Njong Dalam Pusaran Sejarah Aceh: Catatan Steemian Njong

in #history7 years ago (edited)

Selama dua hari berada di kampung kelahiran, Gampong Njong, Pidie Jaya, timbul rasa penasaran tentang sejarah Njong yang pernah saya dengar samar-samar ketika masih kecil. Berbagai cerita yang saya dengar dari orang-orang termasuk dari orang tua saya, ada yang hanya sekedar mitos namun ada juga yang berdasarkan fakta.

IMG_20180510_163450.jpg
Mesjid Baitul Abrar Njong, salah satu peninggalan sejarah di Kemukiman Njong, Pidie Jaya.

Cerita mitos yang saya dengar dulu seperti kubah lama Mesjid Njong yang diatasnya ada pedang bermata dua, menyerupai pedang zulfikar kepunyaan Saidina Ali ra, yang merupakan pemberian Rasulullah Saw. Berdasarkan cerita yang diriwayatkan dari radio meuigoe alias tidak jelas sanadnya, bahwa barangsiapa yang menunjuk-menunjuk pedang tersebut, jari tangannya bisa putus. Tapi itu hanya mitos belaka karena sampai dengan saat ini belum ada orang yang menunjuk "pedang zulfikar" itu terputus jari tangannya, dan saya telah melakukannya berulang kali, alhamdulillah tangan saya masih utuh.

Mesjid Njong memang salah satu peninggalan sejarah. Bangunan aslinya sekarang paling hanya tinggal 40% saja, karena telah mengalami renovasi perluasan. Menurut cerita Bapak saya, mesjid yang sekarang bernama Baitul Abrar di mana masa kecil saya pernah mengenyam pendidikan TPA itu memang telah lama dibangun sejak tahun 1935. Mesjid Njong dibangun di atas tanah wakaf oleh Meuntroe Adan. Beliau adalah seorang uleebalang yang bergelar Teuku Laksamana Polem negeri Njong, ayah dari Teuku Laksamana Haji Husein yang kemudian menjadi Uleebalang negeri Njong, sebuah kerajaan kecil Di Pidie Jaya. (lihat: H.M. Zainuddin, 1961).

Di sebelah utara mesjid, terdapat tempat pemakaman keluarga uleebalang Njong. Setahun atau dua tahun sekali, cucu-cucu keluarga uleebalang Njong yang sekarang banyak yang tinggal di Jakarta, pergi berziarah ke sini, tempat di mana kakek dan nenek mereka dimakamkan. Menurut cerita bapak saya, orang tua mereka adalah yang selamat dalam tragedi Revolusi Sosial atau yang dikenal Prang Cumbouk. Di mana akhir tahun 1945 telah terjadi perang antara kaum uleebalang pro-Belanda dengan kaum republiken (pro-Indonesia) yang terdiri dari ulama moderat (PUSA) dan dibantu oleh rakyat biasa yang selama ini memang menaruh dendam atas kekejaman para uleebalang itu. Perang itu berakhir dengan kekalahan yang diderita oleh kaum uleebalang. Sebagian besar uleebalang yang berhasil ditangkap oleh kubu republiken kemudian dijatuhi hukuman eksekusi. Sedangkan anak-anak uleebalang yang lolos dari eksekusi kebanyakan mereka memilih mengungsi ke Medan dan Jakarta.

Cerita lain yang pernah saya dengar waktu kecil adalah tentang keberadaan Keude Njong, yang merupakan sebuah Bandar atau kota pelabuhan dengan Kuala Tari sebagai tempat persinggahan kapal-kapal asing. Pelabuhan Kuala Tari merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di Pidie pada zaman kesultanan Aceh. Di Keude Njong ini berbagai transaksi perdagangan dilakukan antara penduduk lokal dengan pedagang luar seperti dari Malaya, Siam, Tiongkok, Ceylon (Sri lanka), India, Arab dan Eropa.

Malah konon ceritanya, ada serombongan pedagang dari Madras, India, yang tidak kembali lagi ke negaranya tapi memilih tinggal di sebuah tempat dekat Keude Njong. Oleh penguasa negeri Njong, orang-orang Madras ini diizinkan membeli tanah di Pulau Sawang (sekarang Gampong Sawang) dan beranak-pinak di situ. Sampai sekarang keturunan orang-orang Madras itu masih dapat kita jumpai di Gampong Sawang. Ciri-ciri mereka sama persis dengan orang-orang Tamil di India, berkulit legam dan berhidung mancung, dan anak-anak gadis mereka hampir rata-rata memilik paras yang cantik seperti kebanyakan artis film Tamil, dan semua dari mereka telah memeluk agama Islam.

Sekarang lokasi di mana Keude Njong dulu pernah berjaya telah berubah menjadi areal tambak. Menurut cerita Bapak saya yang diteruskan dari kakek, Keude Njong hancur setelah dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Namun, kapan Keude Njong dibangun dan tahun berapa dibumi-hanguskan, tidak ada informasi mendetil yang bisa saya peroleh. Tapi dari keterangan sejarawan H.M. Zainuddin dalam biografi singkatnya (Lihat: Tarikh Atjeh dan Nusantara, 1961) menyebutkan bahwa ia lahir di Keude Njong, 10 Mei 1893. Dari keterangannya itu setidaknya dapat diperoleh info, bahwa Keude Njong pada tahun 1893 masih ada.

Beberapa hari yang lalu, saya pergi menuju areal tambak di mana lokasi dulunya merupakan Bandar Njong itu. Rencananya saya mau mengambil foto rantai bekas sauh kapal di sungai likoet Keude yang dulu pernah saya lihat ketika sering main ke sini saat masih kecil. Jarak dari rumah ke lokasi sekitar 2 KM dan hampir dekat dengan Pasi Jeumeurang (Kec. Kembang Tanjong). Tapi sayangnya ketika saya datang, air sungai sedang pasang dan rantai bekas sauh kapal itu tak terlihat sama sekali. Tapi saya beruntung, pada pematang antara tambak dan sungai sekitar lokasi, saya masih menemukan beberapa pecahan keramik atau guci kuno, beberapa di antaranya ada yang bermotif kaligrafi Arab dan karakter huruf Tionghoa. Tahun berapa keramik itu dibuat, Wallahu’alam. Saya tak menemukan infomasinya.

Dulu ketika saya masih kecil, ada seorang penduduk Gampong Njong yang bernama M. Jamil, ketika sedang memperbaiki pematang tambaknya yang rusak karena pasang purnama, ia menemukan sebuah peti yang berisi gelas cangkir, ceret, dan sendok kuno yang terbuat dari kuningan dan perak. Namun sayangnya, harta karun tersebut telah dijualnya kepada seorang kolektor keturunan Tionghoa di Sigli.

Dan sekarang Keude Njong hanyalah tinggal nama, Keude Njong tenggelam bersama dengan peradabannya akibat serbuan Belanda. Beberapa misteri tentang Njong belum semua bisa saya korek informasinya, seperti keberadaan jeurat Teungku Ja dan siapa sebenarnya Teungku Ja, Kuta Sawang dan Kuta Trieng yang merupakan bekas tempat tinggal keluarga uleebalang Njong, Makam Teungku Muda Balia dan siapa sebenarnya Teungku Muda Balia itu. Karena waktu yang terbatas, saya pun harus kembali ke Lhokseumawe.

Lhokseumawe, 10 Mei 2018

@akukamaruzzaman


IMG_20180510_163543.jpg
Mesjid Baitul Abrar Njong yang sekarang, bangunan tuanya hanya tinggal 40% pada bagian utara termasuk kubah yang diatasnya ada "pedang zulfikar", selebihnya telah mengalami renovasi.

IMG_20180430_122129.jpg
Jalan setapak yang harus dilalui untuk menuju ke lokasi bekas Bandar Njong.

IMG_20180430_121110.jpg
Di sekitar lokasi terlihat dua orang petani tambak sedang mengangkat tanah yang dimuat dalam sebuah perahu kecil untuk memperbaiki pematang yang rusak akibat air pasang.

IMG_20180430_122019.jpg
Beberapa pecahan keramik dan guci kuno yang saya temukan di sekitar lokasi bekas Bandar Njong.

IMG_20180430_121248.jpg

IMG_20180430_121525.jpg

IMG_20180430_121717.jpg
Dua di antara pecahan-pecahan keramik kuno itu ada yang bertuliskan kaligrafi Arab dan Tionghoa.

IMG_20180430_121849.jpg
Lukisan alam di lokasi bekas Bandar Njong.

IMG_20180430_122535.jpg

IMG_20180510_163319.jpg
Saiful dan Abdul Kader, dua orang penduduk Gampong Sawang keturunan pedagang dari Madras (Tamil), India.

Sort:  

Aku pernah diajak kawan beli kopi di kedai depan SD Njong, rasanya enaaaakkkkkk kali... Kalau pulang tempat nenek pingin lagi ke situ. Thanks udah tulisin ini, tertuntaskan rasa penasaran pada masjid tua itu.

@ihansunrise Ohya, itu yang punya warkop namanya Bang Kamarullah. Kapan-kapan kalau mau menelusuri jejek sejarah di Njong boleh lah ajak aku sebagai guide :D Lebih enak kalo ada kartu pers, jadi leluasa kita tanyai informasinya sama masyarakat.

Memangnya udah tinggal di Njong ya?

Nggak tinggal di Njong, tapi kalau ada misi investigasi sejarah, siap pulang..hehe

Luar biasa!
Jadi masjid ini telah dibangun swbelum Indonesia merdeka yakni tahun 1935.
Masih penasaran dengan sejarah masjid in dan tokoh-tokoh penting nan misterius.
Bisa dikoreksi kembali nih sejarahnya @akukamaruzzaman.

@jarnidanababan Terimakasih, insya Allah kapan saya pulang kampung akan saya korek lagi informasi sejarah Njong dan akan saya tulis di Steemit.

Gampongnya sejarawan Aceh, HM Zainuddin. ada kisah bekas kapal tenggelam dekat Pulo Gayo di sana. Mungkin itu serpihan serpihan itu berkaitan juga dengan kapal tersebut

Betul Bang, masih ada sisa rantai sauh kapal di alue Pulo Puep. Tapi saya belum dapat bagaimana ceritanya. Yang saya tau dari Tarikh Atjeh karya H.M. Zainuddin, ada makam Raja Gayo di Pulo Gayo (Pulo 'Pueb) dan sampai sekarang makam tersebut masih ada.

Coba google De Jong Athjeher Iskandar Norman pasti keluar profil singkat HM Zainuddin, saya punya beberapa bukunya. http://iskandarnorman.blogspot.co.id/2011/04/de-jong-atjeher.html

Ya, semua buku-buku karyanya H.M Zainuddin ada melampirkan biografi singkatnya. Mantablah Abang punya banyak, saya baru punya Tarich Atjeh & Nusantara dan Singa Atjeh, terbitan Pustaka Iskandar muda.
IMG_20180512_003606.jpg

Sayang sekali pecahan keramik dan guci kunonya dibiarkan begitu saja, padahal itukan bagian dari bukti sejarah, kenapa tidak dimusiumkan ya?

@ijas.jaswar Betul kak, saya ada bawa pulang tapi nggak banyak karena nggak bawa kantong plastik. Saya sengaja nggak balik lagi untuk memungut lebih banyak, karena ada rencana mau ajak para peneliti sejarah ke tempat itu. Di dasar sungai itu, katanya masih banyak tersimpan sisa-sisa peninggalan kejayaan Keude Njong. Semoga ada waktu ke depannya mengajak mereka yang peduli sejarah untuk menggali sisa-sisa barang kuno yang masih ada di sana, seperti yang banyak dilakukan oleh para pemerhati sejarah di Gampoung Pande, Banda Aceh.

Coba gaet pihak ketiga untuk meneliti. Jelas² disitu ada jejak sejarah yg harus ditulis, didokumentasi dan diarsipkan. Masuk kecamatan apa itu ya?

@ijas.jaswar Rencananya seperti itu. Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.