The Diary Game [Sept 22, 2021] Love In A Piece Of Tofu On 'Buket Hagu'
Ada Rindu Dalam Sepotong Tahu Di Buket Hagu
Bersama ibu Wita, ibu rumah tangga pembuat Tempe
Jalan berbatu meliuk-liuk naik dan turun membelah belantara sawit akan menjadi saksi perjalanan kami berempat hari ini. Tak disangka matahari mengeluarkan rona ultraviolet-nya membakar kulit kami hingga memerah. Awalnya kami tidak mengira cuaca akan berubah menjadi panas karena pagi harinya langit masih malu-malu dibalik mendungnya. Pukul 10.30 WIB kami tiba di pajak desa Buket Hagu kecamatan Lhoksukon kabupaten Aceh Utara. Pajak adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pasar mingguan oleh masyarakat setempat.
Kami disambut hangat masyarakat, wajar saja mereka bahagia dengan senyum sumringah karena hari ini adalah hari sudah sudah lama mereka nantikan. Pasalnya siang ini akan dibagikan Buku Tabungan (Butab) dari Bank Syariah Indonesia (BSI) Lhoksukon. Butab yang akan dibagikan sepaket dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang berbentuk
Kartu ATM. Butab dan KKS BSI merupakan fasilitas Program Keluarga Harapan (PKH) yang disalurkan kepada masyarakat Pra-Sejahtera sebagai media pencairan dana Bantuan Sosial (Bansos).
PKH adalah program pemerintah pusat yang bertujuan sebagai stimulan bagi keluarga pra-sejahtera yang memenuhi persyaratan program dalam bentuk Bantuan Sosial Tunai (Cash Transfer). Sebelumnya keluarga penerima manfaat (KPM) PKH menggunakan Butab dan KKS dari BRI tetapi sekarang diganti menjadi BSI karena pemberlakuan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018. Qanun yang biasa disebut Qanun LKS (lembaga keuangan syariah) adalah peraturan daerah yang mewajibkan seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh agar melaksanakan operasional berdasarkan Prinsip Syariah.
KPM PKH desa Buket Hagu telah duduk rapi laksana barisan saf dalam salat lengkap dengan masker yang menutupi separuh wajah mereka. Riuh sedang anak usia dini yang berlarian mengelilingi ibu-ibu mereka. Acara pun dibuka dengan penjelasan oleh pendamping PKH dilanjutkan oleh Petugas Bansos BSI tentang teknis pengambilan Butab dan KKS. Ketua kelompok PKH ibu Dewi (36) ikut membantu kami berempat yang membuka dua loket penyaluran karena ada 105 orang KPM PKH yang akan disalurkan. Ada yang bertugas mengecek formulir APR dan SUPR BSI, ada yang mengecek kesesuaian data KPM, menandatangani Butab dan daftar tanda terima.
Proses Penyaluran Butab dan KKS BSI
Ketertiban KPM PKH membuat proses penyaluran berjalan lancar, sejenak setelah matahari melewati pukul 12.00 proses telah selesai. KPM PKH bisa langsung mencairkan Bansos tersebut di Bank, ATM, maupun penyedia jasa transaksi keuangan terdekat.
Oleh KPM PKH setempat kami ditawari makan siang ala kadar menurut mereka, kamipun mengiyakan karena memang jam makan siang sudah tiba dan perut sudah tidak bisa diajak bernegosiasi sementara disekitar lokasi tidak ada warung makan. Wajar saja karena lokasi desa ini jauh dari pusat kota. Kemudian senyum pun merekah dari bibir kami saat hidangan yang disajikan, aneka menu mulai dari ayam goreng, tahu dan tempe goreng, lalapan khas Jawa juga tersedia dilengkapi dengan Gulai Pliek U yang masih suam-suam kuku. Dengan perasaan gembira kami melahap semua hidangan dengan perasaan mantap terutama tempe bacem. Berada di Buket Hagu seakan kita sedang ada di Pulau Jawa, suasana kampung Jawa dengan lekuk bumi berbukit yang eksotis dengan jalan menanjak dan menurun yang cukup curam.
Sajian makan siang ala warga Buket Hagu
Lalapan khas Jawa dengan berbagai variasi menu tempe dan tahu merupakan sajian umum di desa Buket Hagu. Buket Hagu dihuni oleh masyarakat Aceh keturunan Jawa. Suku Jawa di desa Buket Hagu sudah turun temurun sejak lama, bahkan ada yang sudah lebih beberapa dasawarsa tinggal disana. Orang tua KPM PKH malah ada yang lahir disini.
Buket Hagu merupakan desa transmigrasi tahun 1977 dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) saat ini 850 KK atau lebih dari 2000 jiwa yang tersebar di enam Dusun. Desa ini berjarak 15 kilometer dari Lhoksukon, Ibukota Kabupaten Aceh Utara. Wikipedia.
Balai Desa Buket Hagu
Setelah menyantap masakan ala Jawa kami lanjut melaksanakan salat zuhur di mesjid dekat pajak. Jalan menuju masjid sedang dalam proses pengerasan dan rehab. Masyarakat disini sudah lama menantikan pembangunan jalan yang layak. Akses transportasi menjadi kendala klasik bagi masyarakat disini, meskipun ada empat sekolah negeri disini masyarakat kesulitan akses jalan ke ibukota untuk mendapatkan fasilitas publik. Apalagi saat hendak memasarkan produk hasil industri rumah tangga seperti tempe, tahu, maupun hasil alam lainnya. Masyarakat umumnya bergantung hidup pada hasil perkebunan yaitu tanaman kelapa sawit.
Mesjid Batu III (Patok 3)
Ibu-ibu rumah tangga disini ada yang membantu ekonomi keluarga dengan membuat tempe dan tahu. Produksi tempe dapat dilakukan dirumah sebagai pekerjaan sampingan untuk menyangga ekonomi keluarga. Sementara tahu menjadi usaha mikro yang membuka lapangan kerja harian bagi ibu-ibu rumah tangga, didesa ini ada beberapa pabrik tahu. Tempe dan Tahu produksi buket hagu hampir sama dengan Tempe dan Tahu yang beredar dipasaran, menurut saya pribadi Tempe dan Tahu disini lebih lembut terasa di lidah. Teknik pembuatan Tempe dan Tahu disini merupakan warisan turun temurun. Sederhananya, seperti rasa bakso yang dibuat orang Aceh asli, di lidah pecinta kuliner akan terasa berbeda dengan bakso buatan orang Jawa.
Ibu Wita bercerita proses pembuatan Tempe
Saya tidak sempat melihat proses pembuatan tempe dan tahu di desa ini karena KPM PKH disini memang meliburkan kegiatannya sehari untuk mengikuti penyaluran Bansos hari ini. Saya sempat menemui salah seorang KPM PKH yang memproduksi Tempe bernama Witayani (38), sayangnya hanya tersisa sedikit tempe karena pagi harinya sudah dijual. Witayani yang lebih akrab dipanggil Wita merupakan generasi kedua masyarakat transmigrasi asal Jawa didesa ini. Ibu tiga anak ini menyempatkan waktu membuat tempe disela-sela kegiatannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya yang pertama sudah menikah, anak kedua masih SMP kelas tiga, sedangkan yang ketiga masih usia dini. Sejak setahun lalu ia menyisihkan dana Bansos PKH yang ia dapat sebagai modal usaha pembuatan Tempe. "Alhamdulillah saat ini saya berencana menambah produksi tempe, biasanya saya beli sendiri kedelai dan ragi dari pasar ukuran 1/2 Sak untuk sekali buat, kedepan saya mau buat 1 Sak, 1 Sak kedelai ukurannya 50 Kilogram, dalam 1 Kilo saya dapat untung 20 ribu rupiah" jelas Wita.
Tempe tersisa yang masih terbungkus daun Pisang
Tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul 16.07 sore. Kami pun pamit pulang menuju Lhoksukon, kembali menuruni jalan berbatu sejauh lebih lima kilometer. Langit semakin muram, agaknya tak lama lagi hujan akan turun membasahi bumi yang begitu panas tadi siang. Kami berempat berangkat pulang dengan sumringah tak kira rasa capai dan penat seharian, pasalnya kami diberikan oleh-oleh Tempe dan Tahu oleh warga. Setelah melewati jalanan gersang setengah perjalanan kami disambut hujan deras pertanda rahmat Tuhan tengah dilimpah. Buket Hagu, aku akan kembali lagi untuk sepotong Tahu, aku sendiri masih penasaran dengan proses pembuatan tahu ala Buket Hagu. Terimakasih atas keramahan kalian, semoga jalan yang sedang direhab lekas selesai.
Congratulations ! You Got Upvote by Youth Club Community.
Join Youth Club Community
Introduction Youth Club Community
Tulisan yang sangat bagus nan unik, dan Salam sukses untuk ibu penjual tersebut.
Terimakasih atas apresiasi nya Bro @guski. Salamnya nanti disampaikan.
Postingan ini telah dihargai oleh akun kurasi @steemcurator08 dengan dukungan dari Proyek Kurasi Komunitas Steem.
Selalu ikuti @steemitblog untuk mendapatkan info terbaru.
@ernaerningsih.
Thank you @ernaerningsih & @steemcurator08
👍👍