Dilan
Berkat seorang Pidi Baiq dan Dilan, karakter novel yang ia ciptakan, aku bisa kembali berbincang seru sampai tengah malam dengan salah satu teman ngobrol paling asik yang aku miliki. Dulu kami begitu intens bertukar pesan atau telepon sampai tengah malam, bahkan sampai jam 3 dini hari. Tapi ketika negara api menyerang (baca: dia punya pacar), semua berubah.
Yang aku sukai darinya adalah cara dia yang entah bagaimana bisa membuatku terhipnotis ketika mendengar dia bercerita. Aku memang dikaruniai daya simak dan pendengaran yang bagus. Maksudku, aku sangat terbiasa mendengarkan orang lain berbicara ketimbang aku yang menjadi pembicaranya, bahkan dalam suatu percakapan paling sederhana sekalipun. Tapi ketika dia yang berbicara, rasanya berbeda. Aku benar-benar terbawa oleh ceritanya dan seolah bisa masuk ke sana dan melihat sendiri apa yang sedang ia ceritakan. Atau mungkin juga karena apa yang ia ceritakan selalu positif dan menambah wawasan sehingga membuatku terkesima. Intinya kemampuannya berbicara dan menarik banyak orang benar-benar mumpuni.
Meskipun aku hanyalah orang yang tanpa wawasan luas, aku selalu merasa apapun yang aku bicarakan dengan dia selalu “nyambung”. Padahal banyak hal yang dia bicarakan yang aku tidak tau, tapi aku sangat tidak merasa sedang digurui atau di-soktau-i. Meskipun dengan keterbatasan pengetahuanku, sekalinya aku berbicara dia akan memikirkannya dan selalu bisa menemukan hal yang benar dari pemikiran-pemikiranku. Dan meskipun ia selalu mengaku bahwa ia adalah tipe pembicara, bukan pendengar, ia selalu bisa mengingat kata-kataku yang bahkan aku saja sudah melupakannya. Aku benar-benar merasa dihargai olehnya.
Dua malam terakhir ini, dia meneleponku. Hal itu bermula ketika ia memasang quote Pidi Baiq di status WhatsAppnya. Aku bertanya,
“Suka Pidi Baiq juga?”
Dan ternyata ia menyukai Pidi Baiq sejak SMA. Sedangkan aku saja baru tau berkat film Dilan yang sedang booming itu. Aku bilang padanya bahwa aku bukan fansnya. Ya, aku tidak mau disebut fans bukan karena apa-apa. Aku hanya tidak mau terkesan terbawa arus kekinian yang melambungkan nama Pidi Baiq berkat Dilan. Aku hanya sekedar tau saja.
Tanpa ditanya ia mulai mereview film Dilan yang sudah sukses membuatnya baper. Tentang bagaimana film itu bisa mengalir dengan luwes tanpa terkesan dibuat-buat. Aku bukan pengamat film, aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Aku hanya mengiyakan karena sepertinya benar juga apa yang dia bilang. Aku tidak punya argumen sendiri tentang film itu.
Lama-lama mungkin ia gatal karena ingin berbagi pendapatnya mengenai film itu dan penyebab bapernya ia. Kemudian dia menelepon dan setelah sekian lama aku bisa kembali mendengar suaranya.
“Kamu tau, aku nonton film itu sendiri. Berangkat naik motor sendiri, beli tiket sendiri, nonton sendiri, dan pulangnya baper sendiri. Kalau aku jadi cewek sudah pasti aku meleleh dengan semua kata yang ia ucapkan. Bagaimana cara dia mengeluarkan gombalan-gombalan itu begitu halus dan tidak terduga. Aku ingat ketika adegan Dilan mengajak Milea naik motornya. Dia bilang, ‘Jangan pegangan.’Milea kaget, tapi kemudian Dilan bilang lagi, ‘Tapi kalau kamu mau, gapapa’. Lalu ketika Dilan mengantarkan surat ‘undangan sekolah’, datang malam-malam ke rumah Milea sesuai janji (meskipun dia datang hanya sekedar berbicara omong kosong, tapi nyatanya dia benar-benar datang), memberikan kado berupa TTS yang sudah terisi, dsb. Semuanya di luar dugaan.
Salah satu yang paling membuat aku geregetan adalah ketika di kantin Dilan menghampiri Milea yang sedang makan bersama teman-temannya, salah satunya Nandan. Ia datang, menyapa Milea sebentar, lalu berbicara pada Nandan.
“Kamu tau ga? Aku mencintai Milea. Tapi malu mau bilang.”
Kata Nandan, “Itu sudah bilang.”
“Kan ngomong ke kamu, bukan ke Milea,” jawabnya dengan muka tengil.
“Dia denger kan?”
“Mudah-mudahan.”
Uasu tenan! (tertawa) Setelah itu dia pergi dengan tampang tanpa dosa dan... apa ya, heran aku dengannya. Ah~
Dia adalah seorang yang berprinsip. Bedanya dia dengan Rangga AADC, Rangga adalah sosok yang berkarakter. Karakter seorang laki-laki yang cool, cuek, dewasa, cerdas, dsb. Sedangkan Dilan adalah sosok yang berprinsip karena itu ia berani melawan gurunya, Suripto, yang ia anggap tidak memperlakukan dia dengan baik. Prinsipnya adalah siapapun yang berbuat baik padanya maka ia pun akan baik dengan orang tersebut. Dan ketika ada yang memperlakukannya secara semena-mena, dia akan melawannya meskipun itu adalah seorang guru. Bukti lain, dia memang seorang Panglima Tempur dari sebuah geng motor. Ia pun sering terlibat tawuran. Tapi dari tawuran-tawuran itu, ia tidak pernah memulai. Bahkan ketika rencana membalas sekolah lain yang melempari sekolahnya dengan batu sudah tinggal eksekusi, dia masih saja menuruti permintaan Milea untuk menemaninya jalan-jalan.
Prinsipnya yang lain soal wanita adalah ketika dia sudah memilih satu wanita maka dia akan mencurahkan seluruh perasaannya pada wanitu itu. Tidak diceritakan sama sekali bahwa ia playboy. Buktinya ketika Milea diajak ke rumah dan bertemu dengan Bundanya, Milea bertanya apakah Dilan pernah punya pacar. Bunda Dilan terlihat bingung dan malah balik bertanya, “Maksudnya yang seperti kamu begini?” Wati juga memberi kejelasan pada Milea bahwa selama ini Dilan tidak pernah punya pacar, dia terlalu fokus pada kawan-kawannya. Soal wanita dia juga cukup gentle. Ketika dia pikir Milea sudah berpacaran dengan Nandan, ia pun berswedia mundur dan berhenti mengejar Milea. Dia tidak memaksakan kehendaknya. Dia melakukan apa yang seharusnya.
Dilan tidak pernah berpacaran karena memang dia tipe bebas yang tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti berpacaran atau apa. Dia pikir dia suka pada seseorang dan orang tersebut juga menyukainya, maka itu cukup. Tapi dia tidak tau apa yang berkecamuk dalam hati Milea karena wanita butuh ketegasan macam itu, ‘Hubungan apa yang sedang kita miliki sekarang?’ Dan pada akhirnya Dilan menyadari bahwa Milea butuh sesuatu yang seperti itu, maka tercetuslah Proklamasi dari mulut Dilan bahwa mereka sudah mulai berpacaran sejak tanggal 22 Desember 1990, seusai ia menghajar Anhar yang sudah menampar Milea.
Ah, aku meleleh~
Kenapa aku bisa sebaper ini dengan Dilan? Karena aku merasa ada beberapa sisi dari Dilan yang mengingatkanku pada diriku sendiri. Mulai dari jaket jeansnya, cara dia mengejar Milea, dan tentang dia yang beragama. Dilan memang tidak digambarkan sebagai sosok yang religius, tapi aku senang ketika di novel diceritakan bahwa ia habis sholat. Kadang novel-novel itu sekuler, memisahkan antara agama dan kehidupan, tidak jelas agama apa yang dianut tokoh-tokohnya. Jadi aku senang dengan Pidi Baiq yang menggambarkan Dilan sebagai sosok yang beragama.
Di novel dideskripsikan bahwa di kamar Dilan tertempel poster Ayatollah Khomeini. Dia adalah seorang pemimpin revolusi di Iran yang berhasil menggulingkan pemerintahan Reza Pahlevi. Berkat itu, dia menjadi orang yang sangat berpengaruh di Iran. Ayatollah Khomeini adalah seorang pemimpin Syiah, dan tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Pidi Baiq adalah orang Syiah. Tapi di situ dijelaskan bahwa Dilan mengidolakan Ayatollah Khomeini karena terinspirasi oleh keberaniannya. Dari situ semakin terlihat bahwa Dilan adalah sosok yang beragama dan mengingatkanku pada lingkunganku yang di sekitar pesantren.”
Setidaknya itulah inti dari percakapan telepon kami yang dua malam itu. Masih banyak sekali yang dia bicarakan tentang Dilan dan aku tidak ingat semuanya. Sampai saat ini dia masih baper dan sengaja menambah tingkat kebaperannya dengan membaca novelnya. Ia pun heboh menceritakan adegan-adegan yang ada di novel tapi luput di film. Aku hanya mendengarkan dan tertawa. Dia seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Tentu saja obrolan kami tak sebatas Dilan. Tapi juga mengenai pekerjaannya, bagaimana ia sampai di Universitas Darusalam Ponorogo, pengalamannya mengajar mahasiswa pertukaran pelajar dari Malaysia yang waktunya habis untuk mencari padanan kata yang bisa dipahami oleh mereka. Juga tentang kerinduannya padaku dan teman-teman yang selalu gila di depannya. Ia juga jadi menceritakan soal sejarah Syiah, macam-macam logat jawa dan rumus supaya terlihat njogja, dan kemudian menertawai teman kami yang logat ngapaknya begitu kental.
Aku selalu merindukan obrolan-obrolan dengannya karena hal itu selalu membuatku jadi tau lebih banyak hal. Aku suka caranya mengingat perkataan-perkataanku di saat orang lain bahkan tidak mendengarkan. Dan aku pikir tidak ada yang lain selain dia untuk aku ajak ngobrol apa saja ngalor ngidul begitu. Benar-benar hanya dia. Tapi, karena keterbatasan kami masing-masing, obrolan-obrolan semacam itu menjadi sangat langka. Setelah dua malam kemarin, entah berapa lama lagi aku bisa berbincang dengannya seintens itu.