Sejarah asal usul woyla
WOYLA, salah satu kecamatan yang masuk dalam
Afdeling Westkust Van Atjeh dan merupakan
bekas kehulubalangan di Aceh Barat. Woyla sangat
terkenal dengan kegiatan-kegiatan perlawanannya di masa
kolonial di samping juga terkenal sebagai kecamatan yang
sudah lama dihuni. Konon kabarnya Woyla dibuka pertama kali oleh Nenek Moyang Teuku Umar yang bernama Datuk
Machudum Sakti, tepatnya disekitar Gampong Pasi Lunak
Awal kemerdekaan Kecamatan atau Nanggroe Woyla
Bergabung dengan Lhok Bubon dan Bubon dalam satu
kecamatan baru yang dinamakan dengan Samatiga.
Darimana Asal Woyla? Ada dua versi. Pertama, nama itu
diambil dari pulangnya kembali keturunan putra Aceh yang
bernama Teuku Laksamana Nanta yang ditugaskan oleh
Sultan Iskandar Muda ke tanah Minang yang salah satunya
bernama Datuk Machudum Sakti. Nama Woyla diambil dari
kata Woy Lom atau "telah pulang kembali', sebagai tradisi
tutur, lama-kelamaan disebutkan Woyla.
Lulof dalam Novelnya Cut Nyak Dhien menceritakan
bahwa rombongan keturunan Aceh yang lahir di Minang
tersebut pulang ke Aceh tepatnya mereka mendarat di Rantau
Dua Belas, Meulaboh, mulai saat itu Meulaboh menyatakan
kesetiaannya kepada Sultan Aceh, sedang daerah Meulaboh
itu dengan suka rela telah menjadi daerah jajahan Kesultanan
Aceh, yang takluk di bawah perintah Sultan Aceh.
Namun salah seorang kepala rombongan yang bernama
Datuk Machudum Sakti yang semula di Meureubo pindah ke
sebelah utara, yaitu ke Muara Sungai Woyla. Sebabnya ialah
karena ia mendengar kabar bahwa disana terdapat emas
yang terbaik.
Machudum Sakti datang ke Woyla bersama dengan rombongan
dan enam orang tokoh penting yang terkenal dengan julukan Raja
Tujuh (Raja Tujoh) yang singgah di Kampung Karak, Kecamatan
Woyla. Mereka adalah, 1. Raja Umpeing Beuso, 2. Raja Bulu Kabak,
- Nenek Tagak Bumi, 4. Raja Sungsang Buloh, 5. Raja Machudum
Sakti, 6. Raja Gagak, dan 7. Raja Bungsu
Ke tujuh orang tersebut mengajarkan Alee Meunari di
Daerah Krueng Woyla, bertempat di Sarah Drien Boh Iteik,
yang membuat masyarakat di daerah itu sangat kagum. Saat
Itu pengajaran Alee Meunari dimaksudkan agar penduduk
kampung meninggalkan kebiasaan lama yang bersifat
negatif dan tidak Islami seperti berjudi, sabung ayam.
Oleh karena daerah Sungai Woyla itu telah termashur
menjadi daerah makmur dan kaya raya, maka lambat laun
pantai Aceh di sebelah Barat telah menarik hati orang-orang
Islam dari daerah kesultanan dan berbondong bondonglah
mereka datang kesana untuk mencari emas dan bercocok
tanam. Orang-orang Aceh tersebut mengutamakan menanam
lada karena memiliki nilai ekonomis tinggi.
Sisi lain, Machudum Sakti dengan seluruh pengikutnya, tidak
mau membayar upeti kepada Sultan Aceh, akibatnya Sultan Aceh
menghukum yang enggan membayar pajak. Ketegasan hukum
dilakukan dengan hukuman mati bagi yang tidak bayar pajak
baik tua maupun muda, kaum perempuan ditawan, kampung-
kampung dibakar, dan harta benda dikuasai kerajaan.
Perang tidak dapat dielakkan, pasukan kerajaan lebih
banyak daripada penduduk Woyla yang menentang titah raja
Akhirnya, seluruh penentang meninggal dunia, termasulk
para sipil, kaum hawa ditawan dan dibawa dalam perahu
menuju Banda Aceh. Para korban yang selamat dalam perang
melarikan diri ke Selatan, wilayah Susoh dan Machudum Sakti
sendiri ditangkap dan dibawa ke Kutarja (Banda Aceh). Disana
ia menunjukkan kesaktian dan kekebalannya di depan Raja
Jamaloy, karenanya itulah ia dipercayai menjadi kepala pasukan
pengamanan pengawal Taman Penghibur Baginda.
Versi kedua mengatakan Woyla berasal dari kegiatan
penebangan kayu masa lalu dimana La (bekas tebangan kayu)
jatuh ke sungai kembali lagi ke tempat semula, makanya
Dinamakan dengan Woo La dan lama-lama dinamakan dengan woyla