The Letter to the Sea | Surat Kepada Laut |

in #fiction7 years ago

Surat Kepada Laut

By @ayijufridar

DI BAK belakang truk barang yang menuju Pelabuhan Ujung sebelum jembatan Suramadu berdiri tegak, aku sering memerhatikan berbagai lukisan dengan kalimat yang kadang menarik, sensual, genit, nakal, tetapi banyak juga yang mengandung pesan bijak. Selain mengingat gambar-gambar sensual yang pernah dirazia para santri di Madura, ada satu pesan yang masih terpatri kuat dalam ingatanku; Seteguh Karang di Tepian Pantai. Kalimat itu dilukis dengan indah dalam warna hitam sehingga terbaca jelas meski di kejauhan. Ada lukisan pantai yang entah di mana tetapi indah, berbeda dengan lukisan pemandangan yang sering kami lukis ketika mendapatkan tugas menggambar laut pasti ada ombak menggulung dengan beberapa ekor camar di atasnya yang lebih mirip huruf M dibandingkan dua sayap burung.

Aku sangat terkesan dengan kalimat di atas karena sesuai dengan kondisi pada saat itu. Sebagai anak muda yang lahir dari keluarga berada di kampung, aku merasa dibuang orang tua setelah dikirim ke Jawa Timur untuk mondok di salah satu pesantren terbaik. Aku protes karena merasa di Aceh juga banyak pesantren terbaik, kitab-kitab terbaik, guru-guru terbaik, dan tentu saja dara terbaik yang pernah kukenal di bumi ini. Sering dalam kesendirianku di Gontor, aku merasa alasan terakhirlah yang membuatku merasa seperti dibuang, seperti seekor kucing buduk yang tidak diinginkan dan kemudian dibuang jauh-jauh setelah dimasukkan ke dalam karung. Pada akhirnya, kucing itu akan menemukan jalan pulang.

Dikehendaki atau tidak, ia tetap akan pulang.

Aku justru sebaliknya. Setelah enam bulan pertama merasa seperti di neraka, memasuki bulan ketujuh aku mulai menyukai suasana di pesantren. Aku tersadar. Tidak lagi merasa sebagai orang paling malang di dunia, apalagi setelah perkenalanku dengan Cahill, pemuda ganteng dari Sidney yang mendapatkan hidayah Allah setelah menonton film Malcom X. Secara tidak langsung, Cahill yang kemudian berubah menjadi Khalid, mengajarkanku tentang pentingnya mensyukuri hidup.

Cahill terinspirasi oleh Malcom X dan aku terinspirasi olehnya. Kami sama-sama jauh dari orang tua meski dengan alasan yang berbeda. Cahill – entah mengapa aku lebih suka menyapanya dengan nama itu meski ia selalu protes – pergi dari orang tua untuk menemukan keimanannya. Aku dikirim orang tua untuk menyelamatkan keimanan. Sering aku berpikir, seandainya tidak berjumpa dengan Cahill, justru keimananku akan rusak di Surabaya, terutama ketika mengarungi setiap lorong di Dolly pada musim liburan. Aku tidak pernah pulang ke kampung sebagai bentuk protes, tapi orang tua malah menganggapku betah. Benar, aku memang betah menghabiskan waktu untuk mendengar desahan para perempuan di Dolly, sebuah lokasi yang kemudian sangat kubenci setelah akrab dengan Cahill.

Dalam sebuah pembicaraan kami, kutanyakan doa seperti apa yang sering ia panjatkan pada sepertiga malam yang akhir dengan berlinang air mata. Dia selalu memohon kepada Allah agar memberi hidayah kepada kedua orang tuanya, juga kepada saudara-saudaranya yang lain di Sidney yang menganggap dirinya sudah menjadi bagian dari teroris. Namun, ketika Cahill menelepon orang tuanya, mereka selalu menyuruhnya pulang dari mencukur habis jenggotnya agar para tetangga tidak membenci mereka (padahal, Cahill tidak berjenggot sama sekali).

Pengakuan ini membuatku tercenung lama. Cahill begitu mencintai kedua orang tuanya dan sangat mencemaskan kehidupan mereka di akhirat. Aku justru tidak pernah memikirkan orang tua bahkan mengganggap mereka sengaja membuangku jauh-jauh. Setelah berkali-kali mengecewakan mereka karena tidak mau pulang saat Idul Fitri, akhirnya untuk pertama kali aku pulang. Tidak sendiri, melainkan berdua dengan Cahill yang ingin melihat Serambi Mekkah.

“Benarkan di sana pedagang membiarkan tokonya terbuka waktu salat?”

“Selama Ramadan, toko makanan pada tutup?”

“Laut di sana indah sekali, tanpa orang berbikini? Pasirnya putih seperti kerudung para gadis?”

Itu antara lain pertanyaan yang ingin ia temukan jawabannya dengan melihat langsung. Aku tersadar, hal-hal yang selama ini aku anggap biasa ternyata menjadi sesuatu yang menarik bagi orang lain. Kita terkadang terlalu menganggap yang datang dari luar negeri yang baik, berkualitas, beradab, dan sebagainya. Hal-hal yang sudah mengakar di tanah kelahiran padahal memberikan inspirasi bagi banyak orang di belahan bumi lain.

Di sinilah Cahill menikmati kekusyukan Aceh dan aku menikmati kekagumannya terhadap Aceh. Aku terkagum melihat kekagumannya menikmati matahari terbit dan tenggelam di tepi laut. Menurutnya sangat indah dan menurutku biasa-biasa saja karena matahari tetap sama di pantai mana pun ia terbit dan tenggelam.

Cahill sering menjadi imam salat Magrib di sebuah meunasah di tepi pantai. Awalnya, jangankan menjadi imam, memasuki meunasah itu pun dilarang oleh Amir, seorang santri. Setelah kujelaskan, santri itu diam saja tetapi tidak minta maaf yang merupakan sesuatu yang paling ingin kudengar dari mulutnya. Namun, dari pergaulannya dengan Cahill beberapa hari kemudian, aku tahu ia sangat menghormati Cahill yang dipanggilnya dengan sebutan Teungku Khalid, yang membuat pemuda Australia itu menjadi sangat bangga setelah kujelaskan artinya.

“Jadi tidak sembarangan mendapat gelar teungku? Kalau ada santri yang memanggilku demikian, luar biasa sekali.”

Dia menjadi akrab dengan Amir selama berada di Aceh. Mengunjungi pesantren tempat Amir mengaji dan dia pun ikut mengaji di sana dengan metode yang belum pernah dipelajarinya. Ketika aku sibuk dengan keluarga, dia juga sibuk bersama Amir. Laut dan dayah adalah dua tempat mereka menghabiskan waktu. Karena kecintaan Cahill kepada laut, Amir yang sebelumnya hanya memandang laut sebagai tempat mencari nafkah karena ia berasal dari keluarga nelayan, kemudian menjadi ikut memandang laut dengan mata Cahill. Laut yang indah, laut yang melambangkan keteguhan, gelora, kekuasaan Allah, dan laut yang menjadi sumber kehidupan sekaligus kematian.

Itulah kabar buruk tentang laut yang aku terima ketika dua hari Cahill tidak pulang setelah ikut melaut bersama Amir dan beberapa nelayan lainnya. Cuaca memang sedang tidak bersahabat beberapa hari terakhir. Di darat sering terjadi angin kencang yang merubuhkan warung-warung pinggir laut yang memang hendak dirubuhkan petugas karena dianggap sebagai tempat maksiat. Papan reklame dan pepohonan tua banyak yang tumbang, beberapa di antaranya mengenai mobil yang sedang parkir. Atap-atap rumah beterbangan. Pohon pepaya dan pisang banyak tumbang dan warga menuntut ganti rugi kepada sebuah perusahaan yang melakukan peledakan dinamik seismic untuk kebutuhan survei migas.

Di laut, ketinggian gelombang bisa mencapai empat meter sehingga nelayan disarankan tidak melaut. Ada yang mematuhi saran tersebut, tetapi ada juga yang tidak karena alasan ekonomi. Amir dan beberapa nelayan lain termasuk dalam kelompok kedua.

Kami dilanda keresahan atas nasib Cahill yang tidak jelas. Aku segera mengabarkan pihak Gontor dan berharap mereka mempunyai kontak ke keluarga Cahill di Australia. Setelah melaporkan kejadian tersebut kepada Panglima Laot, Airud, TNI-AL, kami semuanya hanya bisa berharap dan berdoa. Berhari-hari tidak ada kabar tentang Cahill dan para nelayan lain. Aku juga mengikuti pemberitaan di media lokal dan media online di sejumlah negara tetangga. Siapa tahu perahu Amir terdampar ke negara tetangga, atau mereka ditangkap dengan tuduhan mencuri ikan seperti yang sering terjadi.

Hasilnya nihil. Kami tidak berputus asa, sambil berdoa demi keselamatan Cahill dan nelayan lain, aku terus mencari kabar dari berbagai media. Kemudian kabar itu datang dari Panglima Laot. Warga menemukan dua mayat nelayan, salah satu di antaranya adalah Amir. Aku melanjutkan kabar itu ke Gontor dan kembali berharap mereka mengabarkan kepada keluarga Cahill, entah dengan apa.

Tiga bulan sudah peristiwa itu berlalu dan aku sudah kembali ke Gontor dengan kesedihan mendalam. Aku merasa bersalah kepada seluruh kawan Cahill, juga kepada keluarganya yang belakangan aku ketahui sudah mendapat kabar tentang kejadian perahu karam. Mereka menganggap Cahill sudah tiada, bukan dibunuh oleh laut, tetapi mati karena keyakinannya yang keliru.


Aku selalu berharap adanya keajaiban dari Allah agar Cahill pulang dengan selamat. Hanya itulah doa-doaku pada sepertiga malam yang akhir. Bahkan, kukatakan kepada Allah, aku rela menjadi pengganti Cahill seandainya sahabatku itu bisa kembali dengan selamat.

Doaku belum dikabulkan, aku malah mendapatkan kabar yang mengerikan dari media massa. Tsunami itu. Dua hari kehilangan kontak, akhirnya aku mendapat kabar seluruh keluargaku meninggal dunia. Aku baru bisa kembali ke Aceh dengan pesawat Hercules hampir seminggu kemudian, ketika kehancuran itu sudah berlumut. Aku pulang untuk menyaksikan kampungku yang hilang.

Inilah jawaban Allah terhadap doa-doaku. Bukannya mengembalikan Cahill, tetapi malah mengambil seluruh anggota keluarga. Laut Aceh yang selalu dikagumi Cahill, malah membuat sahabatku itu pergi. Laut tempat sebagian orang menggantungkan hidup, menjadi tempat sebagian lainnya mendapatkan jalan kematian. Aku tidak bisa mengerti seluruh rahasia alam, juga rahasia Tuhan.

Makanya kutuliskan surat ini kepada laut yang telah merenggut orang-orang yang kucintai. Bagaimana bisa aku mengagumi panoramamu yang indah bila begitu berat pengorbanan yang harus kami lakukan. Keindahan seharusnya mengagumkan, bukannya mematikan. Aku minta kepadamu untuk mengembalikan orang-orang yang kukasihi, atau aku akan belajar membenci laut seperti yang dilakukan beberapa orang korban lainnya.


Di tepian pantai berpasir putih dengan ujung-ujung ombak yang menjilati kaki, aku melemparkan surat dalam botol yang kutuliskan dengan tangan sendiri. Aku tidak peduli surat itu akan sampai di tangan siapa, atau tidak pernah sampai ke siapapun kecuali terapung di tengah samudra, atau malah dikembalikan ke tepian untuk kemudian dipungut oleh anak-anak pengunjung pantai. Sudah cukup bagiku botol surat bersentuhan dengan laut, airnya yang jernih membasahi botol kemudian mengombang-ambingkannya seperti perasaanku saat ini.

Matahari di ufuk barat mulai bersinar kemerahan dan sebentar lagi akan tenggelam. Suasana seperti inilah yang sangat dikagumi Cahill. Bayangan kemerahan sebentar lagi akan turun ke atas permukaan laut. Aku memang harus mengakui betapa indahnya matahari tenggelam di laut Aceh, di tepian mana pun kita berdiri. Tapi kesedihan telah menyedot semua rasa yang ada, seperti laut menyedot air saat pergeserakan patahan dan memuntahkannya ke darat setelah patahan kembali kepada posisi semula.

“Cahill melarangmu membenci laut...”

Aku berpaling dan di belakangku berdiri seorang lelaki jangkung dengan kepala ditutupi kupiah. Dia tersenyum memandangku. Beberapa orang berdiri di belakang Cahill, mereka adalah ayah ummiku dan saudara-saudaraku yang lain.

“Cahill...?”

“Aku bukan...”

“Mengaku saja sebagai Cahill. Di hadapan Arfan, kamu adalah Cahill, bukan Tim adiknya Cahill,” ayahku maju ke belakang dan berkata lembut sambut mengusap lembut bahu sahabatku itu.

“Ayah, Ummi...”

Aku memeluk kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku yang lain. Namun, mereka membalasnya dengan ragu, seolah aku bukan bagian dari keluarga mereka. Bahkan mereka menatapku dengan bingung. Apakah bencana itu membuat mereka tidak mengenaliku lagi.

“Ikuti saja,” kata ayahku yang disambut dengan senyum saudaraku, termasuk Cahill.

“Kalian semuanya selamat. Berarti doaku dikabulkan Allah. Laut sudah mengembalikan kalian,” kataku gembira.

Ayahku hanya mengangguk-angguk sambil mengajakku pulang karena sebentar lagi sudah masuk magrib. Aku hanya mengikuti saja dengan perasaan campur aduk. Aku berharap pertemuan dengan orang-orang yang kucintai bisa berlangsung sedikit mengharukan meski tidak harus seperti dalam sinetron Indonesia, tetapi juga tidak dingin seperti ini. Barangkali benar, bencana telah menguras emosi mereka.

“Laut sudah mengambil ingatannya, laut pula yang mengembalikannya nanti,” kata Ayah lagi yang diamini Cahill di belakang kami. Azan Magrib terdengar sayup-sayup di kejauhan ketika matahari kian bersinar kemerahan di ufuk barat. Sinarnya yang lembut seolah turun ke laut dan membuat permukaannya berkilauan seperti permata. Cahill benar, aku tidak boleh membenci laut yang selalu memberikan keindahan. Laut tidak berubah dalam keadaan apa pun, perasaanlah yang berubah.***

Lhokseumawe, 3 Juni 2012

[Source]:
(Brahmyni-Kite-600x422.jpg

The Letter to the Sea

By @ayijufridar

In the back of the goods truck that leads to the Port of Ujung before Suramadu bridge stands upright, I often pay attention to the various paintings with sentences that are sometimes interesting, sensual, flirty, naughty, but many also contain a wise message. In addition to recalling the sensual images that had been raided by the santri in Madura, there was one message that remained strong in my memory; Beat the Coral at the Bank's Edge. The sentence is beautifully painted in black so that it is clear even in the distance. There are beach paintings that are somewhere but beautiful, in contrast to the landscape paintings we often paint when getting the job of drawing the ocean there must be waves rolling with some gulls on it that are more like the letter M than the two bird wings.

I was very impressed with the above sentence because it fit the conditions at the time. As a young child born from a family in the village, I felt discarded parents after being sent to East Java to go to one of the best pesantren. I protest because I feel in Aceh is also a lot of the best pesantren, the best books, the best teachers, and of course the best virgin I have ever known on this earth. Often in my solitude at Gontor, I felt the last reason that made me feel like thrown away, like an unwanted cat and then thrown away after being put in a sack. Eventually, the cat will find a way home. Desired or not, he will still go home.
I'm just the opposite. After the first six months feeling like in hell, entering the seventh month I started to like the atmosphere in the pesantren. I realized. No longer felt as the most unfortunate person in the world, especially after my acquaintance with Cahill, a handsome young man from Sidney who gained the guidance of God after watching Malcolm X. Indirectly, Cahill who later turned into Khalid, taught me about the importance of being grateful for life.

Cahill was inspired by Malcolm X and I was inspired by him. We are equally distant from parents though for different reasons. Cahill - somehow I'd rather say hello to that name even though he always protests - going from parent to finding his faith. I sent parents to save the faith. Often I think, if I did not meet Cahill, my faith would be ruined in Surabaya, especially when wading through every passage in Dolly during the holiday season. I never went home to protest, but my parents thought I was comfortable. True, I really do spend the time listening to the sighs of the women at Dolly, a location I hate after being familiar with Cahill.

In one of our conversations, I asked what kind of prayer he often prayed in the last one-third of a tearful night. He always begged God to give guidance to his parents, as well as to his other brothers in Sidney who thought he was a part of the terrorist. However, when Cahill calls his parents, they always tell him to come home from shaving off his beard so that neighbors do not hate them (but Cahill does not have any beard at all).

This confession made me think for a long time. Cahill so loved his parents and very worried about their life in the afterlife. I just never think of parents even assume they deliberately membuangku far away. After many times disappointing them for not wanting to go home during Idul Fitri, finally for the first time I went home. Not alone, but both with Cahill who wants to see the of Mecca Veranda.

"Is there a trader letting his shop open during prayer time?"

"During Ramadan, the grocery store is closed?"

"The sea there is beautiful, without a bikini? The sand is white like a girl's veil? "

That is, among other questions he wants to find the answer by looking directly. It struck me that the things I had been accustomed to had turned out to be something of interest to others. We sometimes think too much of what comes from abroad is good, quality, civilized, and so on. Things that have taken root in the land of birth while inspiring many people in the other hemisphere.

This is where Cahill enjoys the Aceh rush and I enjoy his admiration for Aceh. I was amazed to see his admiration for the sunrise and sunset by the sea. He thinks it's beautiful and I think it's mediocre because the sun stays the same on whichever coast he rises and drowns.

This is where Cahill enjoys the Aceh rush and I enjoy his admiration for Aceh. I was amazed to see his admiration for the sunrise and sunset by the sea. He thinks it's beautiful and I think it's mediocre because the sun stays the same on whichever coast he rises and drowns.

Cahill is often a priest of the Maghrib prayer at a meunasah by the beach. Initially, let alone be a priest, entering the meunasah was forbidden by Amir, a santri. After I explained, the santri was silent but did not apologize which is what I most want to hear from his mouth. However, from her association with Cahill a few days later, I knew she was very respectful of Cahill whom she called Teungku Khalid, which made the young Australian very proud after I explained the meaning.

"So not carelessly got my teungku title? If any santri call me that, it's incredible. "

He became familiar with Amir during his stay in Aceh. Visiting the pesantren where Amir is reciting and he also recites there with methods he has never studied. When I was busy with my family, he was also busy with Amir. Sea and dayah are the two places they spend time. Because of Cahill's love for the sea, Amir who previously only looked at the sea as a place to earn a living because he came from a fisherman's family, then became involved looking at the sea with Cahill eyes. The beautiful sea, the sea that symbolizes the steadfastness, the surrender, the power of God, and the sea that is the source of life as well as death.

That's bad news about the sea that I received when two days Cahill not come home after joining the sea with Amir and some other fishermen. The weather was unfriendly the last few days. On land there is often a strong wind that knock down seafront stalls that are about to be demolished by officers because it is considered as a place immoral. Many billboards and old trees were uprooted, some of them about cars parked. The roofs of the house flew. Papaya and banana trees collapsed and residents demanded compensation for a company that conducted a dynamic seismic explosion for oil and gas survey needs.

At the sea, the wave height can reach four meters so that fishermen are advised not to go to sea. Some adhere to the suggestion, but some are not for economic reasons. Amir and several other fishermen belong to the second group.

We were overcome by anxiety over Cahill's fate. I immediately informed Gontor and wished they had contact with the Cahill family in Australia. After reporting the incident to Panglima Laot, Airud, TNI-AL, we all can only hope and pray. For days there is no news about Cahill and the other fishermen. I also follow news in local media and online media in some neighboring countries. Who knows the Amir boat is stranded into neighboring countries, or they are arrested on charges of stealing fish as is often the case.

The result is nil. We did not despair, while praying for the safety of Cahill and other fishermen, I kept searching for news from various media. Then the news came from Panglima Laot. Residents found two bodies of fishermen, one of whom was Amir. I continued the news to Gontor and again wished them to preach to the Cahill family, whatever.

Three months had passed and I had returned to Gontor with profound sadness. I feel guilty to all Cahill's friends, as well as to his family whom I later learned to have heard of the event of a shipwreck. They thought Cahill was dead, not killed by the sea, but died for his false beliefs.


I always hoped for a miracle from God to let Cahill home safely. Those are my prayers in the last third of the night. In fact, I told God, I would be a substitute for Cahill if my friend could return safely.

My prayers have not been granted, I'm getting terrible news from the mass media. The tsunami. Two days lost contact, I finally got word my whole family died. I was only able to return to Aceh on a Hercules plane almost a week later, when the devastation was mossy. I went home to watch my lost village.

This is God's answer to my prayers. Instead of returning Cahill, he took the whole family. The Aceh sea that Cahill always admired, even made my friend leave. The sea where some people rely on, becomes the place where some others get the way of death. I can not understand all the secrets of nature, nor the secrets of God.

So I wrote this letter to the sea that has taken away the people I love. How can I admire your beautiful panoramas when it's so heavy a sacrifice we have to do. Beauty should be awesome, not deadly. I ask you to restore the people I love, or I will learn to hate the sea as some other victims do.


On the edge of a white sandy beach with the tips of the waves licking my feet, I threw a letter in the bottle I'd written with my own hand. I do not care if the letter gets to who it is, or never gets to anyone except floats in the ocean, or is returned back to the shore to be picked up by the beach boys. It was enough for me that the bottle of letters was in contact with the sea, the clear water soaked the bottle and then tossed it around like I felt right now.

The sun on the western horizon begins to shine reddish and will soon be drowned. It was this atmosphere that Cahill greatly admired. The shadow of redness will soon come down to the surface of the sea. I really have to admit how beautiful the sun is drowning in the Aceh sea, wherever we stand. But sadness has sucked up all the flavors, like the ocean sucking water during a fault break and spewing it ashore after the broken back to its original position.

"Cahill forbade you to hate the sea ..."

I turned and behind me stood a tall man with his head covered in the rupiah. He smiled at me. Some people stand behind Cahill, they are my fathers ummi and my other brothers.

"Cahill ...?"

"I am not..."

"Confessing it as Cahill. In front of Arfan, you are Cahill, not Tim's sister Cahill, "my father came back and said gently to gently rub my friend's shoulder.

"Ayah, Ummi ..."

I hugged both my parents and my other brothers. However, they responded with hesitation, as if I was not part of their family.

They even looked at me in confusion. Did the disaster make them not recognize me anymore.

"Just follow it," my dad said, greeted with the smile of my brother, including Cahill.

"All of you are safe. That means my prayer is granted by God. The sea has turned you back, " I said cheerfully.

My father just nodded while inviting me home as soon as he entered the sunset. I just follow it with mixed feelings. I hope the meeting with the people I love can be a little touching though it does not have to be like in Indonesian soap operas, but also not cold like this. Probably true, disasters have drained their emotions.

"The sea has taken his memory, the sea also returns it later," said Ayah again who Cahill resigned behind us. Azan Magrib sounded faintly in the distance as the sun became redder on the western horizon. Its soft rays seemed to descend into the sea and made its surface shimmer like a gem. Cahill is right, I should not hate the sea that always gives beauty. The sea does not change under any circumstances, the feelings is change. ***

Sort:  

Hi Bang Ayi, I am @bahagia-arbi from Bireuen. Don't you remember me? We played football for Pak Dee Amajid's team together with Bakhtiar (niw he is a head of post office in Samalanga ). I was still 15 years old when I saw you in post office in Bireuen. You came there for "post wesel" to withdraw your money that has been sent by ANITA MAGAZINE. 😉.

So? And I often go to your brother's house in Cot Gapu. Bang Joel isbyour older brother, right?

Anyway, i really love reading your short story. And i think we can support each other in the steemit community. I am glad to meet you here. Hopefully, we will be able to have some coffee in Lhokseumawe. Someday I will.

Have a nice day, Senior!
Regard.

@bahagia-arbi

Hi, @bahagia-arbi. How are you? Where do you live now? I am still living in Lhokseumawe and only occasionally going to Bireuen. Thank so much for you reminiscing on old memories. Once a teenager when playing football on Geudong Raya FC. I have not been in contact with my fellow football players

Bany @ayijufridar, I am still happy living in Bireuen (Lhok Awe Tengouh) and spending my times to work closely to electrical company ans their workers as a cost estimation engineer in Takengon, Pondok Baru and Lhokseumawe. I always be in Gayo for 4 days and 1 day I am in Lhokseumawe. @mukhtar.juned is my friend too. He is a manager of PLN in Krueng Geukuh. You know him actually, right. 😅

I remember everything about yourself, Bang Bakhtiar Kantor Pos has been the head of kantir pos Samalanga. You still remember him, i am sure. And we will discuss much more about them while having arabica gayo beans in Lhokseumawe. You are free to contact me through my mobile phone: 082370569555. Hopefully, I can meet you up soon!

Follow me Bang Ayi. Thanks

Regards.

I know MJ well, just as she knows me. My personal number I have saved and I have sent say hello to your number. thanks.

Waiting for you msg so that I can safe your mobile phone. Thanks bang. All the best for you and family.

Banyak pesan positif yang tersirat dalam cerita Anda ini bang @ayijufridar
Gaya bahasa yang Anda gunakan dalam menyampaikan cerita ini mampu membangunkan imajinasi saya untuk masuk dan ikut merasakan suasana yang terjadi dari awal sampai akhir cerita ini.
Pesan yang sangat menyentuh hati saya di cerita ini adalah ketika cahill yang latar belakangnya muallaf gelisah memikirkan nasib kedua orang tuanya di akhirat nanti. Kita yang berlatar belakang muslim sejak lahir, terkadang atau malah sering kurang memerhatikan nasib kedua orang tua kita bahkan hanya untuk sekedar memikirkan kesehatan beliau pun kita sering lupa.

Terima kasih atas cerita yang sangat memotivasi ini bang @ayijufridar 👍👍
Cerita-cerita seperti ini akan sangat ditunggu-tunggu oleh para penikmat inspirasi yang haus akan pesan-pesan yang membangun.

Saleum Rakan Steemit.

Terima kasih @alvapurba17. Kisah itu berlatar tsunami meski tidak mengekplorasi kejadian tsunami secara mendalam. Saya hanya menyinggung sedikit. Awalnya, cerpen ini mau dikirim ke lomba, tapi tidak jadi. Cerpen ini baru pertama kali muncul, ya di Steemit ini.

Saya juga sudah baca kisah @alvapurba17 di email dan sudah saya beri sedikit catatan. Semangat menulis dan membaca terus. Insya Allah akan berhasil.

Suatu keindahan alam yang di dalam nya terdapat kata motivasi yang benar benar indah bang @ayijufridar,saya senang telah membacanya....sempurna

Terima kasih @dianclasher. Saleum

Saleum balek bang..