IÁDAH DHUHUR
اعادة الجمعة
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Khaidir Ridwan
[email protected]
MARKAZ BAHSUL ILMI AS-SYAFIÍ
DAYAH ULUMUDDIN
UTEUNKOT CUNDA
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penyusun ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Bantuan & hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan “Makalah Tentang I’adah Jumát” ini. Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad Rasulullah, juga kepada seluruh keluarga dan sahabat beliau.
Penyusun mengharapkan makalah ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca, dan semoga menjadi amal shalih bagi penyusun di hari akhirat kelak.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah turut membantu ini menyelesaikan makalah ini, Istimewa pula kepada seluruh pengurus Markaz Bahsul ilmi As-syafii atas kesempatan yang telah diberikan kepada penyusun.
Uteunkot , 08 Agustus 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG ........................ 1
B. RUMUSAN MASALAH 1
C. TUJUAN PENULISAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. PENJELASAN TENTANG IÁDAH DHUHUR 2
B. APAKAH BENAR SHALAT DHUHUR PASCA SHALAT JUMÁT TERGOLONG SHALAT IÁDAH DISYARIATKAN............... 3
BAB III PENUTUP 14
KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah sebuah Agama yang sangat menghargai dan toleransi terhadap keberagaman dan perbedaan pemikiran dan pendapat, baik antar sesama muslim ataupun terhadap Agama lain yang bukan Agama Islam. Hal tersebut dibuktikan oleh berbagai tulisan-tulisan ahli sejarah sejak masa-masa awal penyebaran Islam yang di bawa oleh Rasulullah yaitu Muhammad SAW dengan para sahabat beliau dengan misi memperbaiki Akhlak manusia seluruh dunia dengan cara berdakwah dengan metode uswatun hasanah atau keteladanan dari sikap dan budi pekerti kehidupan beliau sehari-hari yang mencerminkan Ahklak yang mulia dan sikap toleransi terhadap keberagaman kultur sosial masyarakat arab di waktu itu. Sehingga metode penyebaran Islam yang beliau lakukan dengan para sahabatnya dinilai paling berhasil sepanjang sejarah peradaban manusia
Maka dari itu, dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang Hukum Iádah Jumát dengan tujuan agar kita umat Islam mengerjakan ibadah sesuai dengan tuntunan syariat Islam sesuai dengan yang diperintahkan dan menghilangkan rasa curiga yang berlebihan terhadap sesama muslim.
B. RUMUSAN MASALAH
- Pengertian I’adah Shalat dhuhur ?
- Apakah benar Shalat dhuhur Pasca Shalat Jumát tergolong Shalat Iádah yang disyariatkan?
C. TUJUAN PENULISAN
- Untuk mengetahui tentang pengertian shalat Iádah Dhuhur.
- Untuk mengetahui apakah benar shalat dhuhur Pasca Shalat Jumát tergolong shalat Iádah yang disyariatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENJELASAN TENTANG IÁDAH DHUHUR
Makna Iádah :
I'adah berasal dari kata اعاد-يعيد-اعادة yang berarti mengulangi dan mengembalikan. Berkata Al Fairuz Abadi di dalam kamus Al Muhith hal. 320 : اعاده adalah رجعه. Jadi, maksud i'adah dzuhur adalah mengulangi shalat dzuhur setelah pelaksanaan shalat jum'at berjama'ah
Untuk lebih mempersempit masalah penyusun mengambil beberapa contoh kasus fenomena yang terjadi di Aceh bahwa ada masjid tertentu di sebuah daerah,khususnya di Aceh dibiasakan mengerjakan shalat dhuhur selepas menunaikan shalat Jum'at. Hal tersebut dikerjakan karena tokoh agama setempat beranggapan :
- Bahwa shalat Jum'at yang telah dikerjakan diragukan keabsahannya, sebab terjadi keraguan karena beberapa kasus:
• Jumlah Ahli Jumat kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat ahli Jumát (diragukan ahli jumát sampai 40 orang yg memenuhi syarat-syarat sah didirikan jumát)
( قال الشَّافِعِيُّ ) أخبرنا إبْرَاهِيمُ بن مُحَمَّدٍ قال أخبرنا عبد الْعَزِيزِ بن عُمَرَ بن عبد الْعَزِيزِ عن أبيه عن عُبَيْدِ اللَّهِ بن عبد اللَّهِ بن عُتْبَةَ قال كُلُّ قَرْيَةٍ فيها أَرْبَعُونَ رَجُلًا فَعَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ.
Imam Syafií mengatakan; setiap kampung yang didalamnya ada 40 lelaki maka wajib kepadanya shalat jumát.
Berdasarkan perkataan imam Syafíi tersebut menjelaskan bahwa apabila ahli jumát kurang dari 40 orang laki-laki tidak diperbolehkan shalat jumat tetapi mereka wajib melaksanakan shalat dhuhur. Sebagaimana diungkapkan;
( قال الشَّافِعِيُّ ) وَلَوْ كانت قَرْيَةٌ فيها هذا الْعَدَدُ أو أَكْثَرُ منه ثُمَّ مَاتَ بَعْضُهُمْ أو غَابُوا أو انْتَقَلَ منهم حتى لَا يَبْقَى بها ( ( ( فيها ) ) ) أَرْبَعُونَ رَجُلًا لم يَكُنْ لهم أَنْ يَجْمَعُوا وَلَوْ كَثُرَ من يَمُرُّ بها من الْمُسْلِمِينَ مُسَافِرًا أو تَاجِرًا غير سَاكِنٍ لم يُجْمَعْ فيها إذَا لم يَكُنْ أَهْلُهَا أربعون
Apabila suatu kampung mencapai ini (40 Orang) atau lebih, kemudian sebagian diantara mereka meninggal ataupun mereka menghilang atau pindah sehingga tidak sampai bilangan empat puluh orang laki-laki maka tidak diwajibkan kepada mereka shalat jumát meskipun orang-orang muslim baik musafir atau pedagang sering melewati kampung tersebut.
• Jumlah masjid yang menyelenggarakan shalat Jum'at di desa tersebut lebih dari satu masjid, sedang jarak dari masjid yang satu dengan masjid yang lain sangat berdekatan (dianggap Taaddud Jumát) - Bahwa Sunat di kerjakan I’adah dhuhur untuk memelihara khilaf sah shalat Jumát (لخروج من الخلاف مستحب )
B. Pertanyaan - Apakah benar shalat dhuhur pasca shalat Jumát boleh dikerjakan dengan diragukan keabsahannya atau secara mutlaq boleh iadah Dhuhur?
- Apakah Sunat dikerjakan Iádah Dhuhur karena memelihara khilaf sah Jumát?
Jawab - Menurut penyusun Jika melakukan shalat dhuhur pasca shalat Jum'at itu karena keraguan sahnya jumát hukumnya shalat íádah dhuhur tidak boleh dilaksanakan (haram dilaksanakan).Hal ini sesuai dengan dalil , tidak boleh melaksanakan ibadah dengan keraguan.
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Artinya : Tinggalkan hal-hal yang meragukan engkau kepada yang tidak meragukan. (HR. Nasa’i dan Turmidzi).
Dan shalat iadhah dhuhur secara mutlaq juga haram dilaksanakan bila shalat jumát sudah sah dilaksanakan.
- Secara Dalil Nash tidak ditemukan hadist-hadist yang menunjukkan Hukum Sunnat Iádah dhuhur karena untuk memelihara khilaf sah jumát, namun secara pemikiran dan pendapat sebagian Ulama, penyusun mendapati rujukan di beberapa kitab referensi yang menyatakan sunat iádah dhuhur seperti yang tersebut dibawah ini.
Dasar Pengambilan
بغية المسترشدين ص 80 ( مسئلة ي ) مَتَى كَمُلَتْ شُرُوْطُ الْجُمُعَةِ بِأَنْ كَانَ كُلٌّ مِنَ الْأَرْبَعِيْنَ ذَكَرًا حُرًّا مُكَلَّفًا مُسْتَوْطِنًا بِمَحَلِّهَا لاَ يَنْقُصُ فِيْهَا شَيْئًا مِنْ أَرْكَانِ الصَّلاَةِ وَشُرُوْطِهَا وَلاَ يَعْتَقِدُهُ سُنَّةً وَلاَ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ وَلاَ يَبْدِلُ حَرْفًا بِأَخَرَ وَلاَ يَسْقُطُهُ وَلاَ يَزِيْدُ فِيْهَا مَا يُغَيِّرُ الْمَعْنَي وَلَا يُلْحِنُ بِمَا يُغَيِّرُهُ وَإِنْ لَمْ يَقْصُرْ فِيْ التَّعَلُّمِ, كَمَا قَالَ ابْنُ حَجَرَ خِلاَفًا لم ر لَمْ تَجُزْ إِعَادَتُهَا ظُهْرًا بِخِلاَفِ مَا إِذَا وَقَعَ فِيْ صِحَّتِهَا خِلاَفٌ وَلَوْ فِيْ غَيْرِ الْمَذْهَبِ فَتُسَنُّ إِنْ صَحَّتِ الظُّهْرُ عِنْدَ ذَالِكَ الْمُخَالِفِ كَكُلِّ صَلاَةٍ وَقَعَ فِيْهَا خِلاَفٌ غَيْرُ شَادٍ.
( Masalah Ya' ) "Tatkala syarat-syarat shalat jum'at sudah sempurna, dengan adanya empat puluh orang laki-laki merdeka, yag mukallaf, berdomisili ditempatnya, dan masing-masing tidak mengurangi sedikitpun dari rukun-rukun shalat dan syarat-syaratnya dan tidak meyakininya sebagai shalat sunah dan tidak mengharuskan meng qadho' shalat tersebut dan imam tidak mengganti sesuatu huruf dengan yang lain dan tidak menggugurkannya dan tidak menambah didalam shalat sesuatu yang merubah ma'na dan tidak melagukan huruf dengan sesuatu yang merubah ma'na meskipun orang mukallaf tersebut tidak teledor dalam belajar. Sebagaimana pendapat Ibnu Hajar berbeda dengan pendapat imam Ramli. Maka tidak boleh mengulangi shalat jum'at tersebut dengan shalat dhuhur berbeda dengan apa yang apabila terjadi dalam keabsahan jum'at sesuatu perbedaan ( pendapat ) meskipun dalam madzhab lain, maka disunnahkan I'adah jika shalat dzuhur telah sah menurut orang yang bebeda pendapat tersebut seperti setiap shalat yang terjadi padanya perbedaan pendapat yang tidak menyimpang.
• Namun Jika melakukan shalat dhuhur setelah diselenggarakan shalat Jum'at itu karena yakin ta'addud tanpa hajat untuk taádud(jumlah shalat Jum'at yang diselenggarakan di satu kampung lebih dari satu), maka hukumnya wajib shalat dhuhur hal ini berdasarkan rujukan dari kitab ( Al Umm, jld:1 hal: 221)
قال الشافعي رحمه الله تعالى : ولا يجمع في مصر وإن عظم أهله وكثر عامله ومساجده إلا في موضع المسجد الأعظم وإن كانت له مساجد عظام لم يجمع فيها إلا في واحد وأيها جمع فيه أولا بعد الزوال فهي الجمعة وإن جمع في آخر سواه بعده لم يعتد الذين جمعوا بعده بالجمعة وكان عليهم أن يعيدوا ظهرا أربعا
• “Imam Syafii berkata: tidak boleh didirikan jum’at didalam satu kota meskipun besar dan banyak masjidnya kecuali hanya disatu tempat masjid yang terbesar. Jika ada masjid-masjid yang besar, maka tidak boleh didirikan jum’at melainkan satu masjid saja, manapun jum’at yang pertama sudah didirikan setelah masuk waktu zuhur, maka itulah jum’at yang sah, dan jika masjid lain telah didirikan shalat jum’at setalah masjid yang pertama,, maka jum’at yang belakangan tidak dianggap, dan mereka wajib mengerjakan shalat zuhur empat rakaat.
• Syeikh wahbah Zuhaily mengomentari dalil dari syarat jum’at tersebut di dalam kitab “alfiqhul islamy wa adillatuhu”
دليل هذا الشرط أنه صلّى الله عليه وسلم وصحبه والخلفاء الراشدين والتابعين لم يقيموا سوى جمعة واحدة، ولأن الاقتصار على واحدة أدعى لتحقيق المقصود من إظهار شعار الاجتماع، واجتماع الكلمة.
• Dalil syarat ini bahwa Nabi Saw , para sahabat , dan para tabi’in mereka tidak mendirikan jum’at melainkan hanya satu jum’at, karena terbatasnya atas satu jum’at itu lebih mendorong untuk menyatakan maksudnya dari mensyi’arkan berjama’ah.
• Rasul bersabda :
صَلــُّوْا كَمَا رَأَيــْتــُمُونــِي أُصَلِّي
• Rasul bersabda: “Shalatlah sebagaimana kau melihatku shalat” (HR.Ibnu HIbban)
Namun jika taádud jumát karena hajat (kebutuhan) karena di dasarkan alas an yg kuat maka boleh taa’dud dan sunat shalat dhudur karena iktiyad.
Syeikh wahbah Zuhaily menyebutkan tentang hukum shalat Jumát yang Taádud karena hajat sbb :
إن تعددت الجمعة لحاجة، بأن عسر اجتماع بمكان، جاز التعدد، وصحت صلاة الجميع على الأصح، سواء وقع إحرام الأئمة معاً أو مرتباً، وسن صلاة الظهر احتياطاً، فالاحتياط لمن صلى ببلد تعددت فيه الجمعة لحاجة، ولم يعلم سبق جمعته: أن يعيدها ظهراً، خروجاً من خلاف من منع التعدد ، ولو لحاجة. وينوي آخر ظهر بعد صلاة الجمعة أو ينوي الظهر احتياطاً، خروجاً عن عهدة فرض الوقت بأداء الظهر.
• Apabila shalat jum’at berbilang karena ada hajat, seperti sulit berkumpul didalam satu tempat, maka boleh “ta’addudul jum’at” berbilang jum’at, dan sah shalat semuanya menurut pendapat yang lebih shahih. Baik takbiratul seluruh imam itu berbarengan atau secara tertib, dan disunnahkan shalat dzhuhur dengan ihtiyat ( berhati-hati), maka bagi orang yang shalat disatu balad atau wilayah yang berbilang shalat jum’atnya karena ada hajat, dan tidak diketahui terdahulunya jum’at diihtiyatkan mengulang shalat zuhur, karena keluar dari khilaf pendapat yang melarang untuk ta’addud jum’at meskipun ada hajat, dan niat shalat zuhur setelah mengerjakan shalat jum’at, atau niat zuhur karena ihtiyah, agar keluar dari tanggungan kewajiban dalam waktu tersebut dengan mengerjakan shalat zuhur. (Alfiqhul islamy waadillatuhu jild 2: 130)
• Jika melakukan shalat dzuhur, setelah diselenggarakannya shalat jum'at karena berkeyakinan bahwa shalat jum'at tidak menggugurkan shalat dzuhur, maka hukumnya tidak dibenarkan, bahkan menjadi kufur apabila meyakini bahwa pada hari jum'at shalat fardlunya menjadi enam kali dengan asal syara', apabila tidak meyakini shalat fardhu menjadi enam kali maka dihukum ta'zir
Dasar Pengambilan
I'anatut Thalibin Juz II hal. 63
( لَطِيْفَةٌ ) سُئِلَ الشَّيْخُ الرَّمْلِى رَحِمَهُ اللهُ عَنْ رَجُلٍ قَالَ : أَنْتُمْ يَا شَافِعِيَّةُ خَالَفْتُمُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَأَنْتُمْ تُصَلُّوْنَ اللهَ سِتًّا بِإِعَادَتِكُمُ الْجُمُعَةَ ظُهْرًا فَمَاذَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فِىْ ذَالِكَ، فَأَجَابَ بِأَنَّ هَذَا الرَّجُلَ كَاذِبٌ فَاجِرٌ جَاهِلٌ فَإِنِ اعْتَقَدَ فِى الشَّافِعِيَّةِ أَنَّهُمْ يُوْجِبُوْنَ سِتَّ صَلَوَاتٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ كُفْرٌ وَأَجْرَى عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّيْنَ وَإِلاَّ اسْتَحَقَّ التَّعْزِيْرَ الْلاَّئِقَ بِحَالِهِ الرَّادِعِ لَهُ وَلِأَمْثَالِهِ عَنِ ارْتِكَابِ مِثْلِ قَبِيْحِ أَفْعَالِهِ. وَنَحْنُ لاَ نَقُوْلُ بِوُجُوْبِ سِتِّ صَلَوَاتٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ وَإِنَّمَا تَجِبُ إِعَادَةُ الظُّهْرِ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ تَقَدُّمُ جُمُعَةٍ صَحِيْحَةٍ.
Syekh Ramli-Semoga Allah merahmatinya-ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata :" Kalian wahai pengikut Syafi'i, kalian telah menyalahi Allah dan rasulnya karena sesungguhnya Allah Ta'ala telah memfardlukan lima kali shalat sedangkan kalian shalat enam kali dengan kalian mengulangi shalat jum'at dengan shalat dzuhur, maka apakah yang menetapkan pada laki-laki tersebut dalam hal i'adah?"maka syekh Ramli menjawab bahwasannya laki-laki ini adalah orang yang dusta, durhaka lagi bodoh. Jika dia beri'tikad dalam madzhab Syafi'i bahwa mereka mewajibkan enam kali shalat menurut asal syari'at, maka dia kafir dan harus berlaku atasnya hukum-hukum orang yang murtad dan jika dia tidak meyakini kewajiban tersebut dia harus dita'zir yang sesuai dengan keadaannya yang dapat mencegah baginya dan bagi orang-orang yang seperti dia dari melakukuan seperti kejelekan perbuatan-perbuatannya. Kami tidak berpendapat dengan kewajiban enam shalat menurut asal syari'at; dan sesungguhnya kewajiban mengulangi shalat dhuhur hanyalah jika tidak diketahui shalat jum'at yang sah yang mendahuluinya.
Syaikh Abdullah bin Baz berfatwa :
والخلاصة: أن صلاة الظهر بعد الجمعة بدعة وضلالة وإيجاد شرع لم يأذن به الله فالواجب تركه والحذر منه وتحذير الناس منه والاكتفاء بصلاة الجمعة ، كما درج على ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه بعده والتابعون لهم بإحسان إلى يومنا هذا وهو الحق الذي لا ريب فيه ، وقد قال الإمام مالك بن أنس رحمة الله عليه: ( لن يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها ) . وهكذا قال الأئمة بعده وقبله . والله الموفق
Terjemahan : Sesungguhnya shalat dhuhur setelah shalat Jum’at adalah sesuatu yang baru (bid’ah) yang menyesatkan dan mengada-adakan tuntunan (syari’at) yang tidak di izinkan oleh Allah. Maka wajib meninggalkannya dan memperingatkan masyarakat dari perbuatan itu, sudah cukuplah shalat jum’at saja (tanpa shalat dhuhur lagi), serbagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi SAW, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai zaman sekarang. Itulah yang haq (benar) yang tidak ada keraguan di dalamnya. Imam Malik bin Anas berkata: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara yang membuat baik generasi pendahulunya.” Dan seperti itulah perkataan imam-imam setelah beliau ataupun setelah beliau. Allah-lah Yang Maha Memberi taufiq.
Tersebut dalam kitab tuhfatul muhtaz syarh minhaj Ibnu hajar hal 202 jilid 9
وَسُئِلَ الْبُلْقِينِيُّ عَنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ لَا يَبْلُغُ عَدَدُهُمْ أَرْبَعِينَ هَلْ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ أَوْ الظُّهْرَ فَأَجَابَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُمْ يُصَلُّونَ الظُّهْرَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَدْ أَجَازَ جَمْعٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنْ يُصَلُّوا الْجُمُعَةَ وَهُوَ قَوِيٌّ فَإِذَا قَلَّدُوا أَيْ جَمِيعُهُمْ مَنْ قَالَ هَذِهِ الْمَقَالَةَ فَإِنَّهُمْ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ ، وَإِنْ احْتَاطُوا فَصَلَّوْا الْجُمُعَةَ ، ثُمَّ الظُّهْرَ كَانَ حَسَنًا فَتْحُ الْمُعِينِ وَتَقَدَّمَ عَنْ الْجَرْهَزِيُّ مَا يُوَافِقُهُ وَفِي رِسَالَةِ الْجُمُعَةِ لِلشَّيْخِ عَبْدِ الْفَتَّاحِ الْفَارِسِيِّ سُئِلَ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكُرْدِيُّ ، ثُمَّ الْمَدَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الْجُمُعَةَ إذَا لَمْ تَسْتَوْفِ الشُّرُوطَ وَصُلِّيَتْ بِتَقْلِيدِ أَحَدِ الْمَذَاهِبِ وَأَرَادَ الْمُصَلُّونَ إعَادَتَهَا ظُهْرًا هَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ أَمْ لَا وَأَجَابَ بِأَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لَا مَنْعَ مِنْهُ بَلْ هُوَ الْأَحْوَطُ خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ وَمَا فِي الْإِمْدَادِ وَلَا يَجُوزُ إعَادَةُ الْجُمُعَةِ ظُهْرًا وَكَذَا عَكْسُهُ لِغَيْرِ الْمَعْذُورِ فَمَحَلُّهُ عِنْدَ الِاتِّفَاقِ عَلَى صِحَّةِ الْجُمُعَةِ لَا عِنْدَ وُجُودِ خِلَافٍ قَوِيٍّ فِي عَدَمِ صِحَّتِهَا نَعَمْ كَمَذْهَبِ الْغَيْرِ فِي صِحَّةِ الْجُمُعَةِ شُرُوطٌ لَا بُدَّ فِي جَوَازِ.
وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا فُقِدَتْ شُرُوطُ الْجُمُعَةِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ فَمَا حُكْمُهَا وَأَجَابَ بِأَنَّهُ يَحْرُمُ فِعْلُهَا حِينَئِذٍ ؛ لِأَنَّهُ تَلَبَّسَ بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ نَعَمْ إنْ قَالَ بِصِحَّتِهَا مَنْ يَجُوزُ تَقْلِيدُهُ وَقَلَّدَهُ الشَّافِعِيُّ تَقْلِيدًا صَحِيحًا مُجْتَمِعًا لِشُرُوطِهِ جَازَ فِعْلُهَا حِينَئِذٍ بَلْ يَجِبُ ، ثُمَّ إذَا أَرَادُوا إعَادَتَهَا ظُهْرًا خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ فَلَا بَأْسَ بِهِ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ حِينَئِذٍ ، وَلَوْ مُنْفَرِدًا وَقَوْلُهُمْ لَا تُعَادُ الْجُمُعَةُ ظُهْرًا مَحَلُّهُ فِي غَيْرِ الْمَعْذُورِينَ وَمِنْهُمْ مَنْ وَقَعَ فِي صِحَّةِ جُمُعَتِهِ خِلَافٌ وَسُئِلَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ صَالِحٌ الرَّئِيسُ مُفْتِي الشَّافِعِيَّةِ بِمَكَّةَ الْمُشَرَّفَةِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى هَلْ يُسَنُّ إعَادَةُ الْجُمُعَةِ ظُهْرًا إذَا كَانَ إمَامُهَا مُخَالِفًا وَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَعَمْ تُسَنُّ إعَادَتُهَا ظُهْرًا حِينَئِذٍ ، وَلَوْ مُنْفَرِدًا لِقَوْلِهِمْ كُلُّ صَلَاةٍ جَرَى فِيهَا خِلَافٌ تُسَنُّ إعَادَتُهَا ، وَلَوْ فُرَادَى وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذِهِ مِمَّا جَرَى الْخِلَافُ فِي صِحَّتِهَا كَمَا نَبَّهَ عَلَى ذَلِكَ التُّحْفَةُ فِي بَابِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ دُون الْأَرْبَعِينَ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ مُقَلِّدِينَ لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فِي الْعَدَدِ مَعَ جَهْلِهِمْ بِشُرُوطِ الْجُمُعَةِ عِنْدَهُ ، وَقَالَ لَهُمْ إمَامُهُمْ صَلُّوا وَيَكْفِي ذَلِكَ التَّقْلِيدُ وَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَعَمْ حَيْثُ نَقَصُوا عَنْ الْأَرْبَعِينَ جَازَ التَّقْلِيدُ لِلْإِمَامِ مَالِكٍ لَكِنْ مَعَ الْعِلْمِ بِالشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ عِنْدَهُ وَالْعَمَلُ بِهِ أَيْضًا وَتُسَنُّ الْإِعَادَةُ ، وَأَمَّا قَوْلُ إمَامِهِمْ لَهُمْ وَيَكْفِي إلَخْ فَإِنْ أَرَادَ بِذَلِكَ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ الْعِلْمُ بِالشُّرُوطِ فَهُوَ قَوْلٌ غَيْرُ صَحِيحٍ انْتَهَى مَا تَيَسَّرَ نَقْلُهُ مِنْ تِلْكَ الرِّسَالَةِ بِاخْتِصَارٍ.
“ Seseorang bertanya kepada Bulqainy tentang sebuah desa yang tidak sampai bilangan ahli Jumát 40 orang, apakah desa tersebut mendidirikan Shalat Jumát atau shalat dhuhur? Maka Bulqainy menjawab bahwa mereka harus shalat dhuhur berdasarkan Mazhab Imam Syafii, sebagian jamaáh Ulama membolehkan shalat jumát dan pendapat ini kuat, bila telah melakukan shalat Jumát maka bagus melaksanakan shalat dhuhur.
Pada penjelasan alinia berikutnya bila tidak cukup syarat untuk mendirikan jumát apakah boleh shalat jumát untuk tujuan ikhtiyat ? maka jawabannya boleh shalat juma’t karena ikhtiyat mengikuti pendapat salah satu mazhab yg membolehkan dan kemudian shalat iadah dhuhur pun dibolehkan bahkan disunatkan. Hal ini menurut penyusun di dasarkan pada pemikiran dan tidak ditemukan dalil nas nya dalam penjelasan tersebut. Menurut penyusun walaupun sandaran mengerjakan Iadah dhuhur ada referensinya , namun secara kekuatan dalil tidak dappat dipertanggung jawabkan secara kongkrit.
Syarat bilangan Jumát 40 orang laki-laki juga dijelaskan dalilnya dalam kitab Syarah Muhazzab :
قال المصنف رحمه الله
- (ولا تصح الجمعة الا باربعين نفسا لما روى جابر رضي الله عنه قال " مضت السنة أن في كل ثلاثة اماما وفى كل أربعين فما فوق ذلك جمعة وأضحى وفطرا " ومن شرط العدد أن يكونوا رجالا أحرارا مقيمين في الموضع فاما النساء والعبيد والمسافرون فلا تنعقد بهم الجمعة لانه لا تجب عليهم الجمعة فلا تنعقد بهم كالصبيان وهل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال أبو علي بن ابى هريرة تنعقد بهم لانه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال أبو إسحق لا تنعقد لان النبي صلي الله عليه وسلم " خرج إلي عرفات ومعه أهل مكة وهم في ذلك الموضع مقيمون غير مستوطنين " فلو انعقدت بهم الجمعة لاقامها)
- (الشرح) حديث جابر ضعيف رواه البيهقى وغيره باسناد ضعيف وضعفوه قال البيهقى هو حديث لا يحتج بمثله وقول المصنف أن يكونوا رجالا يعنى بالغين عقلاء واحتجاجه بان النبي صلى الله عليه وسلم لم يصل الجمعة بعرفات لا يصح لانها ليست محل استيطان بل هو فضاء لا ينافيه
ولان الحاضرين هناك كلهم ليسوا مقيمون هناك والجمعة تسقط بالسفر القصير بالاتفاق وانما التعليل الصحيح انه ليس مستوطنا والاستيطان شرط هكذا نقل القاضى أبو الطيب أن ابا اسحق صاحب هذا الوجه علله بهذا - اما حكم الفصل فلا تصح الجمعة إلا باربعين رجلا بالغين عقلاء احرارا مستوطنين للقرية أو البلدة التى يصلي فيها الجمعة لا يظعنون عنها شتاء ولا صيفا الا سفر حاجة فان انتقلوا عنه شتاء وسكنوه صيفا أو عكسه فليسوا مستوطنين ولا تنعقد بهم بالاتفاق وهذا الذى ذكرناه من اشتراط أربعين هو المعروف من مذهب الشافعي والمنصوص في كتبه وقطع به جمهور الاصحاب ومعناه اربعون باالامام فيكونون تسعة وثلاثين اماما ونقل ابن القاص في التلخيص قولا للشافعي قديما انها تنعقد بثلاثة امام ومأمومين هكذا حكاه عن الاصحاب والذى هو موجود في التلخيص ثلاثة مع الامام ثم ان هذا القول
الذى حكاه غريب انكره جمهور الاصحاب وغلطوه فيه قال القفال في شرحه التلخيص هذا القول غلط لم يذكره الشافعي قط ولا أعرفه وانما هو مذهب أبي حنيفة وقال الشيخ أبو علي السنجي في شرح التلخيص انكر عامة أصحابنا هذا القول وقالوا لا يعرف هذا للشافعي قال ومنهم من سلم نقله وحكى أصحابنا الخراسانيون وجها ضعيفا انه يشترط أن يكون الامام زائدا على الاربعين حكاه جماعة من العراقيين أيضا منهم صاحب الحاوى والدارمى والشاشى قال صاحب الحاوى هو قول ابى على بن أبى هريرة حكاه الروياني قولا قديما وأما قول المصنف هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان مشهوران (أصحهما) لا تنعقد اتفقوا على تصحيحه ممن صححه المحاملى وامام الحرمين والبغوى والمتولي وآخرون وسيأتى ان شاء الله تعالي في الفرع الاتي بيان محل الوجهين
“Tidak sah Jumát dengan tidak sampai Ahli Jumát 40 orang laki-laki dalilnya hadist yang diriwayatkan oleh Jabir yang menunjukkan jumlah bilangan jumát 40 orang laki-laki.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menurut Analisis penulis, Tidak ada sebuah alasan yang tepat untuk melaksanakan shalat Iadah dhuhur bila shalat jumát yang dilaksanakan disebuah mesjid sudah yakin sah, lengkap syarat dan rukunnya, bahkan sebagian hal tersebut dilarang melakukannya.
Apabila seseorang telah menunaikan shalat jumat, maka tidak ada lagi baginya kewajiban untuk melakukan shalat Dhuhur. Kecuali bila dia tidak mendapatkan shalat jumat.
Jika melakukan shalat dhuhur pasca shalat Jum'at itu karena keraguan sahnya jumát hukumnya shalat íádah dhuhur tidak boleh dilaksanakan (haram dilaksanakan).
Secara Dalil tidak ditemukan hadist-hadist yang menunjukkan Hukum Sunnat Iádah dhuhur karena untuk memelihara khilaf sah jumát, namun secara pemikiran, penyusun mendapati rujukan di beberapa kitab referensi yang menyatakan sunat iádah dhuhur.
Namun Jika melakukan shalat dhuhur setelah diselenggarakan shalat Jum'at itu karena yakin ta'addud (jumlah shalat Jum'at yang diselenggarakan di satu kampung lebih dari satu), maka hukumnya wajib shalat dhuhur hal ini berdasarkan rujukan dari kitab ( Al Umm, jld:1 hal: 221)
DAFTAR PUSTAKA
Imam Sayuthi, asybah wannadhzair
Abdurrahman bin Muhammad Husen, Bugryatul Murtasyidin, ( Beirut: Darul Fikr, )
As-Syafii, Al Umm, jild:1( Beirut: Darul Fikr, )
Wahbah Zuhaily, Fiqih Islam Waadilatuh
Abubakar Syata, Iannatut thalibin
Ibnu Hajar, Tuhfatul Mukhtaj syarh minhaj.
Abi Zakaria Mahyiddin An-Nawawi, Syarah Muhazzab.
Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa
Abi Zakaria Mahyiddin An-Nawawi, Syarah Muhazzab,Darul Fikri
Sudah kami upvote ya..
thank's very much
hai,. I am new in steemit, and I was vote and follow you, please follow back and vote my post
https://steemit.com/education/@danishguree/20180305t045406261z-post