir mirip dengan Najwa itu ingin merubah tingkah pola bisnis orang Sigli agar lebih maju. Tahun ini ia ingin ke Jepang. "Kau mau ikut?" Lanjutnya bertanya padaku kemudian. Ia bertanya serius.
"Aku khawatir padamu Angelina." "Kau takut aku mengajakmu berkencan bukan?" Ia menyambung. "Yach, tepat sekali!" Tegasku. "Kau tidak perlu takut, aku punya selingkuhan lain, ustad." Katanya. "Woow...wow, kau dapat selingkuhan seorang ustad?" Takjubku penasaran.
"Iya, aku suka jenggot ustad, geli-geli surf. Kalau kami bercinta, aku meminta agar dia membuka serbannya, lalu sejenak aku mencukur semua bulunya, lalu kami bercinta sepuasnya." Aku tertawa hampir setengah jam. Aku tidak percaya gadis feminim seperti Angelina ternyata tertarik sama laki-laki berbau Afganistan. "Mereka pengemis jalanan, pada dasarnya orang bodoh yang suka hidup dalam dunia hayali, mereka luput dari fakta dan kenyataan Dani, aku sayang mereka." Suara Angelina lesu.
"Hei, Angelina, tutup mulut kau, di Sigli banyak orang ektrimisme, nanti kau diteror mereka." Ujarku.
"Tidak lagi," katanya, "A-kiong pernah bercerita padaku bahwa kalau Sigli lebih modern daripada Bernun, di bernun banyak premanismenya. Orang tolol bau kentut, malas, suka ambil paksa milik orang. Maka aku pindah ke Sigli bahkan di Bernun masih banyak pengemis yang berjenggot." Katanya menjelaskan dengan nada sendu, seredup lampu di ruang cafe.
"Gimana?" Tanyanya lagi, "kau ikut setuju, kalau aku ke Jepang?"
"Ukey, ukey, aku ukey saja Angelina. Kau bahkan bisa membawa pulang semua penemuan baru untuk memudahkan kinerja orang Pidie. Kau tahu bahwa urang Pidie akan menaklukkan dunia. Lihatlah di negara manasaja urang Pidie itu ada."
"Ha...hah...ha....!" Angelina tertawa lagi, hampir saja airmatanya menetes mendengar celotehku. Gelak tawa kami berdua hampir membuat seisi cafe senyap. "Kau ingin merubah apalagi?" Tanya Angelina padaku. "Aku ingin adik-adikku bahagia." Keluhku padanya.
Sebentar Angelina terdiam. "Kau masih bermimpi yang sama." Jawabnya kelu. "Yach, impianku masih sama, generasi Aceh ini selalu bercahaya." Terakhir, tepat pukul sepuluh lewat kami bubar. Pelayan cafe mulai menyusun kursi dan hendak menutup pintu. Kami keluar setelah membayar pesanan. Dan nampak malam itu kami dalam keadaan bahagia. Dan ia sempat berjanji, akan mengajakku bertemu kembali keesokan harinya untuk pertemuan yang sama.