Di Terminal
Kulihat jam di terminal sudah hampir menunjukkan pukul 3 sore. Sayup-sayup kudengar suara adzan ashar. Segera aku bergegas menuju musala Terminal Meulaboh, Aceh Barat. Ya, sholat dulu, sebelum melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh, toh hanya beberapa menit, dan masih sore, masih banyak bis yang menuju Banda Aceh.
Segera kulepas sepatu dan berdiri antri di toilet mushola. Setelah beberapa saat antri aku tertegun dengan seorang pemuda yang baru keluar dari dalam toilet. Menurut taksiranku dia berumur sekitar 25 tahunan. Badannya kecil sedikit kurus tapi terlihat berisi. Pandangan mataku seakan tak mau lepas dari pemuda itu, hingga tak sadar saatnya giliranku untuk masuk toliet sudah ”terserobot” orang lain. Tentu saja aku tak berani lama-lama memandang pemuda tadi, akhirnya aku mencuri- curi pandangan padanya.
Begitu keluar dari toilet pemuda tadi langsung menuju tempat wudu, dan aku pun masih memperhatikan apa yang dilakukannya dengan seksama tapi tetap dengan mencuri-curi pandang.
Diangkatnya kaki kanannya untuk memutar kran yang ada di depannya. Lalu segera saja dia membungkukkan mukanya tepat di bawah kran yang mengalir. Derasnya air kran seegera mengguyur mukanya.
”Subhanallaah...” gumamku dalam hati, ketika melihat pemuda tadi mengangkat telapak kaki kanannya dan mengusap-usap wajahnya yang masih diguyur air kran. Sangat cekatan sekali telapak kaki itu menggosok wajah sang pemuda, selanjutnya dia merampungkan wudunya dan masuk ke dalam musala.
Begitu dia masuk ke musala barulah aku bisa ke toilet dan segera setelah itu aku berwudu di tempat sang pemuda tadi berwudu. Selanjutnya aku juga bergegas ke dalam musala karena nampaknya sholat jamaah sudah dimulai.
Begitu memasuki musala – kembali pandanganku tersita tertuju pada seorang pemuda yang memakai kaus yang ikut berjamaah di belakang imam. Lagi-lagi aku tertarik melihat bagaimana dia bisa salat.
Akhirnya aku ikut shalat berjamaah dekat dengan sang pemuda tadi. Sang pemuda tadi tetap sholat dengan baik hingga salam, kemudian dia berdizkir sejenak dan kemudian bergegas kembali ke terminal. Begitu aku selesai sholat aku masih saja tertegun dengan pemuda yang aku temui baru saja. Tahukan engkau kawan kenapa aku begitu tertegun padanya? Tak lain adalah kerena sang pemuda tadi ”cukup istimewa”. Ya, paling tidak bagi aku pribadi
Apa sih istimewanya?
Benakku kembali memutar memori saat mengamati cara pemuda istimewa itu salat. Ketika sang imam rukuk pemuda tadi pun ikut rukuk, yang menakjubkan ketika sang imam sujud dia pun mengikuti gerakan imam dengan baik. Gerakan yang cukup lentur seperti seorang yang tidak kehilangan satu pun anggota apapun pada tubuhnya. Aku tidak bisa membayangkan jika aku seperti dia, mungkin sudah terjungkal sejak rukuk tadi.
Ya, pemuda itu tidak mempunyai atau mungkin kehilangan kedua tangannya hingga batas bahu. Nah, bisakah engkau membayangkan walau tanpa kedua tangan, dia tetap mampu melakukan berbagai aktivitasnya seperti itu? Yang lebih penting lagi, dia tetap melaksanakan sholat berjamah dengan baik.
Di dalam bis yang membawaku ke Banda Aceh, pikiranku masih melayang kepada pemuda tadi. Aku berpikir Allah telah menunjukan padaku bahwa ternyata masih ada hambaNya yang jauh kurang beruntung daripada aku, masih saja melakukan ketaatan kepadaNya.
Sementara di tempat yang sama – Terminal Meulaboh – banyak orang yang lebih beruntung dari pemuda tadi, baik secara fisik dan materi, terlupakan pada nikmat yang diberikan Allah SWT pada mereka.
Ah, kenangan tentang pemuda buntung yang saleh itu masih terekam dengan baik di dalam ingatanku meski sudah berlalu hampir 7 tahun lamanya. Semoga saja dengan mengingatkanya aku bisa lebih banyak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan padaku.