PARIS

in #esteem6 years ago

image
photo

Jika manusia berhak menentukan takdir? Mungkin aku akan memilih takdirku sendiri. Menjadi seekor kupu-kupu taman kota, atau bahkan seekor ikan yang hidup di laut lepas. Ini bukan berarti aku pengecut tidak mau menjadi manusia. Sama sekali tidak. Hidupku seakan menggantung antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Entah apakah aku bahagia, atau hanya menjalani siklus hidup yang itu-itu saja. Seperti mengelilingi bulevar-bulevar besar berlebihan cahaya yang membuat gelap mata.

Paris bukanlah kota cinta sebagaimana bayangan orang-orang di negeri asalku. Namun tetap kota spektakuler yang dijejali citra dan ilusi, dari kaca-kaca sangat besar yang bersinar di setiap kafe hingga pantulan tanpa akhir di kaca-kaca toko. Ilusi paling kuat dari semuanya adalah tentang sejarahnya sebagai tempat penyimpanan dari semua hal paling terbaik dan hebat dalam semangat manusia.
Kemacetan dan polusi yang mencekik leher dan kehilangan rasa aman, telah menipiskan keramahan Parisian, sebutan untuk penduduk kota Paris. Para turis dari pelbagai negara mulai menjuluki Parisian sebagai selera buruk bagi pelancong. Dengan nada putus asa mereka menyerukan agar Paris sebaiknya tanpa Parisian, apalagi jika kau menyapa dengan bahasa Inggris, mungkin cuma ketidakacuhan sebagai jawaban paling sopan yang diberikan oleh orang-orang yang kerap membanggakan kota mereka sebagai ibu kota dunia.

Ketika membayangkan mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Paris, yang kubayangkan bisa berfoto di depan menara Eiffel, berbelanja di sepanjang Champ Elysees, mengeksplorasi Museum Louvre atau jalan-jalan keliling Eropa ketika libur tiba. Atau mungkin melukis di Montmartre tempat Van Gogh dan Picaso dulu sering berkarya. Menghabiskan waktu di cafe La Procope, tempat ngopi langganan Voltaire dan Victor Hugo. Atau tenggelam belanja buku di Shakespeare and Company, tempat Hemingway dulu sering menghabiskan waktu.
image
photo

Namun, mungkin lebih tepat kelakuan seperti itu dipraktikkan oleh turis, alih-alih pelajar. Setelah mengikuti tes masuk Universitas Sorbonne Nouvelle, kuputuskan untuk tetap tinggal di Paris daripada kembali ke Indonesia hanya untuk menunggu pengumuman diterima atau tidaknya. Lagi pula biaya bolak-balik terlampau mahal. Kontrakku dengan keluarga homestay hampir habis. Untungnya aku bertemu dengan Rino yang menawariku berbagi flat dengannya. Dia mahasiswa Indonesia pertama yang kukenal di negeri ini. Selain denganku, Rino juga tinggal bersama pasangannya Thierry. Awalnya, aku merasa enggan setelah mengetahui kalau Rino seorang gay. Tapi tidak lama aku menyadari bahwa, seorang homoseksual tidak jauh berbeda dengan heteroseksual. Baik Rino dan Thierry tak pernah mengusik urusan pribadiku, apalagi soal percintaan. Malahan dia banyak membantu dalam hal bahasa. Selain mengajakku jalan-jalan agar aku dapat belajar berkomunikasi dengan orang Prancis, dia juga menyuruhku sering membaca, menonton TV dan mendengarkan radio untuk membiasakan telinga mendengar dan memperkaya kosakata bahasa Prancis. Satu kata bisa bermacam makna, tergantung konteks kalimat, itu yang kerap membingungkanku.
Hati-hati kalau berjalan sendirian sementara kamu nggak bisa bahasa Prancis. demikian nasihatnya. Ternyata aku pernah mengalami kejadian seperti itu di suatu sore.

Lantaran ingin melihat Montmartre yang tersohor, aku sengaja menuju kawasan itu sendirian. Tiba-tiba seorang perempuan mendekatiku. Awalnya berlagak ramah menanyakan apakah aku bisa berbahasa Inggris. Tapi kemudian perempuan itu menyodorkan kertas sembari meminta 10 Euro. Tak jauh dari sana kulihat beberapa pria. Langsung kugelengkan kepala berikut telapak tanganku.

“Étudiant ... Étudiant ...," ucapku beberapa kali menyatakan bahwa diriku cuma pelajar.

"No money ... no money." tambahku bercampur bahasa Inggris.

Buru-buru aku mempercepat langkah dan agak berlari sampai gerombolan itu hilang dari pandanganku. Rino langsung tertawa begitu kuceritakan peristiwa itu.

“Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu," ucapnya mengutip perkataan sastrawan entah siapa namanya.

"Dasar gipsi !" kata Thierry setelah mendengar cerita Rino. Sedangkan tampangku cuma melongo.

Dua bulan pertama perasaan sungguh tak menentu. Jangan-jangan aku sudah tak betah di sini, atau mungkin sedang rindu berat kampung halaman. Namun aku tak ingin menyerah, meski kutahu kota ini bisa menjadi monster yang larut dalam keluhan. Tidak jarang aku mendengar cerita Rino tentang perlakuan rasis serta anggapan bahwa orang Asia begini dan begitu. Sedikit banyak, aku kerap menaruh curiga dan waspada bila ada yang menyapaku selain orang Indonesia. Tak terkecuali sahabat-sahabat Thierry dan Rino yang bertandang ke flat kami. Terus terang aku semakin kesulitan bergaul dan bahasa Prancisku tiada kemajuan.

(Bersambung)

image

@jassy

Sort:  

Dapat ide ini dari mana dulunya?

Posted using Partiko Android

Dapat tantangan mengawinkan 2 negara dalam 1 alur. Tapi gagal, karena gak nemu ending sampai sekarang😃😃

Posted using Partiko Android

Jadi indo paris gitu

Posted using Partiko Android

Iya😆

Posted using Partiko Android

Aku iya pernah ada rncana bikin novel kedua yg menggabungkan jepang, indo abu dhabi dll. Thriller tapi mentok, karena kurangnya penelitian.

Posted using Partiko Android

Susah ternyata😃😃😃😃

Posted using Partiko Android