Dindanis Anak Tgk Dius

in #fiction6 years ago (edited)

IMG_20180901_183555_HDR.jpg

Sudah sepuluh minggu aku tak bertemu dirimu. Begitupun aku tak pernah mengirimi burung merpati untuk mengabarkan atau bertanya 'apa kabarmu, sayang'. Hari ini, jika kau membaca kata-kataku ini, kuharap kau masih menunggu untuk hari ini. Semoga burung merpati itu bisa menemukan jendela kamarmu. Hari di mana kita duduk di pantai sambil berbicara tentang perkenalan.

Bila kau baca kata-kata ini, aku sudah lebih mencintai Tuhan daripada dirimu, Dinda. Bila kau kaget, itu bertanda kau masih menunggu burung merpati datang dan bisa mendengar penjelasan dariku, lebih dalam lagi Dinda. Bila kau biasa saja, kuyakin ada orang ketiga selama aku menghilangkan diri, tidak apa Dinda, aku bisa paham itu. Tapi setidaknya kau baca saja tentang ayahmu. Dia sedikit bercerita padaku.


Dinda suka sekali ke pantai. Menurutku dialah gadis tercantik di desa kami. Kebiasaannya ke pantai tiap hari Minggu telah menjadi awal pertemuan kami. Aku berkenalan dengannya melalui sepiring rujak beraroma pantai. Waktu itu, Dinda masih ditemani temannya, kami masih berbicara jarang-jarang. Dinda terlalu malu untuk bicara. Saat ini, Dinda telah mengerti cinta.

Dinda adalah anak dari Tgk. Dius. Beliau seseorang yang sangat dihormati dan berpengaruh di desa kami. Keimanan Tgk. Dius telah membuat desa kami berkah. Sepertinya aku sama sekali tidak cocok untuk mendekati Dinda lagi.

Tapi kata Dinda, ayahnya merestui hubungan kami. Beliau pernah melihatku, menolong nenek menyebrang jalan dan keluar dari antrian penjual bakso bakar. Kata Tgk. Dius, aku lelaki polos yang belum beriman. Karena kejadian itu pula, aku diberi izin untuk menemui Dinda di rumah. Kami tidak bersembunyi lagi. Sama saja, aku lebih sering berbicara dengan Tgk. Dius di taman belakang.


Dinda, aku akan membahas soal hubungan kita yang sudah lama tak ada perjumpaan. Aku tau kau sangat rindu padaku, bukan?. Aku juga yakin kau masih menunggu burung merpati. Persoalan aku lebih mencintai Tuhan daripada dirimu itu benar. Kuyakin kau sangat mengerti apa maksudmu. Ayahmu telah mengajari semuanya, bukan?

Suatu hari, saat aku berkunjung ke rumahmu. Kau ingat saat aku membawa sekarung rambutan. Aku berbicara dengan ayahmu di taman belakang sambil menghabisi rambutan itu. Beliau bertanya padaku, apakah aku mencintaimu?. Sangat mencintaimu, jawabku. Ayahmu langsung tertawa.

21-26-41-images.jpg

Beliau bertanya lagi, mana yang lebih kau cintai Dinda atau Keluargamu?. Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Terus, ia melanjutkan lagi, mana yang lebih kau cintai Dinda atau Tuhanmu?. Aku semakin bingung. Aku terdiam dan beliau mengabaikan semua pertanyaan-pertanyaan itu.

Beberapa menit kemudian, kami berbicara tentang banyak hal. Dalam pembicaraan itu, beliau memberiku sinyal, untuk segera menikahmu Dinda. "Jika imanmu sudah kuat, segeralah nikahi Dinda. Aku tak butuh kekayaanmu anak muda. Kuatkanlah imanmu," begitu katanya Dinda. Iya, jawabku.

Baiklah Dinda. Jika kau mengabaikan tentang hubungan kita. Sekarang aku akan bercerita tentang ayahmu; beliau adalah sosok yang sangat baik menurutku. Beliau sangat mencintai keluarganya. Tentu kita tidak ragu lagi bagaimana dia mencintai ibu. Baiklah kita mulai membahasnya.

Ayahmu bercerita bahwa ibu yang sedang di rumahmu itu bukanlah ibu kandungmu. Aku tak mengerti mengapa beliau bercerita padaku. Mungkin, beliau serius menjadikan aku menantunya. Hal-hal seperti itu seharusnya tak kudapat dari ayahmu.

Ibu kandungmu meninggal dunia sangat hendak melahirkanmu. Baiklah, kita akan membahasnya. Ayahmu dulu pribadi yang buruk sebelum ia taubat dan menjadi Tgk terhormat di desa kita. Ia seorang pujangga yang hanya memikirkan puisinya daripada menyangi ibumu. Bahkan saat ibumu hendak melahirkanmu, ia masih menulis puisi. Oleh sebab itu, ibumu jadi tak terurus, dan air ketuban ibu pecah saat itu. Dan hanya dirimu yang bisa kau selamatkan. Nis di namamu berasal dari nama ibumu, Nisa. Begitu kata Ayahmu Dinda.

Dinda, kuyakin kau menangis mendengar ini. Hanya itu yang ayahmu ceritakan. Nanti, jika aku sudah pulang dari tempat aku mengaji, aku berjanji akan membantu untuk mencari makam ibumu, Dinda.

Saat aku sedang menulis surat ini, aku sedang berada di Mesir untuk belajar agama. Dan hari ini, aku mendengar kabar ayahmu telah meninggal dunia. Sebab itulah, aku mengirimmu sepucuk surat ini. Aku turut berduka. Sekaligus ingin mengatakan aku masih mencintaimu. Aku akan segera pulang Dinda. Salam untuk ibumu.


Entah berapa purnama berlalu, akhirnya tiba waktu untuk pulang ke Indonesia Raya. Yang kubawa pulang adalah keimanan. Yang kubawa pulang adalah cinta. Aku akan menjawab pertanyaan Tgk. Dius dihadapan ibumu. Mana yang lebih kau cintai Dinda atau Tuhanmu?. Aku segara ke rumah Dinda. Terkaget aku, saat kulihat rombongan linto baro menuju rumah Dinda. Bukan sebuah tenda atau bendera merah. Di sana sangat ramai. Kulihat, Tgk Dius berdiri di sana. Hancur!!

21-27-19-images.jpg

Apa ini karena aku menghilang begitu saja, Tgk?. Lihat aku sekarang sudah bisa menjawab pertanyaan itu. Di seberang jalan, kulihat seorang laki-laki menangis. Sambil berteriak, "mengapa...?, Padahal aku sudah bisa menjawab; mana yang lebih kamu cinta Dinda atau Tuhanmu?. Tapi mengapa laki-laki itu. Yang kau pilih."

Aku meninggalkan rumah Dinda dengan sedih. Segera aku ke Bandara, lalu terbang lagi.

Sort:  

Cakep Kali tulisannya 😍😍😍

Makasih kak hahaha.
Colek bg Dius dikit biar gak diam kali kak hahah
@sangdiyus

Diyus, bukan Dius.

Kalimat pertama paragraf 12 bertentangan dengan kalimat terakhir paragraf 13. Bukti:

"Ibu kandungmu meninggal dunia sangat hendak melahirkanmu."

"Nanti, jika aku sudah pulang dari tempat aku mengaji, aku berjanji akan membantu untuk mencari makam ibumu, Dinda."

Kalimat kedua paragraf 14 bertentangan dengan kalimat ke-10 paragraf 15. Bukti:

"Dan hari ini, aku mendengar kabar ayahmu telah meninggal dunia."

"Kulihat, Tgk Dius berdiri di sana"