Arifin (Bagian 4)

in #fiction7 years ago (edited)

image

Tak jauh dari warung nasi milik paman Arifin, sebidang tanah kosong tampak dipagar keliling menggunakan seng. Beberapa bagian pagar seng itu tampak sudah terlepas dan oleh sebahagian warga sekitar dijadikan jalan pintas menuju jalan raya. Di sana dulunya berdiri kantor pusat milik sebuah bank swasta yang diapit oleh deretan Ruko. Tapi ombak Tsunami yang menghantam daratan Aceh pada akhir 2004 lalu telah meremukkan gedung tersebut. Kini, puing-puing bangunan itu sering dijadikan tempat anjing berpesta. Kawin atau berkelahi sesukanya tanpa waswas dilempar batu oleh manusia. Terkadang juga dimanfaatkan oleh waria tunasusila sebagai lapak bercinta. Semak belukar dan rumput setinggi dada yang menghalangi pandangan menjadikannya sebagai tempat favorit kedua jenis makhluk tadi. Itupun belum termasuk pocong, kuntilanak, dan genderuwo yang kata sebagian warga sekitar kerap menampakkan diri di sana.

Meskipun begitu, Arifin belum pernah melihat satu setanpun di sana. Padahal dari kamarnya di lantai dua ruko tempat paman Arifin berjualan nasi itu, Dia bisa dengan jelas melihat ke arah tanah kosong tempat mangkal sekalian bencong dan anjing tersebut. Tapi sampai sekarang belum satu setanpun yang sudi menampakkan wujudnya kepada Arifin. Hanya suara anjing yang kerap didengarnya menyalak ganas disana. Atau sesekali melolong lirih seperti saat Arifin sedang menikmati adegan panas dalam film horor buatan Indonesia pada suatu ketika. Saat itu, bulu kuduknya langsung meremang bersamaan dengan Burungnya yang menegang. Sungguh sensasi yang luar biasa ganjil.

Kepada Mak Usuh, seorang penjaga parkir yang mangkal disekitar situ, Arifin pernah menyatakan keraguannya soal desas desus setan penghuni tanah kosong tersebut. Mak Usuh yang saban siang menjadi pelanggan nasi goreng bungkus plus urap bunga pepaya di warung nasi Kembang Tanjung tempat Arifin bekerja hanya bisa manggut-manggut. Ia tak pernah tahu seperti apa rupa tanah kosong dibalik pagar seng itu ketika malam tiba.

"Aku pin, mana tau kalok malam disitu kekmana. Kan aku cumak sampek jam 6 dinasnya" ujar Mak Usuh suatu ketika.

Suatu hari, Mak Usuh datang lebih awal ke warung nasi Arifin. Hari baru mulai beranjak siang. Warung nasi tersebut tampak masih sepi dari pelanggan. Rak dagangan masih belum sepenuhnya terisi. Hanya ada beberapa bejana berisi kuah yang sudah berbaris rapi pada tempatnya sambil mengepulkan asap tipis. Juga beberapa potong ayam goreng, telur dadar, dan sebuah termos tepat nasi yang masih penuh terisi. Arifin sedang mengelap meja saat Mak Usuh datang.

"Eh, Pin... Gak kuliah?" Sapa Mak Usuh.

"Enggak Mak Usuh, libur hari ni. Kok cepat kali.datang?"

"Lapar kali udah, urap udah ada?"

"Belom, tunggu aja bentar lagi. Duek aja dulu. Aku ada apa mau bilang"

Selesai mengelap seluruh meja, Arifin lantas bergabung dengan Mak Usuh yang telah duduk di kursi panjang di teras ruko. Arifin lalu menceritakan kepada Mak Usuh soal kejadian yang di alami Syarkawi, tukang becak yang sering mangkal di jalan Diponegoro beberapa malam lalu. Saat itu, Syarkawi lari lintang pukang meninggalkan becaknya ditepi jalan. Menurut pengakuannya, saat itu ia tengah tertidur di bangku penumpang saat mendengar suara rintihan seperti orang menangis dari arah tanah kosong tersebut.

"Mungkin itu hantu korban Tsunami, pin"

"Atau bencong? Tapi aku heran Mak Usuh"

"Kenapa pin?"

"Cobak Mak Usuh pikir, kalok betol disana behantu, kenapa bencong-bencong itu nggak di ganggu? Aku kan, ga pernah dengar orang tu lari karna liat hantu. Belom ada bencong yang pingsan karena liat pocong. Kan aneh tu?"

"Tapi bulan lalu, ku dengar ada bencong yang lari ketakutan" Timpal Mak Usuh seraya memelintir upil yang berhasil ia raih dari dalam liang hidungnya.

" Itu bukan karena hantu hai Mak Usuh, bencong itu dilari karena diliat bololo si jakit. Cikok barang!"

"Hahaha"


image


Mak Usuh yang sudah sedari tadi disergap rasa lapar akhirnya menyerah juga. Perutnya yang buncit bak orang cacingan itu sudah sejak tadi keroncongan. Dirogohnya saku baju lantas kepingan uang logam itu dihitung satu persatu. "tu, wa, ga, pat, ma, nam, juh, pan. Ni pin, bungkus nasi pakek ayam satu. Ga sanggup lagi tunggu urap aku. Lapar kali"

Arifin menimang-nimang delapan keping recehan itu sebentar lalu dimasukkannya kedalam laci. Diambilnya selembar kertas pembungkus, dilipat sedemikian rupa, lalu dijejali nasi serta kawan-kawannya. Hanya dalam waktu kurang dari 2 menit sebuah kantong kresek berisi nasi bungkus segera berpindah tangan. "hari ni Mak Usuh penglaris... Hehe. Makasih beuh"

"masama" Mak Usuh sumringah sambil memamerkan giginya yang kuning kecokelatan khas pecandu Samsu. Lantas melangkah pulang kembali ke lapak parkirnya. Seorang gadis masuk dan langsung menuju rak dagangan. Bersamaan dengan pamannya yang keluar sambil mengusung setalam penuh urap bunga pepaya, Arifin masuk ke dalam, menuju kamar mandi, berwudhu, sujud kepada ilahi rabbi.

Usai shalat, sebentar ia menengadahkan tangan memohon kepada tuhan agar jalan hidupnya berubah. Agar kemalangan nasib yang meliputi keluarganya kelak bisa disibak olehnya. Berdoa agar nasib berpihak kepadanya. Dan memohon kepada tuhan agar jalan itu dipermudahnya. Arifin sesaat teringat ibunya dikampung. Mungkin kini sedang berada di kamar mandi orang sebagai buruh pencuci baju. Meski pengahasilannya hanya beberapa ratus ribu, Arifin rutin menerima kiriman dari sang ibu. "panjangkanlah umurnya ya Allah, agar bisa kubalas keringat mamak" pintanya lirih.

"Piiiin... Mak Usuh ji mita kaaah. Kapeuteupat nyoe ilei!" (Pin, kau dicari Mak Usuh, kau selesaikan dulu urusan kalian)

Meski hanya setengah teriak, tapi Arifin bisa mendengar suara pamannya itu. Bergegas ia bangkit. Dilipatnya sajadah sekenanya. Dengan satu tarikan sarungnya terlepas lalu disangkut begitu saja dipaku yang menancap di dinding. Masih dengan kopiah dikepala Arifin keluar, sambil mencoba menerka ada masalah apa Mak Usuh tiba-tiba datang kembali ke sini. Seingatnya, tadi Mak Usuh sendiri yang tak sanggup menunggu urap bunga kates kesukaannya. Sehingga tidak mungkin ia kembali lantaran tak menemukan sayur pahit itu dalam buntalan nasi bungkusnya, seperti dulu waktu... Kapan ya? Pokoknya waktu itu Mak Usuh mencak-mencak sambil membawa nasi bungkus yang setengahnya sudah dimakan. Pokoknya waktu bang Ilham karyawan paman Arifin itu baru kerja satu minggu. Dan tentu saja, waktu itu pesanan Mak Usuh dia yang urus.

"Kimbek lah kau, ko tipu pulak aku ya!" Mak Usuh memberondongnya nya langsung pada detik pertama Arifin menampakkan diri.

"Mana ada ku tipu Mak Usuh. Tipu apa lu? Cobak bilang dulu"

"Tadi kupesan nasik pakek apa?" Mak Usuh menggeram

"Ayam"

"Ko tarok?"

"Telor!"

"Kan anjeng! Sengaja ko tipu rupanya!!"

"Mana ada kutipu Maksuh, telor tu kan ayam jugak. Tapi belom netas! Besok-besok kalok mau ayam, duablas bijik maksuh kasih uangnya! Kalok lapan, gak cukup"

Mak Usuh tercengang. Mulutnya mangap mendapat jawaban serupa itu. Ragu-ragu ia balik kanan, kembali ke lapaknya. Meninggalkan warung nasi Kembang Tanjung yang penuh derai tawa para pengunjung.

Sort:  

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by senja.jingga from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews/crimsonclad, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows and creating a social network. Please find us in the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP. Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

This post has received a 0.05 % upvote from @drotto thanks to: @banjo.