Zubir Marzuki, Bangkit Demi Negeri
Zubir Marzuki tidak mempedulikan cemoohan orang kepadanya. “Daripada membuat tepung lebih baik membuat lem layang, lebih laku”. Ucapan temannya itu masih terngiang jelas dibenaknya.
Ditemani segelas teh hangat di Zakir Kupi Simpang Surabaya, Banda Aceh, Zubir menceritakan bagaimana ia mengembangkan produk Tepung Tapioka Cap Seulawah. “Awalnya tidak ada yang mau membeli tepung kita,” ujarnya.
Ia menuturkan saat itu mereka belum mempercayai produk ciptaan lokal. Akhirnya Zubir memutuskan untuk memberikannya secara cuma-cuma kepada pembuat kue. Supaya mereka bisa membuktikan sendiri kualitas tepung. Pemilik merek kue Zulaikha dan beberapa lainnya di Medan turut mencobanya. Benar saja, semua merasa puas menggunakan tepung produksi anak Aceh itu. Hal ini membuat mereka ingin terus memakainya.
Keinginan Zubir memproduksikan tepung berangkat dari kekhawatiran melihat kondisi perekonomian Aceh. Hampir seluruh produk yang menyebar di Aceh merupakan hasil luar daerah. Sedikit sekali produk olahan lokal. Ia pun memutar otak memikirkan produk yang paling sering digunakan masyarakat. Pikirannya berhenti pada tepung tapioka.
Tepung tapioka itu terbuat dari bahan baku ubi yang tidak sulit diperoleh. Orang yang tidak paham ilmu pertanian pun bisa mengolah ubi menjadi sebuah produk. Ubi bisa diolah menjadi tepung secara moderen maupun tradisional. Sedangkan tepung tapioka cap seulawah diolah secara tradisional. Kata Zubir, harga tepung tradisional lebih mahal di pasaran daripada tepung moderen. Satu kilogram tepung moderen harganya Rp 5.000. Tepung tradisional harganya bisa mencapai Rp 20.000. “Beda jauh,” terang staf Dinas Pangan Aceh itu.
Pabrik tepung cap seulawah berada di Balai Benih Holtikultura, Saree, Aceh Besar. Pemiliknya Dinas Pertanian Aceh. Zubir dipercayakan memproduksi tepung di sana bertujuan memperbanyak produk lokal. Sebelum dikelola oleh Zubir atas permintaan kepala dinas pada 2015, fasilitasnya belum memadai. Zubir terpaksa merogok kocek pribadinya untuk memperbaiki fasilitas yang ada.
Di Saree, proses penjemurannya cukup sulit. Kelembapan udaranya tinggi. Penjemuran tepung pun dialihkan ke sebuah sebuah gudang kecil milik pemerintah daerah di Gelumpang Minyeuk, Pidie. Di sana sekaligus pengemasan. Satu kemasan berisi satu kilogram tepung dari lima kilogram ubi yang diolah.
Tepung ini sudah menjadi tepung favorit baik di Aceh maupun bagi sejumlah pengusaha kue di Medan. Permintaannya cukup banyak. Pengusaha kuliner sangat menyukai menggunakan tepung ini untuk membuat adonan kue. Hasilnya sesuai seperti yang diinginkan. Tepung ini disebut-sebut lebih berkualitas dibandingkan tepung termahal dari Jawa. “Dapur pendopo juga menggunakan tepung kita. Tapi mungkin gubernur tidak tahu,” imbuhnya.
Proses pengolahannya, ubi yang didatangkan dari Medan terlebih dahulu dikupas. Kemudian digiling serta diayak. Ubi tersebut kemudai direndam dan diendapkan selama empat jam. Patinya yang diambil kemudian dijemur selama dua hari hingga kering. Selanjutnya digiling sekali lagi dengan kadar kehalusan yang sudah ditentukan. Akhirnya jadilah tepung yang siap dikemas.
Walaupun banyak peminatnya, Zubir tidak sanggup lagi memproduksi tepung itu. Biaya operasionalnya yang tinggi menjadi alasannya. Gaji Zubir sebagai pegawai negeri sipil tidak sanggup membiayai itu semua. Zubir merasa cukup sedih menghadapi kondisi ini. Padahal, sekarang harga ubi di Medan cuma Rp 350 per kilogram. Biasanya harga per kilogram sebesar Rp 1.100. Ia mencoba mencari bantuan dengan membuat pinjaman di bank. Sayangnya ditolak.
“Sekarang pelanggan banyak mengeluh karena produksi tepung sudah tiga bulan berhenti,” pungkasnya.
Namun Allah memberikannya jalan. Pemerintah bersedia membangun pabrik tepung tapioka di Lamtamot, Aceh Besar, dengan biaya Rp 3,5 miliar. Pabrik itu akan dibangun beberapa bulan ke depan. Zubir menjadi pengelolanya. Diharapkan, kehadiran pabrik ini bisa mengurangi angka pengangguran.
Prediksinya, total kebutuhan biaya operasional pabrik yang baru mencapai Rp 600 juta sebulan. Sudah termasuk gaji pekerjanya yang berasal dari kalangan ibu-ibu 80 orang. Bahan baku yang diperlukan sebulan 150 ton. Sedangkan laba bersih per bulan Rp 250 juta. “Operasionalnya mahal karena usaha ini padat karya,” tuturnya.
Ia mengatakan, selama ini bahan baku untuk membuat tepung berasal dari Medan. Ke depan ia merencanakan menggerakkan petani di Lamtamot, Lamteuba, untuk menanam ubi. Dibutuhkan 200 hektar lahan untuk mencukupi kebutuhan pabrik baru itu selama setahun. Tidak membutuhkan skill khusus supaya bisa mengolah ubi. Orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu bisa melakukannya. “Asal mau semua pekerjaan bisa dilakukan,” pungkasnya.
Ia berharap ke depan banyak anak-anak Aceh yang menciptakan produk lokal. Pemerintah tentunya harus hadir membantu mereka menggapai cita-cita mulia ini. Terciptanya produk lokal bisa meningkatkan perekonomian Aceh.
Sangat termotivasi
Alhamdulillah...
👍👍
Posted using Partiko Android