Janji Hananan

in #fiction4 years ago (edited)

CERPEN: Mustafa Ismail

Gila! Seperti istana," suara Usman mendesah kagum. Ia tercengang sekaligus takjub di depan rumah itu: besar, bertingkat, kukuh, dengan pagar setinggi dua meter yang dihiasi ornamen etnik dari daerahnya. Rumah itu sangat megah. Tapi tampak sepi.

Badut - Pixabay.jpg

sumber: pixabay.com

Usman membuka lagi sesobek kertas bertuliskan alamat yang dituju. Jalan Mawar Nomor 7. Tidak salah, inilah rumah itu. Tetapi mungkinkah ini rumah Hananan, teman sekolahnya dulu di kampung, yang sejak tiga tahun lalu menjadi wakil rakyat?
Ragu-ragu ia melangkah ke depan pintu. Lagi-lagi ia terdiam, memandang bel di depannya. Tangannya seolah tidak bisa digerakkan untuk menekan bel itu. Tidak mungkin, ini tidak mungkin rumah Hananan, kata hatinya. "Pasti aku salah menuliskan alamatnya," ia berbisik kepada dirinya.
Sekali lagi, tak mungkin Hananan punya rumah sebesar itu. Ia tahu betul kehidupan Hananan. Hananan bukan seorang pengusaha, juga tidak datang dari keluarga pengusaha.
Ayahnya hanya seorang guru di kampung, yang hidup pas-pasan, dan tidak pernah berlebih, apalagi mempunyai kekayaan. Kekayaannya, dua petak sawah warisan, sudah dijual untuk membiayai kuliah Hananan.
Tak heran kalau ayah Hananan sempat berang ketika Hananan tidak becus mencari pekerjaan seusai kuliah. Ia justru aktif di sejumlah organisasi, sehingga untuk kebutuhan hidupnya di kota terpaksa dikirim dari kampung.
"Mestinya kamu mencontoh Usman, selesai kuliah langsung kerja. Tidak membebani orangtua terus," kata ayah Hananan suatu kali.
Usman yang waktu itu bersama Hananan merasa tidak enak juga dibanding-bandingkan begitu. Tetapi Hananan tidak menanggapi kata-kata ayahnya. Ia hanya diam saja.
Lima tahun lalu, Hananan berangkat ke Jakarta mengikuti sebuah acara di organisasinya. Setelah itu ia tidak pulang lagi. Katanya ia terpilih menjadi pengurus pusat organisasi itu. Dua tahun kemudian, ia sudah menjadi wakil rakyat. Waktu seolah berjalan sangat singkat.
Tetapi Usman tidak pernah melihat wajah Hananan di televisi, sebagaimana wakil rakyat yang lain, yang suka bicara atau mengomentari ini-itu yang tak lupa menyebut apa yang diucapkanya sebagai persoalan bangsa atau kepentingan rakyat. Atau Hananan tipe wakil rakyat yang tidak ingin menonjolkan diri?
Buat Usman, hal itu semua tidak penting. Yang pasti, ia sangat gembira ketika mendengar kabar bahwa teman sekolahnya di kampung itu telah menduduki sebuah posisi terhormat. Dulu, ketika Hananan pulang kampung untuk kampanye, Usman ikut mengantarkannya dengan sepeda motor ke tempat kampanye.
Bahkan, secara tidak langsung ikut mengampanyekan dengan merayu orang-orang untuk memilih partai Hananan. Memang, apa yang ditawarkan partai Hananan sangat memperhatikan orang kecil. Bahkan bisa dibilang, melihat omongan Hananan di panggung kampanye, orang kecil adalah segala-galanya.
"Wakil rakyat itu tidak akan ada, tanpa saudara-saudara sekalian. Saudara-saudara adalah pemilik sah negeri ini. Sebagai pemilik, Saudara-saudara harus memilih wakil yang benar untuk mengontrol dan mengawasi pemimpin-pemimpin yang mengurus negeri ini. Saudara-saudara harus memilih wakil yang mau memperhatikan hidup Saudara-saudara," suara Hananan berapi-api.
Orang-orang terkesima mendengar kata-kata Hananan. Mereka, orang-orang di kampung, memang sangat mengenal Hananan: sopan, baik, dan kerap memimpin acara-acara pemuda di kampung. Sesekali, ketika liburan dan pulang kampung, orang-orang suka mendaulat Hananan untuk memberi ceramah singkat sehabis shalat Isya di kampung. Ia memang bekas santri, yang fasih mengutip ayat-ayat dan hadits, dan sangat menguasai riwayat dan sejarah Islam.
Sehingga bagi orang kampung, Hananan menjadi segala-galanya. Ia menjelma seorang pahlawan yang siap memperjuangkan keinginan-keinginan mereka. Karena itu, mereka sempat melakukan sujud syukur ketika dulu mendengar kabar Hananan terpilih menjadi wakil rakyat. Mereka bersuka cita. Orang-orang bahagia.
Setelah lama tercenung, ia berketatapan hati: harus memastikan kembali alamat ini dengan benar. Ia lalu kembali ke hotel. Begitu sampai, ia membuka kembali buku alamat dan mencocokkan kembali alamat Hananan yang tadi dituliskan kembali ke sobekan kertas agar mudah dikantongi.
Persis. Tidak salah tulis. Tetapi segera keraguan yang lain muncul: apa mungkin ia salah mencatatkan alamat yang diberikan ayah Hananan sebelum berangkat ke Jakarta beberapa hari lalu. Atau justru ayah Hananan yang salah mencatatkan alamat anaknya, sehingga memberikan alamat yang salah catat itu kepada Hananan.
Kemana harus bertanya? Ia tidak mungkin untuk tidak bertemu dengan Hananan. Ada sejumlah oleh-oleh yang dititipkan ayah Hananan untuk putranya itu: asam sunti, pliek u, ikan teri yang dikeringkan sendiri, juga bubuk kopi khas dari kampung bikinan Teungku Gampong yang terkenal harum itu. Tak mungkin ia membawa kembali titipan itu: nanti apa kata keluarga Hananan.

EDGINA 4.jpg

Ia memutar otak. Lama ia terdiam, memikirkan bagaima harus mengatasi kemelut ini. Tiba-tiba ia ingat Puteh, teman kuliahnya yang menjadi wartawan, di kota ini. Kemungkinan besar Puteh akan bisa membantunya. Bukankah wartawan sering bertemu dengan wakil rakyat. Tetapi bagaimana harus mencari Puteh. Ia tidak punya alamat, apalagi nomor telepon. Ia juga tidak tahu di media mana Puteh bekerja.
Usman berpikir keras. Sampai malam, ia belum tahu apa yang mesti dia lakukan. Waktunya berada di Jakarta hanya satu hari lagi, besok. Lusa, pagi-pagi dengan pesawat pertama harus pulang ke Aceh bersama kawan-kawannya. Usman dan kawan-kawan sekantornya yang baru saja mengkuti pelatihan manajemen selama dua minggu di kota ini. Setelah pelatihan itu usai, ia baru punya kesempatan untuk mencari Hananan.
"Menurutku, lebih baik Pak Usman mendatangi saja rumah itu kembali. Siapa tahu itu memang benar rumah Pak Hananan. Wakil rakyat itu kan banyak uang. Apa Pak Usman tidak baca koran, ada rapat ini dapat uang, ada pemilihan itu dapat uang, ada acara di proyek ini-itu juga dapat uang. Kalau dikumpulin kan jadi banyak."
"Tetapi apa mungkin dalam waktu dua tahun bisa punya rumah sehebat itu. Tidak, aku tidak yakin itu rumah Hananan," kata Usman.
"Ya mungkin saja. Namanya juga nasib. Kalau seseorang bernasib baik, bukan hanya dalam waktu dua tahun, sebulan pun orang bisa kaya raya."
"Tetapi kalau Hananan punya rumah sebesar itu masa ayahnya tidak cerita."
"Untuk apa diceritakan? Kekayaan bukan buat disiar-siarkan, tetapi dinikmati. Memangnya di kampung kita, beli sepeda motor saja orang se-kecamatan bisa tahu?! Orang kaya itu tidak perlu ribut-ribut. Kita pun tidak perlu menceritakan kepada orang lain bila benar itu rumah Pak Hananan. Itu kebahagian orang. Biarkan saja."
"Kalau Hananan punya rumah sebesar itu, ayah Hananan pasti ceritalah sama aku. Aku kan kawan baik Hananan sejak kecil."
"Mungkin saja Pak Hananan sudah mewanti-wanti keluarganya untuk tidak menceritakan itu kepada siapa pun, termasuk Pak Usman. Atau bahkan, ayah Pak Hananan sendiri tidak tahu anaknya punya rumah semewah itu."
"Masa sih? Keterlaluan kalau Hananan tidak ngasih tahu sama orang tuanya."
"Ya bisa saja. Mungkin Pak Hananan berpikir, lebih baik diam saja. Dari pada kabar itu menyebar ke mana-mana, lalu ada orang iri dan cemburu, bisa dituduh yang tidak-tidak. Kan lebih baik diam."
"Ah tidak mungkin."
"Tetapi apa pun, saran saya lebih baik Pak Usman kembali lagi ke rumah itu."
Usman kembali ke rumah itu. Tetapi sampai di sana, keraguan segera menyergapnya. Sebuah pertanyaan klise kembali menghentaknya: benarkah itu rumah Hananan? Dari mana ia memperoleh uang untuk membeli rumah sebesar dan semewah ini? Berapa besarkah pendapatannya sebagai wakil rakyat?
Ia edarkan pandangannya ke segala sudut rumah bercatat putih itu. Lagi-lagi ia terpesona: Rumah itu sangat megah: lebih besar dan lebih mentereng dari pada rumah lain di kompleks itu. Usman seperti menemukan sebuah kesempatan untuk menikmati sesuatu yang tidak pernah dilihatnya selama ini. Di kampungnya tidak pernah ada rumah semewah itu.
Tanpa disadari, dua orang yang sejak tadi memperhatikannya mendekat dan menepuk bahu Usman. Ia kaget dan terperanjat. Sebuah tas agak besar berisi oleh-oleh yang disandangnya hampir terjatuh.
"Ayo serahkan tas itu. Kamu mau menaruh bom di sini ya," kata salah seorang di antaranya sambil merampas tas itu, membuka dan mengobrak-abrik isinya. Seorang yang lain dengan sigap membekuk dan menyeretnya - seperti seorang penjahat - ke pos satpam di bagian dalam halaman rumah itu. "Apa-apaan ini?" Usman meronta. "Saya ini kawannya Pak Hananan. Saya baru datang dari kampung. Apa kalian tidak diajari sopan-santun?" Usman geram.
Sontak kedua satpam itu terkejut. Mereka saling pandang. Salah seorang di antara mereka mengedipkan sebelah matanya ke satpam yang lain. Entah apa maksudnya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu. Mana KTP-nya," suara mereka masih seperti membentak.
"Saya tidak ngaku-ngaku," kata Usman. Dengan perasaan bercampur-aduk - marah, kesal, sudah capek-capek bolak-balik malah dikasari - ia ambil KTP dari dompetnya dan diserahkan kepada mereka.
"Makan ini KTP. Dan kasih tahu tuanmu bahwa Usman teman baiknya dari kampung datang."
Setelah membolak-balik KTP itu, salah seorang di antara satpam itu masuk ke dalam membawa KTP itu. Lima menit kemudian, ia keluar lagi. Kali ini sikapnya menjadi sangat ramah.
"Maafkan kami, Pak. Kami tidak tahu. Maklum, kami harus berhati-hati. Bapak kan tahu, akhir-akhir ini banyak ledakan bom. Kami tidak ingin kecolongan."
"Tetapi lihat-lihat, masa saya punya tampang untuk meledakkan bom."
"Bukan begitu. Kami hanya menjalankan tugas, Pak. Sekali lagi kami minta maaf," seorang yang lain menyela.
"Ya, sudah. Lain kali, lihat-lihat, jangan asal tubruk."
"Ya Pak."
Usman berusaha mengatur napas. Kemarahannya pun pelan-pelan turun. Seorang satpam yang lain memberinya sebotol air mineral dan mempersilakan Usman untuk diminum. Setelah meminum dua teguk, Hananan bersuara. "Jadi di mana Pak Hananan sekarang?"
"Bapak tidak tinggal di sini, tetapi di rumah dinas. Pak Usman diminta datang ke sana nanti malam," kata satpam yang masuk tadi ke dalam, sambil menyerahkan sebuah alamat.
"Jadi ini rumah siapa?"
"Rumah Pak Hananan. Tetapi ini rumah pribadi. Biasanya Bapak akhir pekan baru ke sini."
"Sayang amat rumah besar begini dibiarin kosong. Pasti mahal harganya," Usman berkata sekenanya.
"O iya, Pak. Harganya mahal sekali. Dengar-dengar sih 3 M lebih."
"3 M?" Mata Usman terbelalak. "Banyak sekali uang Hananan?!"
"Ini belum seberapa Pak. Ada teman Bapak yang rumahnya katanya berharga di atas 5 M," kata Satpam itu bangga.
Usman berdecak. "Ck... ck... ck.... Banyak sekali uang mereka."
Satpam itu tidak menanggapi. "Oh ya, Bapak mau masuk dulu."
"Tidak, tidak. Sudah sore. Saya harus segera balik ke hotel," kata Usman, lalu permisi.

DASI.jpg

Ia telusuri jalan yang lebar dan sekelilingnya ditanamani pohon-pohon di perumahan itu dengan perasan campur aduk: antara percaya dan tidak. Sebuah pertanyaan tetap menggantung dalam pikirannya: Sudah begitu kayakah Hananan?
Usman takjub, sekaligus bangga. Tetapi, ketika ia ingat Hananan belum lama menjadi wakil rakyat dan sudah mempunyai rumah seharga tiga miliar, perasaannya seperti teriris-iris. Ia bukan cemburu. Bukan iri. Bukan tidak rela. Tetapi kasihan.
Ia kasihan melihat Hananan yang begitu getol mengejar kekayaan, dan melupakan janji-janjinya saat kampanye dulu. Padahal orang-orang di kampung, yang telah memilihnya, selalu menunggu.
"Kalau saya terpilih, saya akan berusaha memperjuangkan agar Saudara-saudara mudah mendapatkan kredit untuk modal usaha pertanian, juga modal bagi nelayan untuk membeli perahu motor dan jaring," katanya dulu, diikuti riuh tepuk tangan dan suara orang mengelu-elukannya: "Hidup Hananan, Hidup Hananan!"
Usman masih merekam peristiwa itu.

Sawangan, 15 September 2002
Suara Pembaruan, 05 November 2003