Fatmawati Mampu Kuliahkan Anak Hasil Jualan Sirih
Fatmawati tampak sibuk memoleskan kapur sirih menggunakan pipet pada setiap daun sirih di tangan kirinnya. Sirih-sirih yang sudah diratakan kapur tadi dibungkus seukuran jempol orang dewasa. Di dalamnya diisikan biji pinang yang sudah dibelah.
“Piyoh, piyoh, piyoh,” begitu Fatmawati menyapa pelanggannya untuk mampir di kiosnya yang tak berdinding itu.
Wanita berusia senja ini telah lama berjualan di Jalan Chik Pante Kulu, tepatnya berhadapan dengan Gerbang Mesjid Raya Baiturrahman, dimana Jenderal Kohler ditembak mati oleh pejuang Aceh masa dulu, Teuku Njak Radja Lueng Bata. “Saya sudah berberjualan sirih di sini semenjak berusia 11 tahun sampai sekarang,” ungkap wanita asal Pidie ini sambil tersenyum.
Di samping lapaknya berjualan, juga berjejeran belasan pedagang sirih lainnya. Pada umumnya mereka adalah perempuan dan nyak-nyak. Selain sirih, juga terlihat beberapa tangkai pinang muda untuk obat-obatan.
Fatmawati menjelaskan bahwa rata-rata perempuan pedagang sirih di sana berasal dari Sigli, Kabupaten Pidie. Mereka berjualan pada sebuah kios yang terbuat dari papan, dengan luasnya satu meter persegi. Katanya, kios tersebut merupakan bantuan dari PERTAMINA kepada korban tsunami yang disalurkan melalui Pemerintah Kota Banda Aceh.
Ia menjelaskan, sebelum peristiwa tsunami yang melanda Aceh 26 Desember 2004 silam, Fatmawati membuka lapak berdekatan dengan Asrama Haji Banda Aceh. Ia juga termasuk salah satu korbannya tsunami. Tapi Allah masih menyelamatkannya beserta seluruh anggota keluarga.
Fatmawati sudah melakoni pekerjaan sebagai pedagang sirih selama 45 tahun. Tepatnya pada tahun 1969. Jelasnya lagi, Fatmawati berjualan dagangannya sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB. Meskipun demikian, ia tak sendiri tetapi dibantu adiknya menggantikan ketika ia sudah lelah atau melaksanakan shalat.
Selain dibantu adiknya, suami Fatmawati, Abdul Ghani ikut meringankan pekerjaannya. Abdul Ghani sangat tekun pergi ke kios Fatmawati untuk melakukan apapun yang bisa ia perbuat untuk membantu Fatmawati.
Menurut Fatmawati, sirih dagangannya mengandung banyak khasiat, antara lain menghilangkan batuk, pewangi badan, kesehatan gigi, dan banyak khasiat alami lainnya.
Satu ikat sirih ia jual seharga Rp4.000 hingga Rp5.000. Barang dagangannya tersebut diambil dengan harga Rp2.000 hingga Rp3.000. Artinya ia hanya mendapatkan untung antara Rp1.000 hingga Rp2.000. Namun, ia mampu menjual sebanyak 40 ikat lebih.
Untuk merintis dagangannya, Fatmawati hanya membutuhkan modal Rp300.000 sampai dengan Rp 350.000. Dari hasil jualannya, ia telah mampu membantu ekonomi keluarganya. Dari jualan sirih merupakan penghasilan terbesar dalam keluarga Fatmawati. Bahkan, biaya pendidikan keempat anaknya berasal dari jualan sirih. Sehingga mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Namun demikian, ia tidak pernah berkeluh kesah dengan nasibnya ini. Pasalnya, berkat kerja kerasnya berjualan sirih, anak sulung Fatma kini sudah menjadi sarjana tingkat S1 Akutansi, Universitas Muhammadiyah Aceh. “Sekarang anak saya yang itu mencoba melamar ke berbagai instansi agar dapat bekerja. Semoga dia bisa diterima,”harap Fatma.
Sementara anaknya yang kedua sedang menduduki bangku kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Serambi Makkah. Selanjutnya, ada juga yang masih kuliah di Jurusan Komunikasi UIN Ar-Raniry. Sedangkan yang bungsu baru tamat SMA.
Menurut Fatmawati, pendidikan harus menjadi prioritas utama. Sebab, keberhasilan seseorang sangat bergantung kepada kualitas dan daya saing yang ia miliki. Fatmawati juga menambahkan bahwa selama ini dia tidak pernah berharap apa-apa kepada keempat anaknya itu. “Saya hanya ingin melihat anak-anak saya bisa meraih kesuksesan dan bahagia,”tuturnya.
Sirihnya tidak hanya diminati kalangan orang tua, tetapi anak-anak muda juga menjadi pelanggannya. Jika pada musim haji, dagangannya kerap dihampiri para pengantar jamaah haji yang datang dari luar kota bersinggah di Masjid Raya Baiturrahman.
Ketika ditanyai apakah Fatma ada keinginan untuk berangkat haji, Fatmawati menjawab bahwa ia sangat berkeinginan bertamu ke rumah Allah tersebut. Namun apa boleh buat, keterbatasan ekonomi membuat Fatmawati harus mengurungkan niatnya. “Jangankan menabung untuk berangkat haji, sampai saat ini pun uang tabungan saja kami tidak pernah punya, sementara jerih payah saya tidak ada yang tersisa. Semua habis untuk kebutuhan keluarga. Terutama sekali bagi anak-anak sekolah,” ungkapnya.
Sementara pedagang sirih lainnya, Elliana yang lapaknya berselang tiga kios dengan Fatmawati. Ia mengaku sudah mulai berjualan sirih sejak umurnya masih masih gadis. Ditemani anaknya, Elliana menceritakan bahwa hasil jualan sirih belum mampu membiayai seluruh kebutuhan keluarganya.
Agar dapat berjualan, Elliana hanya mampu mengeluarkan modal sebesar Rp100.000. Dalam sehari, ia memperoleh keuntungan sebesar Rp30.000. Sedangkan suaminya berpenghasilan Rp50.000 per hari dari hasil menarik becak. “Padahal, kebutuhan keluarga saya sehari-hari mencapai Rp70.000,” pungkasnya.
Ia menilai jumlah penghasilan dirinya bersama suami masih sangat terbatas. Apalagi untuk mecukupi kebutuhan sehari-hari. Semoga ke depan, Pemerintah Kota Banda Aceh lebih memperhatikan para pedagang kecil. Sehingga, ekonomi masyarakat menengah ke bawah akan tumbuh dan meningkat. Secara tidak langsung masyarakat akan lebih sejahtera.
Keren 👍👍🙏
Hello @furqanzedef, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine. The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!