STUDI KOMUNIKASI POLITIK TEUNGKU
A. Pendahuluan
Mengutip sebuah pernyataan bahwa “jika ingin menguasai dunia, maka kuasailah informasi” yang menjelaskan eksistensi komunikasi dalam perjalanan politik. Perjalanan politik tidaklah sederhana, melainkan peristiwa yang sangat rumit dan kompleks. Salah satu icon politik di Aceh adalah teungku dayah. Mereka juga pro-aktif dalam merespon berbagai isu politik melalui lembaga pendidikan yang mereka kelola, yakni dayah.
Di Aceh, pasca penandatanganan MoU Helsinky antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), beberapa teungku dayah merespon fenomena politik dengan beberapa agenda. Sebagian ada yang kembali memperkuat hubungan politik lama dan ada juga mendirikan partai politik lokal sendiri. Partai lokal yang didirikan teungku dayah tidak berhasil meraih dukungan masyarakat pada dua periode pemilu, yakni periode 2009-2014 dan periode 2014-2019. Hal ini menyebabkan partai ulama mengalami degradasi.
Idealnya, teungku dayah mendapat dukungan penuh dari masyarakat, Masyarakat Aceh yang notabene-nya mayoritas muslim, mempertempatkan teungku dayah sebagai panutan dalam segala aspek kehidupan. Demikian pula dalam bidang politik, sudah semestinya masyarakat memberi dukungan terhadap teungku dayah yang berperan di dalamnya. Kenyataannya bahwa masyarakat tidak mendukung politik teungku dayah yang terlihat dari hasil perolehan suara partai yang diusung teungku dayah pada pemilu tersebut.
Beranjak dari fenomena di atas, merupakan persoalan yang sangat erat kaitannya dengan komunikasi politik teungku dayah dalam memainkan peran politiknya. Sistem politik yang dibangun tentunya mewarnai komunikasi politik. Alex Sobur mengutip pendapat Galnor menyebutkan bahwa “Tanpa komunikasi, tidak akan ada usaha bersama, dan dengan demikian tidak ada politik.”. Pye menyatakan bahwa “… tanpa suatu jaringan (komunikasi) yang mampu memperbesar (enlarging) dan melipatgandakan (magnifying) ucapan-ucapan dan pilihan-pilihan individual, maka di situ tidak akan ada suatu politik yang dapat merentangkan suatu bangsa.
Di sini menjadi sangat penting meneliti tentang komunikasi politik teungku dayah. Mengingat iklim politik teungku dayah sangat fenomenal pada tahun 2015, terutama suasana politik di Kabupaten Bireuen, menjadi alasan yang sangat fundamental memilih fokus penelitian ini. Tentu peran politik teungku dayah sangat dipengaruhi oleh komunikasi politik yang diterapkan. Komunikasi politik teungku dayah Kabupaten Bireuen pada tahun 2015 menjadi fokus utama penelitian ini. Asumsinya bahwa komunikasi politik yang diterapkan belum tepat sasaran sehingga menyebabkan kegagalan politik.
B. Komunikasi Politik
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Inggris “communication” yang bersumber dari kata latin “communication” yang berarti “pemberitahuan” atau pertukaran pikiran. Makna hakiki dari “communication ini adalah “communis” yang berarti “sama”, jelasnya: “kesamaan arti”. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa: "communication is the transfer of information from one person to another person". [Komunikasi adalah proses pemindahan/pengiriman informasi dari seseorang kepada orang lain]. Komunikasi merupakan jalan untuk pengiriman gagasan, fakta, pemikiran, perasaan sebagaimana yang dimaksudkan.
Effendy mendefinisikan komunikasi dari dua sudut pandang, yaitu secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi). Secara bahasa (etimologi), kata komunikasi yang disebut dalam bahasa Inggris dengan communication berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata communis. Artinya sama, communicatio atau comunicare yang berarti membuat sama makna. Jadi kalau ada dua orang yang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi akan terjadi selama ada kesamaan makna terhadap apa yang dibicarakan.
Secara istilah (terminologi), Effendy mendefinisikan komunikasi sesuai dengan apa yang dikutipnya dari Devito, yaitu: "The act by one or more persons of sending and receiving messages distorted by noise, within a context, with some effect and with some opportunity for feedback". [Maksudnya, komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih dalam menyampaikan dan menerima pesan yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan efek dan terjadinya umpan balik].
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya, dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuai negara atau terhadap negara lain.
Sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Komunikasi politik menurut Gabriel Almond adalah merupakan salah satu yang menentukan bekerjanya semua fungsi yang ada dalam proses politik. Penggunaan media massa sangatlah penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam pemilu, melainkan mempunyai posisi yang sentral dalam politik. Soemarno melihat komunikasi politik dari dua dimensi, Pertama, komunikasi politik sebagai sebuah kegiatan. Kedua, komunikasi politik sebagai kegiatan ilmiah. Komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Kegiatan ini bersifat empirik karena dilakukan secara nyata dalam kehidupan sosial. Sedangkan sebagai kegiatan ilmiah maka komunikasi politik adalah salah satu kegiatan politik dalam sistem politik.
Proses komunikasi politik tidak terlepas dari propaganda politik sebagai upaya memperkuat dan mempercepat pencapaian tujuan politik. Dalam setiap proses politik maka propaganda merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalamnya. Proses tersebut merupakan upaya sistematis yang dilakukan para pihak untuk memperoleh pengaruh pihak lain termasuk publik politik. Berkaitan dengan peran sentral propaganda politik, propaganda politik merupakan wujud "perang urat saraf" yang dilancarkan oleh lawan politik sebagai upaya mempengaruhi lawan politik.
Arifin menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan proses propaganda, yaitu 1) Empati, adalah kemampuan untuk menempatkan diri terhadap kondisi dan situasi orang lain. Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksi diri sendiri ke dalam titik pandang dan empati orang lain memberi peluang kepada seorang politikus untuk berhasil dalam pembicaraan politiknya. 2) Homofili, yang berarti komunikasi dengan orang yang sama, yaitu derajat orang yang berkomunikasi memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Sederhananya Homofili digambarkan sebagai suasana dan kondisi kepribadian serta fisik antara dua orang atau kelompok yang berinteraksi dengan lancar karena memiliki kesamaan baik kepentingan organisasi, partai maupun yang lainnya.
Komunikasi politik berlangsung secara timbal balik melalui saluran komunikasi yang efektif. Dua indikator fungsi komunikasi politik yang dapat menunjukkan bahwa arus komunikasi politik berlangsung secara timbal balik dan berhubungan langsung dengan kebijakan atau keputusan yaitu fungsi agresi kepentingan (interest aggregation function) dan fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation function).
Kegiatan politik mencakup kepentingan politik dari komunikator politik baik partai politik/elit, politisi, profesional seperti konsultan politik, akademis/pengamat, dan juga aktivis yaitu tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, mahasiswa dan lain-lainnya. Kepentingan komunikator politik terutama partai politik dan politisi menjadi isu-isu perjuangan dan perdebatan berdasarkan kepentingan dan tujuan masing-masing. Komunikator mesti memanfaatkan media untuk mempermudah proses sosialisasi, kampanye bahkan propaganda politik.
Komunikator politik selalu mempunyai dan memperjuangkan kepentingan politik mereka atas dasar tuntutan dan tujuan aktivitas politik yang diusung. Hal dimaksud adalah proses menampung, mengubah, mengoversi aspirasi politik masyarakat berupa tuntutan (demanding) dan dukungan (suporting) menjadi alternatif-alternatif kebijakan publik berupa kebijakan (policy) dan keputusan (decision). Tujuan dari fungsi agregasi kepentingan adalah untuk menghimpun kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat dan kemudian mengubahnya menjadi kebijaksanaan umum. Proses pencapaian tujuan politik dapat menggunakan berbagai cara dan saluran-saluran politik termasuk media massa, new media dan sosial media.
Sampai di sini komunikasi politik dapat dikatakan sebagai suatu keharusan dalam proses politik. Komunikasi politik sangat diperlukan dalam aktivitas politik dan sangat mustahil bagi politisi dan kandidat politik mengabaikan komunikasi politik melalui media massa dan lainnya. Brian McNair dalam Irwansyah menjelaskan bahwa, komunikasi politik adalah diskusi publik mengenai alokasi sumber-sumber publik, otoritas wewenang, dan wewenang memberikan sanksi.
Brian McNair menyatakan bahwa terdapat tiga elemen dalam proses komunikasi politik yaitu:
- Political organization (partai politik, organisasi publik, pressurese group, organisasi teroris dan pemerintah)
- Media massa (dalam konteks sekarang new media dan soscial media termasuk di dalamnya)
- Masyarakat/rakyat.
Dalam proses politik secara integral melibatkan partai politik dan politisi, pemerintah, kelompok dan organisasi berpengaruh, masyarakat atau rakyat atau publik, dan media massa. Ketiga elemen atau komponen tersebut merupakan bagian yang tidak mungkin hilang dalam proses politik, mereka adalah para pihak yang secara terus menerus melibatkan dalam berbagai bentuk peran dan konstribusi mereka dalam proses politik.
Nimmo dan Sanders mengungkap pengaruh-pengaruh politik dimobilisasi dan ditransmisikan antara institusi pemerintahan formal di satu sisi, dan perilakun memilih masyarakat di sisi lain. Artinya adalah bahwa komunikasi politik yang berujung pada efek ada atau tidak adanya pengaruh politik dinyatakan pada indikasi perilaku memilih (voting behaviour) masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi tersebut. Seolah-olah komunikasi politik itu terbatas hanya pada momentum pemilihan pemimpin sesuatu negara. Padahal, Konsep komunikasi politik itu mencakup segala bentuk komunikasi yang dilakukan dengan maksud menyebarkan pesan-pesan politik dari pihak-pihak tertentu untuk memperoleh dukungan massa.
C. Komunikasi Politik Teungku Dayah
- Pemaknaan Teungku Dayah; Substantif dan Reduktif
Dalam Kamus Bahasa Indonesia-Aceh, disebutkan bahwa teungku merupakan gelar bagi yang ahli atau berilmu di bidang agama Islam atau yang lebih taat dari kebanyakan orang; yang menjabat jabatan yang berhubungan dengan agama, seperti orang-orang suci, lebee-lebee, orang-orang yang telah naik haji, guru-guru agama, kepada yang belajar agama di balee.
Secara historis, label Teungku muncul seiring dengan tradisi pendidikan Islam di Aceh, bagi pihak-pihak yang mengelola dan membangun sistem pendidikan Islam jaman itu, sebagai pendidikan formal, yang dimulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi (balee, rangkang, meunasah, mesjid, dan dayah). Teungku dilabelkan bagi semua umumnya masyarakat Aceh, yang berlandaskan latar belakang dan status tertentu, tanpa menyentuh substansi teungku pada awal dilabelkan. Bahkan, banyak yang “salah kaprah” yang menimbulkan polimik antar elemen masyarakat. Fenomena ini berimplikasi kepada reduksi makna teungku sebagaimana awal dilabelkan.
Ada beberapa label teungku terjadi dalam konstruksi sosial, antara lain: Teungku, dilabelkan bagi semua ureung Aceh dalam arti Aceh teungku, Meulayu abang, Cina toke, Kaphe tuan. Teungku, yang dimaknai terhadap kepakaran, kehandalan, dan keulamaan seseorang dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Biasanya digabung dengan nama tempat tinggalnya, seperti Teungku Muhammad Amin. Teungku yang dilabelkan bagi semua pihak yang terlibat dalam tradisi pendidikan, mulai dari masih tingkat dasar sampai kepada guru besarnya, seperti teungku rangkang, teungku ubit, teungku dayah dan sebagainya.
Teungku yang diperuntukkan terhadap seseorang pasca pelaksanaan ibadah (haji) , seperti Teungku Haji Gadeng, dsb. Teungku bagi pihak-pihak sebagai unsur-unsur dalam lembaga sosial keagamaan, seperti teungku imum, teungku qadhi, teungku peutua, teungku meunasah, teungku bilee, dan dsb. Teungku yang digunakan untuk kelompok “pejuang” GAM, baik kombatan atau non kombatan; dan –mungkin- banyak sekali.
Dalam konteks ini, secara substansial ada dua makna bagi terma teungku, yang pertama teungku dilabelkan bagi orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang agama. Kedua, bagi semua masyarakat Aceh dari berbagai kalangan, sesuai dengan status sosial, tanpa melihat sisi kepakaran dan keulamaannya. Jadi, teungku memiliki keunikan tersendiri bagi orang Aceh, yang sangat bervariasi penggunaannya untuk status-status sosial, kepakarannya, dan kekhasan yang melekat dengan pribadi seseorang.
Snouck Hurgrunje seperti dikutip oleh Sulaiman Tripa, teungku dipergunakan dan disebutkan bagi (1) orang malém. Malém berasal dari bahasa Arab, asal kata mualim, yang artinya guru. Orang yang disebut malém, memiliki pengetahuan mengenai kitab-kitab keagamaan, kalau di gampong-gampong umumnya kitab kuning. (2) orang além (asal kata alim; bahasa Arab, berarti orang yang berilmu) yang telah melengkapi pendidikan agamanya.
Hasbi Amiruddin dalam Program Pengembangan Dayah di Aceh, Teungku baginya adalah panggilan ulama bagi masyarakat Aceh, dan secara kultural adalah orang-orang tamatan lembaga pendidikan dalam bentuk dayah, yang menjadi sosok guru pendidikan agama baik di dayah itu sendiri atau lembaga keagamaan gampong.
Dari sini, jelas bahwa pemakanaan teungku diperuntukkan bagi orang-orang yang secara kualitas memiliki kepakaran dan kehandalan dalam bidang keagamaan, tidak bagi yang lain. Diperkuat dengan argumen Warul Walidin, “Bagi teungku-teungku yang sudah mampu mengelola dayah besar dan punya malakah (kharisma) tinggi bagi santri dan ikutannya mereka digelar dengan teungku chik dan biasanya panggilan untuk mereka dengan menggunakan ungkapan abu atau abu chik atau ungkapan lain yang sinonim dengan dengannya.
Uraian di atas memperlihat pemaknaan teungku dayah secara jelas karena keterkaitan penyebutan teungku dengan dayah. Lebih tegas disimpulkan bahwa teungku dayah ialah orang-orang yang secara kualitas memiliki kepakaran dan kehandalan dalam bidang keagamaan yang senantiasa berinteraksi dengan dayah, mulai dari belajar di dayah hingga selanjutnya mendirikan dan mengelola dayah. Penyebutan teungku dayah sebenarnya untuk memperjelas pergeseran pemaknaan yang cenderung dipengaruhi oleh budaya. - Peran Politik Teungku Dayah
Peran teungku dayah merupakan salah satu bagian dari keseluruhan rangkaian evolusi upaya politik. Peran tersebut mempunyai arti penting yang sangat signifikan dan konstruktif dalam aspek yang cukup besar antar komponen masyarakat Aceh secara keseluruhannya. Peran politik teungku dayah dapat dilihat dari keterlibatannya dalam beberapa kegiatan yang erat hubungannya dengan nuansa politik, yang antara lain:
a. Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) berperan aktif ketika ditetapkan status darurat militer di Aceh pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri melalui Kepres No. 23 tahun 2003. HUDA dijadikan sebagai alat politik teungku dayah dalam pembahasan draf undang-undang, di mana materi rumusan draf mengutamakan pelaksanaan agenda syariat Islam adalah melibatkan teungku dayah dalam proses pengambilan keputusan yang disejajarkan dengan negara.
b. Rabithah Thaliban Aceh (RTA)
Peran politik Rabithah Thaliban Aceh (RTA) berjalan aktif bersama HUDA. Kemunculan Rabithah Thaliban Aceh (RTA) merupakan hasil kerja keras teungku dayah. Hal itu merupakan bentuk partisipasi para teungku dayah dalam upaya pembangunan Aceh ke arah yang lebih baik. Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dimaksudkan menghidupkan, memotivasi para teungku dayah melakukan peranan besar dalam pencapaian cita-cita Aceh negeri makmur lagi sejahtera yang berada dalam lindungan Tuhan (Baldatun thaibatun warabbul ghafur).
Beberapa catatan membuktikan bahwa teungku dayah telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dinamika politik Aceh. Dari organisasi ini telah melahirkan tokoh-tokoh dan memegang peranan penting dalam dinamika politik Aceh di antaranya adalah Tgk. Faisal Ali (Ketua NU Aceh dan Naib Ketua MPU Aceh), Tgk. H. Anwar Usman (Naib Ketua MPU Fidie Jaya), Tgk. Muhibban Ajad (Ahli parlimen Kota Banda Aceh).
c. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Peranan MPU meliputi kepada persoalan kehidupan bernegara dengan memiliki kewenangan memberikan pertimbangan terhadap polisi daerah termasuk bidang pemerintahan dan pembangunan. MPU juga melakukan kerjasama dengan pihak polisi daerah dalam rangka penegakkan hukum, hal ini terlihat dengan pengakuan kepala polisi daerah Aceh Iskandar Hasan ketika hendak mengakhiri tugasnya di Aceh.
Peranan politik MPU yang lain adalah apa yang dilakukan MPU menjelang pemilihan gubernur Aceh tahun 2012, ketika penutupan musyawarah MPU mengisyaratkan beberapa point penting berhubungan dengan pemilihan gubernur tersebut, salah satu poinnya adalah MPU menyatakan tiap-tiap muslim wajib memilih orang yang bertakwa, jujur, amanah, cerdas, berpengetahuan luas, komunikatif dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap penerapan syariat Islam yang kaffah.
d. Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA)
Pada awalnya teungku dayah yang bergabung dan menjadi pengurus MUNA adalah para ulama dayah yang sejak awal bergabung dan terlibat dalam perjuangan GAM pada masa konflik. Namun sejalan dengan arah perkembangan politik Aceh, para teungku dayah yang memiliki haluan pemikiran nasionalisme Aceh, ikut bergabung dalam barisan MUNA ini.
Kehadiran dan perkembangan MUNA pada saat-saat partai Aceh menghadapi pemilihan legislatif, dinilai banyak kalangan menjadi penyumbang suara bagi Partai Aceh pada pemilihan legislatif 2009 secara besar-besaran. Di antara peranan politik MUNA sebagai salah satu alat politik teungku dayah adalah konsolidasi juru kampanye (Jurkam) Partai Aceh (PA) yang dilaksanakan di Aula lantai II Gedung DPRK Abdya pada 15 Pebruari 2012.
Peranan politik MUNA lainnya adalah keikut-sertaan mereka dalam pelbagai diskusi-diskusi bersama eksekutif dan legislatif dalam proses pengambilan polisi seperti proses pembuatan qanun propinsi, seperti usulan MUNA dalam penyusunan qanun wali Nanggroe yang dilakukan pada rapat dengar pendapat (RPDU) di ruang utama sidang DPRA yang berlangsung Senin 18 Juni 2012.
e. Yayasan Dayah Bersaudara (YADARA)
Yayasan Dayah Bersaudara (YADARA) merupakan sebuah organisasi teungku dayah yang bergerak dalam bidang pengembangan kemandirian dan persaudaraan antar dayah yang ada di Aceh. Yadara juga aktif dalam partisipasi politik, ini dapat dilihat dari peranan Tu Sop selaku ketua umum Yadara dalam komunikasi-komunikasi intensif, komunikasi aktif dengan pihak GAM dalam-masa konflik yang kemudian menjadi penguasa Aceh. Saat ini beliau dilibatkan sebagai penasihat Gubernur Aceh periode 2012-2017, dalam kapasitas sebagai teungku dayah dan juga ketua Yayasan Dayah Bersaudara (YADARA) berperan memberikan usulan pelaksanaan politik pemerintah Aceh pada periode 2012-2017. Hal ini secara tidak langsung juga terhubung kait dengan Yadara.
Pengurus Yadara lainnya adalah Teungku Nasruddin Judon. Beliau bergerak dalam bidang dakwah memainkan peran politik dengan memotivasi masyarakat untuk melakukan kritikan terhadap pemerintah yang bertentangan dengan hukum Islam. Atas dasar itu pula kemudian beliau didaulatkan sebagai penasehat FPI Bireuen. Beliau juga bergabung dalam Partai Aceh. Sebagai pelaku politik tentunya juga akan memengaruhi Yadara.
f. Nahdlatul Ulama (NU)
Peran politik yang dilakukan oleh Teungku Faisal Ali sebagai Ketua Tanfidiyah NU Aceh antara lain :
a. Teungku dayah Aceh Desak polisi syariah untuk mengejar wanita yang terlibat dalam seks undian, yang dirilis oleh Jakarta Globe.
b. Teungku Faisal Ali meminta pemerintah Aceh Jaya fokus terhadap pendidikan yang dirilis oleh media online milik pemerintah Aceh Jaya.
c. Jaringan hubungan penangkapan tersangka teroris dengan Aceh, yang dirilis oleh Berita Sore.
d. PB HUDA, RTA dan NU Adakan Pendidikan Pemilih, yang dirilis oleh media NU.
e. Sebagai pemateri pada diskusi tentang syariat Islam yang diselenggarakan oleh Aceh Institute.
Begitu juga dengan peranan yang dilakukan oleh Waled Nuruz Zahri selain sebagai Syuriah NU Aceh, beliau juga pimpinan Dayah Ummul Ayman yang terlibat aktif dalam partisipasi politik. Dalam masa konflik Aceh beliau selalu mengiringi Abu Ibrahim Bardan dalam pelbagai diskusi-diskusi penyelesaian konflik yang berlaku. Begitu pula pasca konflik beliau ikut terlibat dalam perumusan draft UUPA ulama dayah yang diselenggarakan dalam musyawarah ulama dayah di PT. Arun. Dalam pembentukan pendidikan dayah di Aceh, beliau juga terlibat dalam tim penyusun kurikulum pendidikan dayah di Aceh.
g. Lembaga Pendidikan
- Dayah
Dinamika politik yang melibatkan teungku dayah sangat bervariasi sesuai dengan komitmen individu dari masing-masing ulama dayah sendiri, antara lain sebagai penasehat dalam aktivitas politik, sebagai praktisi politik atau politisi yang terjun langsung dan mengaji bagian dari partai politik, yang terus memantau dinamika politik yang berkembang. Tidak hanya satu partai politik yang datang ke dayah, akan tetapi mereka datang dari pelbagai partai politik. Mayoritas, mereka datang untuk meminta pendapat dan petunjuk tentang arah aktivitas politik ke depan, mengindikasikan bahwa dayah memiliki simpati politik yang besar dari masyarakat, sehingga harapan memperoleh kemenangan politik. - Majelis Ta'lim
Majelis Ta'lim adalah kumpulan pengajian yang diikuti oleh masyarakat baik kaum laki-laki dan perempuan. Model pengajian ini hanya diikuti oleh kumpulan usia dewasa dan orang tua. Secara sosiologis, teungku dayah memiliki peranan penting untuk membina persepsi politik masyarakat. Teungku dayah yang mengurus majelis ta'lim dengan beragam versi, secara sosiologis memiliki kuasa politik secara pasif dan secara aktif. - Perguruan Tinggi
Secara eksplisit, kehadiran perguruan tinggi dalam dayah kurang tepat diposisikan sebagai alat politik teungku dayah. Namun apabila dilihat lebih mendalam dinamika politik sekarang ini di Aceh mempunyai hubungan kuat antara kehadiran perguruan tinggi dengan dinamika politik yang diperankan oleh para teungku dayah. Perguruan tinggi yang lahir di dayah dapat membuat dayah ini semakin diperhitungkan oleh pelbagai pihak dan dari segala sisi termasuk dalam segi politik. Pelbagai pihak sekarang membina silaturahmi dan komunikasi politik dengan pihak dayah.
Di samping itu, kader-kader dayah menjadi dominan dan memiliki peranan signifikan dalam kegiatan politik. Lebih jauh bahwa banyak teungku dayah yang terjun ke dunia politik praktis untuk mengisi posisi strategis di struktur partai politik. Selain daripada itu ada juga yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dan memperebutkan kursi legislatif untuk tingkat daerah, propinsi, dan nasional.
h. Partai Politik
Keterlibatan langsung para teungku dayah Aceh dalam partai politik dapat dilihat dari lahirnya salah satu partai politik daerah yaitu Partai Daulat Aceh yang berbasis ulama dayah dan dayah di Aceh. Para pengurusnya juga banyak dari kalangan para alumni-alumni dayah di Aceh, seperti Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Sentral Maklumat Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai lainnya.
Dengan kejayaan teungku dayah yang begitu strategis dalam masyarakat Aceh, tidak mengherankan apabila tokoh-tokoh (elit) partai politik di Aceh berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan sokongan dari para teungku dayah ini dalam upaya untuk memenangkan partai politiknya dalam setiap pemilihan.
- Komunikasi Politik Teungku Dayah
Komunikasi politik merupakan salah satu yang menentukan bekerjanya semua fungsi yang ada dalam proses politik. Sama halnya yang dilakukan teungku dayah dalam menjalankan perannya sebagai aktor politik. Para teungku dayah terlibat dalam politik secara langsung (praktis) dan tidak langsung. Hal ini memberi gambaran mengenai komunikasi politik yang diterapkan. Artinya komunikasi politik teungku dayah bisa dipahami dengan komunikasi satu tahap dan dua tahap. Kecenderungan komunikasi dua tahap memposisikan teungku dayah sebagai opinion leader.
Komunikasi politik teungku dayah dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan. Berarti komunikasi politik teungku dayah dipahami dengan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh teungku dayah -sebagai aktor politik- kepada pihak lain. Secara nyata dalam kehidupan sosial para teungku dayah dewasa ini banyak yang mengangkat tema tentang politik, baik dalam pengajian, ceramah, khutbah dan tempat-tempat lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian teungku dayah menjadi juru kampanye politik.
Komunikasi politik teungku dayah juga bisa digolongkan sebagai kegiatan ilmiah. Komunikasi politik teungku dayah ditafsirkan menjadi salah satu kegiatan politik dalam sistem politik. Banyak teungku dayah yang terjun kedunia politik, menjadi pengurus partai, unsur pemerintahan, calon anggota legislatif dan eksekutif, serta elemen-elemen politik lainnya. Semua hal ini tidak terlepas dari upaya membangun jaringan yang kita sebut di sini dengan komunikasi politik.
Berbagai kegiatan yang secara kasat mata tidak disebut dengan kegiatan politik –seperti mengelola lembaga pendidikan dayah-, namun dalam implementasinya tidak dapat melepaskan diri dengan politik. Membangun hubungan atau negosiasi dengan pemerintah menjadi bahagian dari keberlangsungan lembaga dimaksud. Di sini dapat dimaknai bahwa komunikasi politik teungku dayah merupakan suatu kebutuhan.
Proses komunikasi politik tidak terlepas dari propaganda politik sebagai upaya pencapaian tujuan politik. Wibawa yang dimiliki teungku dayah menjadi motivasi ke arah ini. Banyak masyarakat menaruh harapan pada munculnya statement teungku dayah ketika menghadapi agenda politik tertentu. Di sini para teungku dayah biasanya sedikit berhati-hati dalam menyampaikan. Sedikit kesilapan dalam mengeluarkan pendapat biasanya akan sangat berpengaruh pada respon politik masyarakat, terutama para simpatisan teungku dayah. Menunjukkan bahwa komunikasi politik teungku dayah juga didasari strategi dan diawali suatu perencanaan serta menjunjung tinggi etika komunikasi.
Kemampuan teungku dayah untuk menempatkan diri terhadap kondisi dan situasi orang lain menjadi faktor pendukung meraih simpati massa. teungku dayah yang dianggap sebagai rujukan akan dipandang sebagai kesimpulan membuat pilihan politik. Dalam hal ini terdapat beberapa kasus yang justru sebaliknya. Beberapa teungku dayah tidak mendapat kepercayaan masyarakat karena tidak mampu mempertahankan posisinya teungku dayah yang oleh beberapa sumber disebut oknum teungku dayah.
Selain itu, teungku dayah juga memiliki jaringan yang terbentuk secara alami. Jaringan ini bukan disiapkan untuk tujuan politiknya –seperti sesama alumni dayah, sesama anggota organisasi tertentu, dan lain sebagainya-, ketika masanya juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Untuk Aceh ini menjadi potensi luar biasa. Teungku dayah yang masih diterima kehadirannya oleh masyarakat banyak dapat dimanfaatkan sebagai komunikan politiknya.
Dalam banyak kasus, terutama persoalan politik, selalu mendapat respon dari berbagai kalangan masyarakat. Terlepas dari adanya respon negatif, bahwa komunikasi politik teungku dayah dapat digolongkan kepada komunikasi efektif. Artinya ada respon timbal balik dalam komunikasi politik berlangsung. Sampai di sini kepentingan politik teungku dayah menjadi isu-isu dalam masyarakat. Tinggal lagi teungku dayah memanfaatkan aspek komunikasi politik yang lain mempermudah proses sosialisasi, kampanye bahkan propaganda politik.
Komunikasi politik teungku dayah secara lahiriyah untuk memperjuangkan penerapan syari'at Islam. Implementasi nilai-nilai Islam menjadi bendera yang dikibarkan dalam perjuangan politik. Mereka berupaya menampung, mengubah, mengoversi aspirasi politik masyarakat berupa tuntutan (demanding) dan dukungan (suporting) untuk menuju kearah tersebut. Sosialisasi politik cenderung menyuarakan upaya perubahan system menuju penerapan dan penguatan nilai-nilai syari'at.
Dalam ruang lingkup terbatas, sering pula teungku dayah menyampaikan ungkapan terhadap legitimasi dayah dalam pandangan pemerintah. Hal ini berangkat dari keinginan untuk keluar dari sikap sebagian pihak yang memposisikan dayah dalam kondisi dimarginalkan. Sehingga sering terdengar kekecewaan atas kebijakan yang berlaku selama ini. Walaupun terlihat subjektif, tindakan ini juga berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan agama.
Proses politik secara integral melibatkan semua elemen atau komponen masyarakat, secara individu maupun kelompok. Mereka adalah pihak yang secara terus-menerus terlibat dalam berbagai bentuk peran politik. Demikian halnya politik teungku dayah yang juga tidak mungkin melepaskan dari semua hal itu. Pengaruh politiknya berujung pada ada atau tidak adanya perilaku memilih (voting behaviour) masyarakat.
Di Aceh, terdapat dua pandangan masyarakat antara mendukung dan tidak mendukung. Sikap ini berangkat dari asumsi kelayakan dan tidak layaknya para teungku dayah berpartisipasi dalam politik. Dari karena itu teungku dayah mesti bekerja keras meluruskan hal ini. Banyak tenaga yang terbuang dalam menjelaskan tentang eksistensi teungku dayah dalam dunia politik. Intinya komunikasi politik teungku dayah dalam terus berkisar pada upaya memperkenalkan politik Islam dan urgensi kehadiran teungku dayah dalam ranah politik.
Di samping itu teungku dayah juga banyak memanfaatkan komunikasi politiknya untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa perjalanan politik tidak terbatas hanya pada momentum pemilihan pemimpin. Akan tetapi mencakup segala bentuk agenda politik dan berlaku dalam rentang waktu yang lama. Keputusan yang diambil saat ini akan menentukan bentuk politik pada masa yang akan datang. Memaparkan kriteria pemimpin yang tepat menjadi topik utama komunikasi politik teungku dayah.
Dari uraian di atas, komunikasi politik teungku dayah yang dijalankan cenderung pada penyebaran nilai-nilai politik Islam, yang mana hal ini masih diperselisihkan. Di samping itu komunikasi politik teungku dayah, bagi sebagian kalangan dianggap sosialisasi bagi kepentingan politik kelompok kecil masyarakat dayah. Lebih tegas dapat dikatakan bahwa komunikasi politik teungku dayah dominan menyampaikan mengenai kehadiran dan keterlibatannya dalam ranah politik praktis dewasa ini. Berarti telah menghabiskan tenaga yang berdampak pada kurang pemanfaatan untuk penyampaian tujuan politik sebagaimana tuntutan perilaku saat ini.
D. PENUTUP
Dari berbagai pemaparan dalam uraian sebelumnya perlu diambil suatu kongklusi mengenai komunikasi politik teungku dayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi politik teungku dayah yang dijalankan selama ini cenderung fokus pada upaya penyebaran nilai-nilai politik Islam, dipahami oleh sebagian kecil masyarakat sebagai upaya mensosialisasikan kepentingan politik masyarakat dayah saja, dominan pada penyampaian tentang perihal kehadiran dan keterlibatan teungku dayah dalam ranah politik praktis, serta kurang menyampaikan tujuan politik –yang sesuai dengan harapan- masyarakat banyak saat ini. Beberapa gambaran komunikasi politik teungku dayah ini, menyebabkan komunikasi politik yang dijalankan kurang tepat sasaran. Dari itu menjadi penting pada masa yang akan datang bahwa memperhatikan keinginan masyarakat untuk meraih simpati mereka. Hal ini dijadikan sebagai upaya peningkatan komunikasi politik teungku dayah dalam pencapaian tujuan politiknya.
BIBLIOGRAFI
Abu Bakar, Kamus Bahasa Indonesia-Aceh, Jakarta: Balai Pustaka, n.d.
Aji Sularso, Profesionalisme Humas dalam Menghadapi Tantangan, Jurnal
Alex Sobur, Paradigma Komunikasi Politik dalam Mewujudkan Masyarakat Madani, Makalah Juara ke III, LKTI dosen Unisba Tahun Akademik 1999-2000, tidak diterbitkan.Komunika, Vol. 9, No. 2, LIPI Press, 2006.
Brian McNair, An Introduction to Political Communication, New York: Routledge, 1995.
Bustanul Arifin dan Didik J Rachbini, Ekonomi Politik Dan Kebijakan Publik, Jakarta: Grasindo, 2003.
Dan Nimmo & Keith R Sanders (editors), Handbook of Political Communication, London: Sage Publications, 1981.
Gabriel A. Almon & James S. Coleman, Polities of the Developing Areas, Princeton, University Press, 1990.
Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008
Hasbi Amiruddin, MA, Prof. Dr. E-Book; Program Pengembangan Dayah di Aceh.
HM. Thamri, Perang Kemerdekaan Aceh, Banda Aceh, Badan Perpustakaan Aceh, 2007.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Cet. I, Jakarta: UI Press, 1990.
N. Pradhan dan Niti Chopra, Communication Skills for Aducational Managers, India: Book Enclave, Jaipur, 2008.
Onong Ucjhana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1984.
________________, Spektrum Komunikasi, Bandung: Mandar Maju, 1992.
Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir: Teungku Bantaqiyah, Jakarta, Yappika, 2003.
Soemarno AP, Komuniaksi Politik, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2006.
Sulaiman Tripa, Meunasah. Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Jurnal Aceh Institute, 2010.
Umaimah Wahid, Komunikasi Politik, Perekembangan Teori dan Praktek, Jakarta: Widya Komunikasi, 2012.
Wahid dalam Jurnal Sosiohumaniora, Volume 16 Nomor 1, Maret 2014.
Warul Walidin, Peranan Ulama dalam Pelaksanaan Syaria’t Islam di NAD, Banda Aceh: Pemda NAD, 2006.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. XII, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Rujukan Tambahan:
Harian Serambi Indonesia Edisi 10 Mei 2016
AD/ART Himpunan Ulama Dayah Aceh ( HUDA )
Anggaran Dasar Yayasan Dayah Bersaudara (YADARA).
Laporan KIP Tahun 2009 dan 2014
http://id.wikipedia.org
http://www.acehinstitute.org.
http://atjehpost.com/read/2012/26/03/12871/31/31/Usulan-Buka-Konsulat-Luar-Negeri-MUNA-Merujuk-UUPA-dan-MoU-Helsinki
http://www.thejakartaglobe.com/news/aceh-ulama-urges-shariah-police-to-pursue-women-involved-in-sex-raffle/.
http://www.acehjayakab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=241:tgk-faisal-ali-minta-aceh-jaya-fokus-pendidikan&catid=41:agama&Itemid=1.
http://beritasore.com/2010/08/13/ulemas-dont-link-arrested-terror-suspect-to-aceh/.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,37275-lang,id-c,nasional-t,FB+ HUDA+RTA+dan+NU+Adakan+Pendidikan+Pemilih-,phpx
http://www.acehinstitute.org/en/programs/public-discussion/discussion-results/item/89-hasil-diskusi-nasib-rancangan-qanun-jinayah.html.
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by ummahzafir from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.
Congratulations @ummahzafir: this post has been upvoted by @minnowhelpme!!
This is a free upvote bot, part of the project called @steemrepo , made for you by the witness @yanosh01.
Thanks for being here!!