Mengenal Ale Tunjang, Musik Tradisi Asli Aceh Utara yang Hampir Punah |

in Steem SEA3 years ago

Alee Tunjang_01.jpg
Alat musik alee tunjang yang hampir punah karena tidak ada regenerasi.


Ale tunjang merupakan salah satu alat musik tradisional khas Aceh Utara yang merupakan keluarga perkusi yang mulai jarang dimainkan dan dikhawatirkan akan punah karena tidak ada adalah regenerasi. Satu-satunya gampong (desa) yang masih melestarikan musik ale tunjang hanya di Desa Prie Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara. Setelah masa panen, masyarakat di sana sering memainkan ale tunjang sampai pagi.

Alee Tunjang adalah sekumpulan alu dan lesung yang dimainkan secara bersama-sama dengan cara menumbukkan alu di dalam sebuah ritmis yang sudah diatur sedemikian rupa untuk mengiring tarian yang berjudul sama.

Alee tunjang atau alu tunjang popular dan berasal dari Aceh Utara, mempunyai sejarah panjang dan sudah lama dimainkan terutama di daerah-daerah pedesaaan. Terdiri dari empat atau enam lesung yang mempunyai bentuk dan panjang alu yang berbeda, demikian juga dengan bahan pembuatannya yang berbeda untuk menghasilkan karakter suara yang berbeda pula.

Bentuk dari alee tunjang adalah alunya menunjang seperti galah, sedangkan lesungnya seperti gelondongan batangan kayu yang diletakkan vertikal, lebih kurang setinggi paha. Biasanya dimainkan oleh kaum wanita dan bisa juga campur antara laki laki dan wanita.

Komposisi atau letak susunan pemain alee tunjang terdiri dari 4 atau 5 perempuan masing-masing berdiri horizontal, lengkap dengan alun yang panjangnya sekitar 2,5 meter. Di belakang mereka diletakkan lesung dengan ketinggian dari batas kaki hingga sampai batas paha sekitar 70 cm.

Kepala ditundukkan sehingga mata dapat melihat sasaran lubang lesung, yang kemudian ditumbuk secara ritmik sesuai irama yang dikehendaki atau interlocking figuration. Gaya musiknya (degree of prominence) yang mempesona. Bila dibantu dengan alat musik lain, maka posisi alee tunjang berada di muka atau di depan.

Sejarah Ale Tunjang

Alkisah, seorang raja di daerah Buloh Blang Ara (Aceh Utara) memperoleh seorang putra. Raja memanggil seorang ahli nujum untuk melihat bagaimana nasib sang pangeran nanti. Ahli nujum mengatakan bahwa kelahiran tersebut akan membawa mala petaka bagi negeri atau kerajaan tersebut.

Mendengar penuturan ahli nujum, raja memutuskan untuk membuang putranya jauh ke dalam sebuah rimba yang penuh dengan pepohonan rindang yang mempunyai akar tunjang (ada yang berpendapat di situ banyak batang yang rebah dengan akar tunjangnya di sana-sini).

Beberapa tahun kemudian, beberapa pencari rotan di hutan melihat ada seorang anak (putra raja tersebut) sedang bermain-main menumbuk batang kayu yang rebah dengan menggunakan akar tunjang. Ada juga yang mengatakan bahwa anak tersebut sedang asyik bermain dari akar tunjang yang satu ke akar tunjang lainnya, sambil memukul-mukul, dan menimbulkan suara atau ritmik yang berirama dengan tingkahan yang indah. Karena besar akar tunjang tersebut tidak sama, maka suaranya pun berbeda-beda dan sangat menarik.

Kemudian pencari rotan tersebut mendekati anak tersebut dan dibawa pulang ke rumahnya serta diasuh sebagai anaknya sendiri. Oleh anak itu permainan akar tunjang tersebut diteruskan di desa tempat tinggalnya yang baru itu bersama dengan anak-anak lain di sekitarnya.

Dari kisah ini pula, lahirlah nama suatu alat musik tradisional yang disebut “Alee Tunjang” atau dalam bahasa Indonesianya adalah “Alu Tunjang”.

Bahan dan bentuk
Alee Tunjang terdiri dari empat atau enam buah lesung yang masing-masing mempunyai alu atau galahnya sebagai penumbuk. Untuk satu set alu tunjang, memerlukan batangan gelondongan bak panah (batang nangka) dan bak mane. Agar tahan lama, batangan tersebut dipotong-potong sepanjang sekitar 70 cm dapat dan diawetkan dengan direndam di dalam lumpur.

Setelah beberapa bulan direndam, batangan kayu kemudian diangkat, dibersihkan bagian luarnya dengan mengulitinya. Kemudian dihaluskan dan dibentuk bulatan pada bagian atas, seperti topi dan pada bagian badannya memanjang dibentuk sedikit bersegi dan diberi lubang seperti lubang lesung, tapi tak seberapa lebar dan dalam. Untuk membedakan karakter suara, ukuran kedalaman dan lebar lesung disesuaikan sesuai kebutuhan. Terakhir pembuatan ragam hias ukiran-ukiran yang indah pada bagian atas dan pada bagian badannya.

Bentuk alee adalah menunjang tinggi seperti galah, sedangkan lesungnya gelondongan batang kayu masing-masing memiliki kedalaman lubang berbeda-beda, sehingga apabila dimainkan menghasilkan suara yang berbeda-beda pula pada tiap lesungnya, ukuran lesung lebih kurang setinggi lutut orang dewasa. Cara bermain diletakkan di depan masing-masing.

Alee tunjang menggunakan bahan baku dari kayu nangka dan batang mane untuk lesungnya (bahasa Aceh: leusong). Sedangkan untuk alu dibuat dari pelepah daun nira (bak jok) yang masih muda dan panjang alee mencapai 2-4 meter. Terdapat enam lesung pada musik alee tunjang, masing-masing lesung memiliki ukuran yang berbeda-beda.

Alee berukir

Alee penuh dengan ukiran ukiran spesifik semacam hiasan urat-urat yang melingkar, dan ornamen-ornamen lain yang menarik dan mempesona. Lesung biasanya dibuatkan ukiran yang cantik dan spesifik Aceh berupa dimensi-dimensi lengkung dan motif seperti bunga-bungaan.

Alee tunjang biasanya tidak dicat atau diwarnai, tetapi dipelitur dengan warna coklat tua ataupun dipernis, karena bahan kayu yang terpilih dari batang nangka atau bak mane biasanya lambat laun akan berwarna coklat dan kalau sering-sering dimainkan atau dipegang-pegang otomatis akan menjadi licin dan berkilat.

Adapun lesungnya terdiri dari:

  1. Lesung aneuk sempom satu buah dibuat dari bahan batang nangka.
  2. Lesung syup syup satu buah dari batang nangka atau bak mane.
  3. Lesung rempah bisa berjumlah dua buah atau tiga buah.
  4. Alu dibuat dari pelepah enau sebanyak dua tangkai dan dari jenis kayu yang lembut sebanyak dua tangkai.

Perbedaan jenis bahan baku yang digunakan baik untuk lesung dan alunya, maka akan memberikan efek timbre suara yang berbeda-beda seperti:
Lesung dari batang nangka agak berbeda suaranya bila dibandingkan dengan lesung dari batang mane, begitu juga alu dari pelepah enau yang setengah kering berbeda pula dengan alu dari kayu lembut lainnya.

Lesung rempah lebih rendah dan dangkal lubangnya bila dibandingkan dengan lesung aneuk seumpom dan lesung syup-syup.

Berbagai fungsi

Alee tunjang memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, komunikasi, perlambangan atau simbol, dan sosial. Alee tunjang dimainkan dengan menghepas/memukul alu ke dalam lubang lesung dan digunakan sebagai alat untuk alee tunjang dan mengatur ritmik para penyair wanita.

Jumlah pemain alee tunjang terdiri dari 4 atau 5 orang wanita, dan bisa juga campuran antara laki laki dan perempuan. Ini tidak termasuk pemain/penyairnya yang juga wanita. Biasanya ditampilkan sebagai hiburan sehabis panen di sawah, digelar di halaman terbuka atau di halaman rumah pada bila sedang purnama, atau dapat juga ditampilkan pada upacara-upacara tertentu apabila diperlukan. Kisah atau syair-syair disesuaikan menurut tujuan pergelarannya. Ada yang berisi sejarah, nasihat turun-temurun, sampai ajaran agama.

Ketika memainkan alee tunjang dalam pertunjukan biasa, para pemainnya hanya menggunakan pakaian sehari-hari. Tapi bila dalam pertunjukan khusus, haruslah dengan memakai pakaian adat Aceh.

Sampai saat ini, alee tunjang sangat jarang dimainkan, kecuali di Gampong Prie Kecamatan Tanah Pasir. Tak heran bila banyak generasi muda Aceh, bahkan di Aceh Utara, yang tidak mengenal musik ale tunjang.[Dari berbagai sumber]



Sumber: AcehLive Official

Sort:  

Baru tau ada musik tradisional seperti ini. Di jawa juga ada tapi, memakai lesung panjang dan di mainkan beberapa orang. Biasanya perempuan yang memainkannya sambil numbuk padi.

Pada cerita rakyat sunda, lesung dimainkan dalam kisah Dayang Sumbi, sewaktu anaknya akan melamar. Syarat yang membatalkan lamaran membuat perahu dalam satu malam, jika terdengar lesung berbunyi dan ayam berkokok yg menandakan terbit fajar. Maka terkenal dengan legenda Tangkuban Perahu.

 3 years ago 

Banyak anak muda yang tidak tahu kesenian ale tunjang ini. Saya juga baru tahu sekitar dua bulan lalu, ketika diceritakan seorang di Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe.

Jadi kita baru sama-sama tahu dong 😁

Bg @ayijufridar knp sih postingan ratna jarang sekali di vote?? Sedih lah. Apa lg bln ini gak bisa power up, setiap postingan sepi gitu. Lucu ya. Member selalu di abaikan

 3 years ago 

Bang Ayi memang jarang aktif sekarang, sok sibuk di akhir tahun... Tapi masih banyak yang memberikan perhatian kepada @ratnakumbang kumbang di taman, hehehehe....

Malas bahas di sini bg ayi wa aja bisa, 085260903992 itu no ratna

 3 years ago 

Okay. Sudah disimpan nomornya....

Tangkiuuuu Mr @ayijufridar 🙏🤗

 3 years ago (edited)

Tapi long penasaran, kiban sue cabeung jok tapeeh bak bak panah. Trep-trep tapeeh ancoe jih cabeung jok. Tapi miseu bak tring sang lagak lom sue irama yang dihasilkan.

 3 years ago 

Nyan na video di ateuh @midiagam, cie neu tonton dile...

Oke.