Rasyidin : Lelaki Ganja

in #fiction7 years ago


sumber

Ini kali ketiga dia meringkuk di dalam penjara. Menurut Rasyidin tetua kampung telah menjebaknya. Teungku Imum adalah orang yang harus bertanggung jawab selanjutnya Tuha Peut dan Kepala Desa. Lelaki Bermata Sipit ini tak pernah menyadari tingkahnya yang kerap membuat tetua kampung resah. Tak terkecuali ibunya, perempuan tua itu terpaksa pergi meninggalkan rumah akibat sikap buruk Rasyidin. Pun, ia tidak merasa urat sarafnya sedang putus satu persatu.

“Biar tubuhnya busuk di dalam penjara!” kata Maryati, kakaknya.

Mendengar kata-kata Maryati. Orang-orang tersenyum. Mengingat Rasyidin sering menerornya dengan cara melempar batu-batu kecil ke atas atap rumahnya setelah itu dia meninju-ninju papan rumah Maryati sehingga perempuan ini dan anak-anaknya yang masih kecil takut bukan kepalang. Meski suami Maryati seorang lelaki yang gagah dan bertubuh kekar tapi tidak sanggup berbuat banyak. Rasyidin dengan leluasa berteriak macam orang kesurupan di halaman rumahnya.

Tiba-tiba seember air dingin tersembur ke tubuhnya. Ia bangun tergopoh-gopoh sambil melontarkan kata-kata kotor. Seorang lelaki berseragam abu-abu berdiri tegap di hadapannya. Polisi itu memasang wajah manyun menatap Rasyidin sedang memegang kedua lututnya yang menggigil kedinginan.

“Kau pikir menasah tempat hisap ganja! Haramjadah!” Polisi itu membentaknya.

Rasyidin hanya terdiam seraya memindahkan posisi duduk. Gertakan polisi bukan kali ini saja ia dengar. Dulu di saat di Malaysia. Rasyidin pernah mendengar gertakan yang lebih parah lagi. Namun, Lelaki Urakan ini menanggapinya dengan santai.

“Bukan salahku, Pak Polisi,” dia mengiba.

Dalam sekejap, tamparan melayang ke wajahnya hingga membuat pipi teposnya itu melebam.

“Minta rokok sebatang, Pak Polisi,” katanya memelas.

Polisi, dengan wajah murkanya, menyodor sebatang rokok. Lantas, senyum Rasyidin mengiringinya keluar. Tiga hari baginya bukan masalah. Dia malah lebih senang hidup di dalam penjara karena terasa seperti sudah punya bini. Tak pernah ia menyesali perbuatan yang membuat tetua kampung murka. Bahkan dia terlihat senang di dalam penjara asal pak polisi rajin-rajin menyepaknya dan memberikannya rokok, itu sudah lebih daripada cukup.

Kepala Desa Joek yang masih menganggap Rasyidin sebagai rakyatnya pergi ke kantor polisi. Ia ditemani kakak Rasyidin. Bukan Maryati tapi Rohani; kakak pertamanya. Setelah mendengar kata-kata polisi. Janda ini menarik nafas panjang. Kepala Desa seakan tak mampu berbuat banyak. Rakyatnya yang satu ini musti dikeluarkan dari tempat terkutuk ini.

“Caranya?” tanya Rohani penasaran.

Kepala Desa menggeleng-geleng; tak ada solusi. Pabrik padinya mulai bangkrut akibat diseroboti oleh penggiling padi jalanan.

“Kau masih punya simpanan mendiang suamimu.” Katanya polos.

Mata sipit Rohani menari-nari ke wajah lonjong Kepala Desa. Tiga juta bukan uang sedikit. Dia hendak menggunakan uang itu buat mengobati anaknya yang sedang sakit.

“Terserah, itu adikmu,” ujar Kepala Desa.

Rohani meminta sedikit waktu. Dia keluar dan mondar-mandir di halaman kantor polisi. Lalu masuk.

“Baiklah,” kata Rohani seperti ada sesuatu tersangkut di kerongkongannya.

Polisi itu menungging senyum sambil mengambil secarik kertas. Setelah mereka membubuhkan tanda tangan. Rasyidin dibolehkan pulang.

“Polisi binatang, tetua kampung bajingan!” kata Rasyidin dengan nada serapah.

Mendengar kata-kata keji itu. Rohani memarahinya. Rasyidin diam dan beranjak pulang. Sesampainya di kampung. Rasyidin disambut seperti perwira yang baru saja menumbang musuh. Remaja-remaja tengik yang sudah berkumpul di kedai kopi melontarkan pujian kepada Lelaki Tak Tahu Diri ini. Menganggapnya sebagai orang yang tahan banting. Mereka hendak mendengar kisah Rasyidin yang menggemparkan seantero desa. Menepuk-nepuk bahunya sambil berkata, “hebat.” Sebatang rokok ia hisap dalam-dalam lalu membentuk lingkaran. Dia tertawa sendiri seakan bentuk lingkaran itu sedang menggelitik sarafnya.

Setelah asap rokok menumpuk di paru-parunya. Dia berhenti sejenak seraya menenggak segelas kopi. Kemudian, tangannya meremas-remas benda di dalam sebuah kantong plastik kecil.

“Bajingan semuanya!” kata Rasyidin disambut gemuruh tawa.

Daun yang sudah hancur itu perlahan ia taruh di dalam rokok yang sudah ia bedah. Setelah itu ia gesek ke mulutnya sehingga kertas tipis itu merekat dengan sempurna. Perlahan rokok yang sudah sebesar kelingking ia dempetkan di bibir hitamnya lalu dihisapnya dalam-dalam seakan seluruh gumpalan asap dengan mudah menjalar ke dalam darah yang kemudian menohok otaknya. Usai beberapa isapan, ia tersenyum seraya menampakkan kedua matanya yang memerah.

Di saat rokok rakitannya tinggal sepenggal. Rasyidin mengeluarkan air mata. Kepalanya yang lemas itu tertunduk seperti orang yang hendak dipancung. Lalu ia melihat lekat-lekat bongkahan tanah di bawah telapak kakinya.

“Kemana ibuku sekarang,” dia terisak-isak.
“Ibu kau sudah pergi, Din!” balas Suman Maop sambil meloncat-loncat.

Rasyidin menangis hingga matanya sembab manakala ia mengingat perbuatannya sebelum masuk ke dalam penjara. Dia mengamuk dengan membanting seluruh perabot hingga hancur berantakan diikuti papan dinding rumahnya satu-persatu terlepas dari paku. Tak puas dengan itu. Dia juga nekat menggali lubang di depan pintu untuk memerosoki ibunya. Membiarkan Perempuan Tua itu menjerit-jerit di liang seukuran tubuh manusia. Akan tetapi niat bejatnya tidak berhasil karena suami Maryati telah lebih dulu menimbunnya .

“Kemana ibuku, Man?” Ia kian terisak
“Kau anak durhaka, Din!” Suman Maop membalas dengan nada keras.

Setelah membuang puntung rokok jahannamnya itu. Rasyidin mulai berpikir jernih. Kesadaran seketika kembali normal. Namun, perempuan yang telah melahirkannya itu telah pergi jauh. Dia kembali melinting untuk mendapatkan dosis yang cukup seakan dengan itu ia bisa membuat ibunya kembali. Empat batang mudah saja dia habiskan, dan benar dalam jumlah itu, efek magis mulai bekerja, menaklukkan keganasannya yang serta merta membuatnya lebih tenang. Juga efek itu masih mennyisakan separuh manusia bernurani bersemanyam dalam jiwanya, hingga tak sadar air matanya mengalir, terisak kala ibunya sudah pergi jauh dari kehidupannya.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Luh tat keu awak tuleh cerita Rasyidin...keipin barang hahahaha

Saya kira banyak laki-laki seperti Rasyidin ini di sekitar kita. Dan semoga Rasyidin2 itu segera kembali ke jalan yang benar. Saya makin tak sabar menanti tulisan Bang @abduhawab tayang di SI.. Ahh...

ya, banyak yang seperti Rasyidin di sekitar kita. Hehhe...semoga saja

Saya tunggu, Bang :)

Postingan yang sangat menarik bang @abduhawab,,,

kisah rasyidin berbanding terbalik dengan sebuah lagu yang pernah saya dengar di Youtube..
mata mirah nek! ulee sang beukah. leumah bang dollah nek lon pike raja. begitulah sepenggal lirik yang mencontohkan efek dari ganja. berbeda dengan rasyidin yang menemukan kesadaran setelah membakar empat linting ganja. :D

ayo putar musiknya bang.. :D

Mantap ceritanya bg @abduhawab semoga menjadi sebaik2nya pengalaman dan pelajaran

fiksi yang menarik bg @abduhawab. abg bisa jadi pengarang ni.
beneran 😀😀😀

hehe...belum, masih belajar. Terima kasih

Sebuah fiksi yang sangat mengharu biru, dalam kehidupan sosok rasyidin sepertinya sudah sangat lengkap, seperti jahe murakap, sebuah kisah yang penuh kemirisan, kesedihan, terharu dan sangat pilu. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil disini, terimakasih pak @abduhawab postingan yang bisa buat renungan untuk semua

superrrrrr cara mengulasnya, saya tersenyum membaca ulasan fiksi ini, seolah-olah nyata kau buat bang @abduhawab....suwah tabek duablah jaroe.

Rasyidin yang tidak mengikuti arti namanya. Untung saja aku Rastaufik, coba kalau Rasyidah, pasti dikira saudara si Din yang durhaka uroe malam nyan!!!

Dikira berapa?

Postingan yang sangat luar biasa aku sangat senang melihat nya kawan. Kawan tolong bantu saya kalau ada waktu.