Kerja Editor Tidak Semudah Dibayangkan
Beberapa tahun silam, saya pernah membaca sebuah status di media sosial milik seorang dosen kampus ternama di Aceh. Lebih kurang ia menuliskan bahwa untuk mejadi editor sebuah tulisan tak perlu memiliki keahlian khusus dan tak harus menjadi penulis yang andal.
Dari penjelasannya saya menganalisis bahwa untuk mengkritik dan mengedit tulisan orang lain lebih gampang dibandingkan menuliskannya. Seakan tak perlu menjadi penulis dulu baru bisa menjadi editor, cukup membaca lalu mengkritik.
Niat hati ingin membantah tulisan itu, tapi apa daya kemampuan saya dalam proses editing waktu itu juga masih sangat lemah. Namun setelah saya bergabung dengan Forum Aceh Menulis (FAMe), saya mulai mengetahui banyak cara kerja seorang editor sebuah tulisan, buku, dan karya tulis lainnya.
Pekerjaan editor sebenarnya tidaklah mudah. Bagi seorang editor justru menganggap lebih gampang pekerjaan menulis daripada mengedit. Edit yang dimaksud di sini adalah mengedit yang serius, mulai dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), logika bahasa, hingga teknik penulisan itu sendiri.
Setelah saya belajar editing bersama @yarmen-dinamika di FAMe, saya baru memahami dan menemukan jawaban bahwa mengapa nilai bobot akademik untuk seorang dosen lebih tinggi sebagai editor buku dibandingkan penulis buku. Padahal kalau kita lihat sekilas, paling lama itu menulis buku daripada mengeditnya. Ternyata menjadi editor tidak semudah yang dibayangkan.
Namun ada juga yang berani menuliskan namanya di sampul buku orang sebagai editor, sementara isinya sangat hancur dan banyak kesalahan dalam pengetikan. Bayangkan saya pernah menemukan sebuah buku dari judulnya di cover saja salah secara bahasa Indonesia, belum lagi pada subjudul yang mau ditulis “polisi” yang tertulis malah “polis”.
Saya iseng, pura-pura bertanya apakah buku tersebut ditulis dalam bahasa Melayu? Pemilik bukunya tertawa, ia mengakui bahwa itu typo. Belum lagi saya menemukan banyak sekali kesalahan semantik dalam penulisan buku tersebut, misalnya penggunaan kata depan “di” yang seharusnya dipisah, malah disambung. Misalnya “kerumah” seharusnya dipisah yaitu “ke rumah”. Selanjutnya “di laksanakan” seharusnya yang benar “dilaksanakan”.
Di kampus, saya juga pernah menemukan seorang dosen tingkat doktor tidak menguasai teknik menulis dengan bahasa Indonesia yang baik. Pernah sekali saya kritik power pointnya lantaran ia menuliskan kata “merubah” dalam beberapa slidenya. Saya protes, penggunaan kata “merubah” tidak benar jika kata dasar yang dimaksud adalah “ubah”. Jika ditambahkan awalan “meng” maka menjadi “mengubah”. Tidak ada dalam bahasa Indonesia awalan “mer”. Rubah itu nama jenis binatang.
Begitu juga kesalahan lainnya yang kadang dianggap sepele, misalnya kata “menikahkan” dengan “menikahi”. Dalam sebuah buku, tidak saya sebutkan judul buku tersebut menulis, “Bapak Pulan menikahi anaknya” padahal yang dimaksudkan penulis di situ adalah “menikahkan anaknya”. Kalau menikahi, berarti ia menikah dengan anaknya sendiri, kacau kan?
Ketika saya menulis postingan dengan tema seperti ini bukan berarti saya sudah bebas dari kesalahan, tidak juga. Saya juga manusia yang juga masih dalam tahapan belajar menjadi editor yang baik. Kami bersyukur memiliki guru seperti @yarmen-dinamika yang mau mendidik kami tanpa pamrih di FAMe.
Salah satu cara kami membiasakan diri dengan bahasa yang baku yaitu dalam grup whatsApp pun kami berkomentar sesuai PUEBI. Jika satu kata saja salah kami tulis, akan mendapatkan kritikan dan perbaikan bersama-sama. Oleh karena itu, mari kita menjadi warga negara yang baik dengan menggunakan bahasa dengan benar, karena bahasa adalah identitas bangsa.[]
Setakat ini, apa yang ditulis Hayat barusan merupakan karya dia yang paling jernih narasinya. Dia makin mahir menggunakan gaya bertutur dalam menulis dan makin minim kesalahan semantiknya. Tapi supaya karya ini lebih sempurna saya bantu tunjukkan beberapa kesalahan kecilnya. Bagi saya, sekecil apa pun kesalahan semantik perlu dikoreksi supaya kesalahan serupa tak terulang.
Di alinea kedua baris ketujuh tertulis sub judul, seharusnya subjudul. Ingat, sub- itu adalah bentuk teringat. Lihat postingan saya beberapa hari lalu tentang bentuk terikat.
Pada alinea lima ada tanda koma (,) sebelum kata daripada. Tak lazim itu. Ingat, daripada itu adalah kata depan untuk menandai perbandingan. Jadi, tidak boleh dihijab atau diantarai oleh koma. Contohnya, Saya lebih tua daripada Hayatullah Pase. Nah, apa pasal koma disisip di situ.
Di alinea ketiga ada kata bilangan yang mubazir, yakni "banyak sekali kesalahan-kesalahan semantik". Cukup sekali saja kata keesalahan-nya, tak perlu diulang. Itu saja sudah menunjukkan jamak, jadi hindari jangan jadi mubazir.
Sebetulnya masih ada beberapa kesalahan lain. Yang ini biarlah jatah @ihansunrise yang membereskannya. Let's go, Ihan!
Hahahaha terima kasih guru.
Akan saya edit segera. Sempat terpikir bahwa ini tulisan sudah perfect betul, rupanya ilmu guru tetap lebih tinggi makamnya. hahaha.. Ditulis pukul 02.00 WIB pagi.
No body is perfect....
Woh
Wah, semakin paham kita tentang ilmu tata bahasa ini ya. Terima kasih Cek Gu @yarmen-dinamika 😊
yang jelas kerjaan editor tak se enak nonton bola di tv..hehehehe
Ya ketua, tak seenak nonton bola ketika Messi tak mampu cetak gol menendang penalti.. Hehe
Teng Top nyan cukop meu nyet-nyet.
Mulai manyak teuh ka meuheut, sampoe jinoe hana kuasa lom. 😂😂😂
Nyan teng top pinjaman, ata gob kuselpih siat.. Mangat deuh hayeu @jeulamei...:D
Dan tanggung jawab editor itu berat. Terkadang kita masukin naskah ke penerbit bahkan dua editor sekaligus yang mengedit naskah itu tidak jarang masih berkeliaran typo di mana-mana karena itu tadi tidak mudah menjadi editor itu bahkan tehniknya sudah punya hanya malasnya dan rasa tanggung jawab itu terkadang disepelekan jika si pengirim naskah adalah penulis pemula.
Maka menjadi editor bukan hanya yang paham tetapi juga harus amanah.
Benar... Bahkan seorang editor gaya klasik, ia memakai rol untuk mengedit perbaris agar tidak ada kata atau buruf yang ketinggalan...
Hahaaa duluan pakai disclaimer dia... Dah ah nggak jadi komen teknis lagi...
Komen aju hana peu2...
Berkelas
Thanks
Yang bilang editor tak perlu faham tehnik menulis itu salah besar dek, jadi ingin tertawa 😂
Hehehe begitulah kenyataannya...
Mantap
Thanks
Editor itu merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam dunia kepenulisan. Kalau aku masih jauh ke tingkat itu, karena kalau menulis, sudah pasti ada yg typo. Perlu berlatih terus meneurus untuk bisa ke level editor.