Mewariskan dan Melestarikan Kebudayaan Aceh

in #esteem7 years ago


Oleh: Prof. Dr. H. Misri A. Muchsin M.Ag

BERBICARA tentang kebudayaan Aceh adalahmengacu pada hasil cita, rasa dan karsa orang atau masyarakat Aceh itu sendiri, yang dihasilkan melalui proses berfikir dan belajar. Tidaklah dikatakan kebudayaan jika bukan produkfikir dan hasil proses belajar manusia, dalam hal ini manusia Aceh.

Malah jika prioritas fikir dan belajarnya lebih maksimal-tinggi, menjadi barometer tingkat dan mutu dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mengingat yang dimaksudkan orang atau masyarakat Aceh demikian majmuk/plural, yang terdiri dari tujuh etnis atau sub-etnis, kebudayaan Aceh dengan demikian mengandung nilai-nilai keumuman, majmuk atau pluralitas pula.

Ketujuh etnis/sub-etnis yang memproduk kebudayaan Aceh dimaksud adalah Gayo, Alas, Tamiang, Simeulue, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Haloban dan Aceh itu sendiri. Keragaman/ kemajemukan etnis-sub-etnisyang ada di Aceh, merupakan kekayaan dan anugerah Allah yang patut disyukuri. Masyarakat Aceh hidup dengan filosofi kesatuan dalam keragaman (unity in diversity).

Hal ini merupakan konsep, filosofi atau falsafah kehidupan bangsa Indonesia umumnya, yang kemajemukannya mencapai ratusan etnis, enam agama dan beribu bahasa, budaya dan adat istiadat masing-masing. Dalam realitas kehidupan yang plural, masyarakat Aceh diikat oleh adat dan budayanya, yang walaupun berbeda-beda etnis, bahasa dan adat-budaya, tetapi jika ditarik benang merahnya ditemukan nilai-nilai kesatuan, karena baik adat dan budaya seluruh etnis-sub-etnis yang ada di Aceh melandasi pada syari’at Islam.

Oleh karenanya kata hikmah Aceh atau yang disebut juga dengan Hadih Maja yang sangat terkenal menyatakan: “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala”, “Hukom Ngon Adat Lage Zat Ngon Sifeut”. Ungkapan lain yang begitu popular dalam masyarakat Aceh, misalnya: Adat bersendi syara’, dan Syara’ bersendikan Kitabullah. Ungkapan terakhir di samping dianut di Aceh, juga menjadi filosofi dalam masyarakat Minang Kabau. Adat dan budaya Aceh dengan demikian memiliki nilai tinggi, karena berlandaskan pada kitabullah (al-Qur’an) dan prinsip unity in diversity. Hal yang demikian pula adat dan budaya Aceh seharusnya memiliki nilai-nilai dinamis dan penuh vitalitas.

Dalam sejarahnya yang panjang, kebudayaan Aceh sudah eksis dan dikenal oleh masyarakat dunia, baik di timur maupun di barat-mancanegara, baik kebudayaan yang berwujud benda dan yang berwujud non-benda atau tak benda. Misalnya mereka mengenal dan menyebutkan dengan Aceh Stone, yaitu Batu Aceh atau batu nisan produk Aceh yang dalam sejarahnya sudah sukses diekspor ke mancanegara, terutama di kawasan Asia Tenggara.

Begitu pula dengan warisan budaya berwujud benda lainnya seperti Rumoh Aceh dengan segala wujud kearifan dan seni arsitekturnya; Taman Ghairah/Taman sari dengan peninggalannya, mata uang dan naskah klasik yang berpuluh ribu jumlahnya juga dapat diklasifikasi sebagai wujud benda dan wujud tak-benda sekaligus. Adapun yang wujud tak benda atau non benda,di samping pengetahuan dari naskah klasik, ditemukan warisan budaya dan adat istiadat yang begitu banyak, unik, dinamis dan penuh kearifan untuk kehidupan dan penghidupan masyarakat Aceh.

Sebut saja dalam hal sistem mata pencaharian: petani, pedagang dan nelayan misalnya, memiliki aturan dan adab yang baku dan memiliki nilai-nilai kearifan yang dilandasi pada ajaran dan syari’at Islam itu sendiri. Misalnya dilarang melaut pada Hari Jumat bagi nelayan, ini contoh nilai kearifan yang dikandungnya tentu supaya semua nelayan dapat menunaikan kewjiban Jum’atnya yang hanya sekali dalam seminggu. Aturan ini dikukuhkan dan dikawal oleh Panglima Laot selaku unsur yang mengayomi semua nelayan yang ada di wilayahnya.

Begitu juga dengan nilai-nilai kearifan dalam berdagang, dalam adat dan budaya Aceh yang diimplementasikan pada masyarakatnya adalah prinsip halal-haram dan mubah atau makruh. Orang Aceh dipacu oleh adat-budayanya dengan prinsip adab yang bersumber dari ajaran Islam dan untuk menyadari mana yang riba dan mana yang tidak riba, sebab kalau mengandung unsur riba, mendatangkan haram dalam perdagangannya..

Prinsip-prinsip ini menjadi prinsip ideal dan menjadi barometer dalam perdagangan masyarakat Aceh. Persoalannya, warisan budaya benda dan tak benda yang demikian dinamis, prosfektif dan banyak tersebut, bagaimana masyarakat Aceh melaksanakan, menyelamatkan dan melestarikannya? Pada tataran praktik, biasanya memiliki permasalahan tersendiri. Banyak situs sejarah dan budaya Aceh yang sudah rusak, dan malah kadang hilang karena ulah tangan jahil dan usil segelintir orang yang tidak beradab. Akibatnya dalam pewarisan nilai budaya dan sejarah dimaksud tidak dapat dibanggakan.

Kerajaan Aceh Darussalam yang begitu megah istananya dan dalam sejarah terkenal namanya dengan Darud-Dunya, tetapi hanya berapa persen saja warisan peninggalannya yang masih tersisa terakhir ini. Begitu juga dengan peninggalan kejayaan kerajaan Aceh yang lain, di timur, di tengah dan di barat Aceh, sedikit sekali yang tersisa. Program Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang digulirkan dalam rentang waktu lima tahunan sekali, dan pada Agustus tahun 2018 akan berlangsung PKA yang ke-7, merupakan alternatif, strategi dan usaha untuk melestarikan kebudayaan Aceh sekaligus mewujudkan optimalisasi dan revitalisasinya yang berlandaskan pada ajaran-syari’at Islam.

Budaya yang berwujud di Aceh berlandaskan pada ajaran Islam, menjadi perekat dan sekaligus pengendali dari semua budaya Aceh yang dihasilkan dari dan oleh etnis-etnis yang ada di Aceh. Prinsip unity in difersity yang diikat oleh ajaran Islam, rasanya lebih hakiki perwujudan kebudayaan Aceh di masa-masa mendatang. Keragaman dan perbedaan bukanlah satu persoalan, tetapi menjadi kekayaan dan rahmat bagi seluruh masyarakat Aceh.

Kemudian kalaulah masyarakat Aceh konsisten melandasi diri pada syari’at Islam, termasuk dalam menjaga-merawat, melestarikan dan termasuk menghasilkan kebudayaan Aceh yang baru (modern), tentu satu ketika akan berwujud kebudayaan Aceh kuat, substansial, dan penuh bermartabat masyarakatnya selaku pengayom dan perawat kebudayaannya. Aamin ya Rabbal Alamin!

  • Prof. Dr. H. Misri A. Muchsin M.Ag

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Sumber