Da'wah In Space Without Borders / Berdakwah Dalam Ruang Tanpa Batas
Da'wah In Space Without Borders
Santri Dayah Raudhatul Ma'arif who was in Cot Trueng Village, Muara Batu Sub-district, North Aceh on February 4, 2018, following the Declaration of Aceh Writing Forum (FAMe) at Masjid Tuha in the dayah complex. A mosque laden with historical value. The mosque was founded by Ulee Balang from Keumangan Pidie Teuku Bentara Keumangan in 1812 AD.
The Declaration of the writing forum was led by FAMe coach, Yarmen Dinamika who was also the Executive Editor (Redpel) of Serambi Indonesia Daily, attended by Coordinator of FAMe Chapter Lhokseumawe Asmaul Husna. Raudhatul Muarif is a salafi dayah which was established one year after Indonesian independence in 1946. Although vacuum, but now the dayah has santri no less than 2,500 people.
Of that number, dozens of them are now also educated to be able to write with a schedule of learning held two weeks once on Friday afternoon. At the third meeting, I had the opportunity to fill in the class or writing forum with "Know Your Journalism" material. This is new for santri, because life in dayah, especially in salafi dayah only filled with schedule study turast books (yellow book) and mu'asarah (contemporary book).
I see this as a progress, if not yet to be regarded as a new civilization. For the dayah clergy in Aceh did not just preach from one pulpit to another, limited by the size of place and time. But preach continuously without being limited by time and place until the whole of Africa, Europe and Middle East region, such as Turkey, Cairo, South Africa and some other big countries in the world.
Because they are able to produce a paper, which is marketed to abroad. Even the book written by Hamzah Al Fansuri, Abdurrauf Assingkili, Syamsuddin Sumatrani, Nur al-Din Ar-Raniry become the study material in campus and pesantren place in some countries. So also with santri Dayah Raudhatul Muarif and other dayah who have started to educate santrinya also to learn to write.
In the future through this santri we hope to be born new thoughts, in all aspects. For example journalism in the perspective of Islam, which until now still hard to find the literature. So they can preach in all things not limited by time and place. Because the mass media, and books / books and writings in other forms are not limited. May be useful. (*)
Berdakwah Dalam Ruang Tanpa Batas
Santri Dayah Raudhatul Ma’arif yang berada di Desa Cot Trueng, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara pada 4 Februari 2018, mengikuti deklarasi Forum Aceh Menulis (FAMe) di Masjid Tuha dalam kompleks dayah tersebut. Sebuah masjid yang sarat dengan nilai sejarah. Masjid tersebut didirikan oleh Ulee Balang dari Keumangan Pidie Teuku Bentara Keumangan pada tahun 1812 masehi.
Deklarasi forum menulis tersebut dipimpin Pembina FAMe, Yarmen Dinamika yang juga Redaktur Pelaksana (Redpel) Harian Serambi Indonesia, dihadiri Koordinator FAMe Chapter Lhokseumawe Asmaul Husna. Raudhatul Muarif adalah dayah salafi yang didirikan satu tahun setelah Indonesia merdeka yaitu tahun 1946. Meski sempat vakum, tapi sekarang dayah tersebut memiliki santri tidak kurang dari 2.500 orang.
Dari jumlah itu, puluhan di antaranya sekarang juga dididik untuk mampu menulis dengan jadwal pembelajaran yang diadakan dua pekan sekali pada Jumat sore. Pada pertemuan ketiga, saya mendapat kesempatan untuk mengisi di kelas atau forum menulis tersebut dengan materi “Mengenal Jurnalistik”. Ini hal baru bagi santri, karena kehidupan di dayah, apalagi di dayah salafi hanya dipenuhi dengan jadwal belajar kitab-kitab turast (kitab kuning) dan mu’asarah (kitan kontemporer).
Saya melihat ini sebuah kemajuan, jika belum pantas dikatakan sebagai peradaban baru. Sebab ulama dayah di Aceh dulu tidak hanya berdakwah dari satu mimbar ke mimbar lain, yang dibatasi oleh ukuran tempat dan waktu. Tapi berdakwah secara terus-menerus tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu sampai seantero Afrika, Eropa dan kawasan Timur Tengah, seperti Turki, Kairo, Afrika Selatan dan sejumlah negara besar lain di dunia.
Karena mereka mampu menghasilkan sebuah karya tulis, yang dipasarkan sampai ke luar negeri. Bahkan buku karangan Hamzah Al Fansuri, Abdurrauf Assingkili, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry menjadi bahan kajian di kampus dan tempat pesantren yang ada di sejumlah negara. Begitu juga dengan santri Dayah Raudhatul Muarif dan dayah lain yang sudah mulai mendidik santrinya juga untuk belajar menulis.
Kedepan lewat santri inilah kita berharap akan lahir pemikiran-pemikiran baru, dalam semua aspek. Misalnya jurnalistik dalam perspektif islam, yang sampai sekarang masih sulit ditemukan literaturnya. Sehingga mereka dapat berdakwah dalam segala hal yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Karena jamaah media massa, dan kitab/buku dan karya tulis dalam bentuk lainnya tidak terbatas. Semoga bermanfaat. (*)
Sepakat guree. Semoga semua usaha ini membuahkan hasil ke depannya.
Berarti seide tanyou bang @zainalbakri. Man bak hoi guree, rap reubah bak tadoeng, hehehe
guree para santri @jaff
Teurimoeng geunaseh keu aduen kamoe Bang @jaff yang kalheuh meubagi ileumee seputar jurnalistik keu kamoe di dayah. Mudah²an geutanyoe meurumpoek lom nibak laen watee. 😃
Saban2 Tgk. Mantong saban2 tameurunou syiet Tgk Hana ileume lom. Mudah-mudahan meureumpok lom seugelom u Norwegia.