Siaran pers
Siaran pers
Mohon kesediaan rekan-rekan media untuk memuat rilis berikut ini.
Terima kasih untuk perhatian dan kerjasamanya...
Wassalam
Hormat kami
Razikin
Penetapan Ganja Sebagai Narkotika Kelas I Harus Ditinjau Ulang
Banda Aceh - Penetapan ganja (canabis) sebagai jenis narkotika kelas I perlu ditinjau kembali mengingat belum pernah dilakukannya penelitian mendalam terkait jenis narkotika ini.
Penegasan itu disampaikan oleh Staf anggota DPD RI Rafli Kande, Razikin kepada media, Jum'at (09/03/2018).
Menurut pria yang akrab disapa Razi ini, berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 pasal (1) ayat 1 dan pasal (6) ayat 1 disebutkan bahwa salah satu proses dalam pembentukan undang-undang, setiap rancangan undang-undang haruslah dilengkapi dengan naskah akademik kecuali RUU tentang APBN, RUU penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu)menjadi Undang- Undang, serta pencabutan Undang-Undang atau pencabutan perpu.
"Ada yang aneh dalam penetapan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, dimana ganja ditetapkan sebagai narkotika kelas I. Padahal, pada tahun 2011 BNN menyatakan belum pernah dilakukan penelitian khusus tentang tanaman ganja tersebut.
Razi menjelaskan, berdasarkan surat Badan Narkotika Nasional Nomor : B/28724/X/2011/BNN Tanggal 06 Oktober 2011 perihal data penelitian mengenai tanaman ganja disebutkan bahwa BNN sampai saat ini belum pernah melakukan penelitian khusus tentang tanaman ganja.
"Dari hal tersebut kita dapat disimpulkan bahwa dalam penetapan ganja sebagai jenis narkotika di dalam UU Narkotika, belum melalui proses kajian akademik yang matang berupa penelitian. Sehingga ada aspek-aspek tertentu yang belum dikaji," katanya.
Politisi muda Barat Selatan Aceh itu mendesak agar pemerintah melakukan kajian kembali sehingga manfaat ganja juga tidak dikesampingkan.
"Harus dikaji ulang, harus diteliti khusus. Jangan sampai sebatas opini lantas ditetapkan dan mengabaikan kajian akademik berupa penelitian. Toh, sejauh ini opini yang dibangun sama sekali seakan-akan ganja yang merupakan komoditi yang tumbuh subur di Aceh sebagai tanaman berbahaya dan tidak memiliki manfaat. Padahal beberapa sumber menunjukkan ganja juga memiliki manfaat,"imbuhnya.
Razi memaparkan, pengobatan di dalam Kitab Tajul Muluk dibahas tersendiri dan terpisah pada sebuah bab. Beberapa penyakit serta cara mengobatinya pun diterangkan dengan gamblang di sini, sangat detail. Mulai dari bahan obat yang digunakan, takaran hingga proses mengolahnya sampai cara menggunakan obat tersebut juga dijelaskan sangat rinci. Sedikit yang membedakannya dengan dunia pengobatan modern adalah hanya terletak pada penamaan jenis penyakit. Misal, di dalam Tajul Muluk disebutkan nama penyakit “manis darah”, jika di dunia medis modern biasa disebut dengan “diabetes” atau “kencing manis”.
Pada bagian lain, lanjut Razi, T.A. Sakti juga membacakan isi salah satu resep pengobatan yang ada di dalam Kitab Tajul Muluk dan bisa digunakan untuk menjadi obat bagi semua “penyakit tua” (penj.: degeneratif). Beberapa bahan obat yang disebutkan adalah lada hitam, jinten, gula batu, bunga Kanja (Ganja), Ofifum (Opium), dan sebagainya. Di halaman resep tersebut juga disebutkan takaran serta cara mengolahnya menjadi sebuah “majun” (pil bulat) serta aturan dosis pemakainnya.
"Diskusi terus berlanjut dengan bahasan yang lebih luas lagi, kali ini tentang budaya pengobatan tradisional masyarakat Aceh di masa lampau dan yang masih terus berlangsung hingga saat ini serta masih dipraktekkan," tambahnya.
Menurut T.A. Sakti, pengobatan tradisional menggunakan ganja di Aceh masih ada hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah untuk mengobati penyakit “manis darah”, masyarakat di sana menggunakan bagian akar dari tanaman ganja dengan cara direbus menggunakan air kemudian diminum. Belum lagi dengan pemanfaatan lainnya, misal untuk penyedap masakan dan mengempukkan daging menggunakan biji ganja. Hal tersebut sudah berlangsung turun temurun dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Aceh yang selama ini samar terdengar, sudah lumrah di telinga awam tetapi terkesan tabu untuk dibicarakan di khalayak umum. T.A. Sakti meyakini bahwa diluar Tajul Muluk sebenarnya masyarakat Aceh sudah mengenal budaya ganja ratusan tahun silam serta sangat paham tentang manfaatnya.
"Dengan adanya penelitian khusus maka kita juga pahami apa manfaat dan apa mudhoratnya, sehingga dapat diatur regulasi aturan yang lebih berimbang," pungkasnya.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.facebook.com/AlthClothBDG/posts/1072564022762812