TAMBO |

in #fiction7 years ago

Kedua belah tangan yang hitam dan ringkih meraut tali rotan dengan gerakan ritmis. Setiap suara yang ditimbulkannya seolah mewakili suasana hati si pemilik tangan. Perih dan sangat menyayatkan hati.

Mungkin ini order terakhir yang diterimanya. Dia sudah mendengar pembicaraan orang kampung di keude kupi siang tadi. Kata mereka tambo tidak praktis lagi, tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini yang serba modern. ”Banyak tetak bengeknya jika kita masih menggunakan tambo. Tenaga yang dibutuhkan lebih banyak. Padahal suaranya kecil, nggak menjangkau ke seluruh kampung,“ begitu kata orang-orang kampung siang tadi.

Dia menelan saja ucapan itu mentah-mentah sekalipun itu dapat mengosongkan periuk nasinya, dia tidak mampu menyanggah ucapan orang-orang kampung. Mau menyanggah dengan apa. Dia tidak punya siapa-siapa yang akan membantunya. Dia tidak punya keahlian dalam memainkan kata-kata. Dia memang tidak memiliki keterampilan apa-apa selain merajut tali rotan dan menarik kulit sapi yang sudah dikeringkan.

Keahliannya membuat tambo diperoleh secara turun temurun. Moyangnya dulu juga berkerja sebagai tukang buat tambo. Dan merka mampu membeli tanah dan kerbau dari keahlian itu.

Tapi dia tidak bisa seperti moyangnya. Mereka hidup pada zaman yang berbeda. Dulu tambo merupakan benda vital dalam sebuah kampung. Orang-orang kampung membutuhkannya untuk banyak keperluan; Buka puasa, waktu salat, rapat di meunasah, gotong royong, dan berita-berita kematian. Semua kegiatan membutuhkan jasa tambo. Waktu itu tambo tak ubahnya seperti sebuah pemancar radio. Menjadi sarana komunikasi orang-orang kampung.

Pembuat tambo adalah ofesi bergengsi. Tidak semua orang mampu mendalaminya. Kalau tidak mempunyai keahlian khusus, maka tambo yang dihasilkan pasti memiliki banyak kekurangan. Tarikan kulit sapi yang kurang ketat sehingga tidak menghasilkan suara nyaring, merupakan salah satu kesalahan mendasar. Banyak orang tidak tahu cara menarik kulit sapi dengan benar. Mereka tidak mengerti bahwa tambo yang ditarik di tengah matahari terik cukup bagus dibandingkan dengan tambo yang ditarik pada waktu yang lain.

Tapi moyangnya dulu tahu akan hal itu. Makanya banyak kampung membuat tambo pada mereka. Makanya mereka bisa hidup dari keahlian itu. Berbeda dengan sekarang tambo pada zaman sekarang menjadi barang langka yang tidak efektif. Setidaknya begitulah penilaian orang-orang di keude kupi tadi.

Tangan hitam dan ringkih itu masih setia merajut tali-tali rotan meskipun sudah larut malam. Sebatang rokok tanpa tembakau terselip di sela bibirnya. Sesekali, ia menghirup roko itu lama, mencoba meresapi kenikmatannya. Tapi yang dirasakan malah rasa perih di tenggorokan.

Tadi siang ada seorang yang berbaik hati membelinya sebungkus rokok kretek. Tapi dia tidak berani mengisapnya. Istrinya pun melarang dia mengisap rokok kretek yang banyak dijual di kios-kios. “Harganya mahal, nanti kamu ketagihan,” demikian kata istrinya.

Tiba-tiba dun pintu dapur yang terbuat dari anyaman bambu terkuak. Seorang wanita muncul membawa sebuah kopi. Dia tersenyum ke arah suaminya ketika mereka bersirobak pandang.

“Kasep, Bang. Sudah waktunya tidur. Besok ‘kan hari masih bisa dilanjutkan. Jangan terlalu memaksa, tidak baik untuk kesehatan Abang.”

“Tanggung, Nah. Besok tambo harus bisa selesai.’

“Iya, tapi ingat kesehatan Abang. Ayo, diminum dulu kopinya. Mumpung masih hangat.”

Dia menerima gelas yang diangsurkan istrinya. Dihirupnya sedikit sebelum menatap istrinya.

“Mungkin ini tambo terakhir yang aku kerjakan, Nah,” katanya beberapa saat kemudian.

“Kenapa, Bang?”

“Orang kampung tidak suka lagi memakai tambo. Tidak praktis kata mereka.”

“Jadi...?”

“Mereka akan menggantikan tambo dengan alarm atau sirene.”

“Apa itu, Bang?” si istri merasa asing dengan kedua benda yang disebutkan suaminya.

“Entahlah. Aku sendiri pun tidak pernah melihatnya.”

Si istri terdiam. Tiba-tiba ia merasa khawatir seandainya suamainya tidak menerima order tambo lagi. Kehidupan mereka akan semakin sulit.

“Bang,bgamana seandainya tidak ada lagi orang yang minta dibuatkan tambo?” akhirnya meluncur juga kekhawatiran itu melalui mulutnya.

“Ntahlah, Nah. Abang beum sempat memikirkan itu. “

“Baiknya Abang turun ke sawah saja. Kita bisa minta sepetak tanah pada Bapak.”

“Pada bapakmu?” tatapnya dengan mata melebar. “Tidak, tidak,” dia menggeleng beberapa kali. “Bapakmu sudah bersumpah tidak akan memberikan tanahnya sepetakpun kepadaku. Nah, hal ini aku tidak mau di permalukan bapakmu lagi.”

“Waktu itu Bapak sedang emosi, Bang. Dia ndak serius dengan ucapannya.”

“Tidak. Aku tidak mau minta apa-apa lagi pada bapakmu,” sahutnya menegaskan. Pikirannya terseret pada kisah beberapa tahun silam. Waktu itu dia tengah mengalami kesulitan uang. Atas saran istrinya, dia menjumpai Bapak untuk minta bantuan. Oleh mertuanya itu dia disuruh meninggalkan pekerjaannya sebagai pembuat tambo. Sebagai gantinya, mertuanya itu memberikan sepetak sawah.

Tapi dia menolak. Bukan tidak mau menerima kebaikan orang lain, tapi dia merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk bertani. Sejak kecil dia sudah diajarkan cara memilih kulit sapi yang bagus dijadikan tambo, atau cara merajut tali rotan dengan benar. Orang tuanya tidak pernah mengajarkannya turun ke sawah seperti anak-anak lain.

Daripada nanti sia-sia, dia pikir lebih baik menolak tawaran itu.

Tapi apa lacur, mertuanya malah menuduhnya tidak tahu berterima kasih. Bukan itu saja, dia juga dipermalukan di depan putri-nya. “Semua putriku menikah dengan lelaki yang berhasil, kecuali Minah.” Ucapan itu masih membekas di hatinya sampai sekarang. Setiap kali dia mengingatnya, maka detik itu juga dia merasa harga dirinya diinjak-injak. Dia sudah dipandang sebelah mata oleh keluarga isrinya. Kalau ada kegiatan keluarga, dia beserta isrinya pasti tidak diberi kabar. Pekerjaan sebagai pengrajin tambo memang berat.

“Bang,” istrinya menyentuh tangannya pelan.” Apa yang Abang lamunkan?”

Dia menggeleng mencoba menyembunyikan kerisauan hatinya. Dia tidak izin istrinya juga ikut sedih.

“Mari kita tidur, Bang. Bukankah Abang sudah selesai meraut semua rotan?”

Dia tidak menyahut. Tangannya lantas mengumpulkan tali-tali rotan yang berserakan di tanah. Istrinya membantu. Setelah selesai mereka masuk ke dalam rumah tanpa bicara sepatah kata pun.


MR_03.jpg


Pagi-pagi sekali dua lelaki bersepeda mendatangi rumahnya dia mempersilahkan kedua lelaki itu masuk dan lalu cepat-cepat membangunkan istrinya yang masih terlelap. ”Ada tamu, Nah. Cepat buatkan kopi.”

“Tapi Bang...”

“Kenapa?”

“Gula sudah ndak ada lagi, sisa terakhir sudah saya buatkan kopi buat Abang semalam,” sahut istrinya serak.

“Ya, sudah. Hidangkan air putih saja.”

Dia kembali menjumpai tamunya. Berbasa-basi sejenak. Lalu salah satu di antara lelaki itu mulai mengatakan maksud kedatangan mereka.

“Begini Bang Din, kami baru saja menerima perintah dari Pak Keuchik, Beliau pesan tambo yang Bang Din buat itu tidak usah dilanjutkan. Pak Keuchik sudah membeli sebuah alarm.”

Dia tersentak. Matanya menatap penuh iba pada kedua lelaki itu. Ternyata alat modern itu betul-betul telah menyumbatkan lubang rezekinya. Dan dia tidak kuasa membendung. Sampai kedua lelaki itu pulang, dia hanya duduk diam di atas bangku panjang di dalam rumahnya. Sang istri yang duduk di sisinya tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka benar-benar sudah putus asa kini. Mereka menganggap semua harapan sudah berakhir sampai di sini.


MR_04.jpg
Beduk di Masjid Rotowijayan, Yogyakarta.
Photo by @ayijufridar


Tapi ternyata tidak. Menjelang sore sebuah mobil hardtop berhenti di depan rumahnya. Dua remaja gagah dan berkacamata hitam turun.

“Pak Pudin ?” tanya seorang remaja itu sambil melepaskan kaca matanya.

Dia hanya mengangguk bingung.

“Kenalkan, saya Andre dan ini teman saya Reo. Kami sudah mendengar keahlian Pak Pudin dalam membuat beduk. Rekan-rekan kami dari kampung bilang beduk bikinan Pak Pudin lebih rapi dan suaranya pun lebih bagus. Makanya sekarang kami butuhkan jasa Pak Pudin.”

Dia masih belum mengerti. Dipandanginya kedua remaja itu bergantian. .

“Begini Pak,” remaja yang bernama Reo itu maju beberapa langkah. ”Dalam acara Agustusan nanti, kami mengadakan lomba tabuh beduk. Kami membutuhkan jasa Pak Pudin untuk membuatkan beduk sebanyak tiga puluh buah. Bagaimana, Pak ?”

Dia tidak mampu mengucapkan apa-apa selain mengangguk.

“Ndre...” Reo mengisyaratkan temannya dengan gerakan alis. Beberapa saat kemudian remaja yang bernama Andre itu merogoh saku belakang celana jinsnya.

“Ini panjarnya Bapak terima dulu. Tak usah pakai kwitansi. Kita saling percaya saja. Sisanya akan kami berikan beberapa hari lagi. Kalau bisa seluruh beduk itu harus siap dua bulan mendatang.

Beberapa uang sepuluh ribuan terselip di tangannya. Mulutnya semakin sulit mengeluarkan kata-kata. Tapi hatinya hatinya mengucapkan syukur yang tak terhingga.[]

Bireuen, Aceh, 2 Januari 1995

Catatan:

Tambo = Bedug
Keude kupi = Warung Kopi
Meunasah = Surau
Kasep = Sudah cukup
Parui = Sebutan untuk adik ipar dari istri
Keuchik = Kepala desa

Pernah dimuat di Suara Karya, Minggu, 12 Maret 1995.



Source


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Luar biasa, setiap dani masuk selalu kata2 nya menarik. Dan ini pujian yang berbentuk harapan namun kenyataannya luar biasa sukses terus salam kompak bang @ayijufridal

52863657-smiley-face-showing-thumbs-up-Stock-Photo.jpg

Good

Terima kasih @danialves. Semoga betah di PSG meski sudah gagal di UCL.

Hahaha bang @ayijufrida..semoga dani semakin berkembang di PSG..

Mantap bang @ayijufridar .. kalo di Sumatera Barat, bagi orang Minangkabau, "Tambo" itu semacam kitab yang berisi sejarah, asal usul, serta berisi ketentuan-ketentuan adat. Namun, keberdaan tambo itu juga masih berpolemik, akan keaslian dan kebenarannya, dan menjadi perdebatan.

Saya pernah membaca cerita bersambung karya Gus Tf Sakai yang berjudul Tambo seperti yang dijelaskan @mevro di atas. Meski tidak sampai habis, kisah Tambo yang ditulis Gus itu memang mengangkat budaya Minangkabau.

iya bang saya keal beliau.. salah seorang penulis hebat juga disini. Banyak juga penulis yang mengangkat cerita dari tambo tersebut. Menjadikan tambo, sebagai rujukan dan referensi. salam kenal bang :). kapan-kapan ke sumatera barat, mamapir-mampir ya bang :)

Pas bangat kelihatan beduk teringat sama bulan puasa @ayijufrijal

Wuuuuuuuuh akhirnya bisa baca versi aslinya. kereeeen cerpennya. Tak bisa berkata kata. selayak Pak Budin saat mendapat job 30 beduk 😬

Ketika cerpen itu dimuat @nuryriana, saya senang sekali karena itu cerpen "sastra" pertama saya yang dimuat dan waktu itu usia pun masih remaja. Lebih senang lagi karena itu cerpen pertama yang saya kirim ke Suara Karya dan langsung dimuat.

Saleum #STEEMLiteracy.

MasyaAllah. Keren banget. Sebuah keberuntungan yang saya rasa sangat pantas untuk Bapak dapatkan. Tulisan yang sangat runut dan mengalir setiap kata demi kata. Saya percaya dan yakin ketika masa itu, Pak @ayijufridar sudah mengkhatam banyak buku sebelumnya. ☺️

Cerita yang sangat menarik bang @ayijufridar
Walau sudah digerus oleh zaman modern, faktanya tambo masih menjadi primadona dan digunakan saat memperingati acara besar keagamaan dan acara pembukaan hari - hari besar.

ah selalu ada saja cerita dari sang maestro bang ayi

di tunggu kisah selanjutnya bang

Peh tambo memang baik adanya, yang bek peh tem bang ayi beh..hahaha

Budaya yang mulai tenggelam di aceh.. Yang dulunya di pakai, untuk setiap moments penting...

Deskripsi bang @ayijufridar memang terbius pembaca, mungkin saja pengalam dalam menulis dan mengekspresikan tidak perlu diragukan, banyak informasi dan pengetahuan yang didapati seandainya selalu menelusuri postingan bang @ayijufridar, terimakasih

Luar biasa bang @ayijufridar ... keren abis lha!!!
Aan ni bg... vote jg lha bg postingan adk mu ni... hehehe