Dari mana sebaiknya kita mulai belajar?
Haruskah kita menenggelamkan diri dalam teori yang tertulis rapi dalam buku-buku?
Ataukah kita langsung terjun ke lapangan sembari mempraktekkan segala hal dengan tangan dan kaki yang siap kotor?
Dari mana harus mulai? Teori dulu atau praktik langsung?
Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang kerap diutarakan ketika membahas wacana teori vs praktek. Atau jangan-jangan kita butuh guru untuk menuntun kita di belantara ilmu.
Saya pernah mengalami semuanya. Menghabiskan masa muda di bangku kuliah dengan setumpuk buku tebal yang berisikan teori-teori megah. Konon katanya, buku adalah fondasi peradaban.
Teori-teori lari tunggang-langgang begitu saya harus menghadapi dunia nyata. Sebagaimana yang saya utarakan di postingan yang lalu.
Teori adalah hal yang dianggap sebagai sesuatu yang membosankan. Berjam-jam membaca buku, mencatat, menghafal, tanpa pernah menyentuh dunia nyata.
Kalau saya pakai simile, teori itu sendiri bak pondasi. Meskipun tidak terlihat, tapi keberadaannya sangat menentukan kekokohan struktur di atasnya. Legitimasinya amat kuat.
Begitu juga dalam kehidupan kita. Seorang dokter, misalnya, tidak mungkin langsung menangani pasien tanpa terlebih dahulu memahami anatomi tubuh manusia. Sudah semestinya para dokter menghabiskan bertahun-tahun mempelajari teori sebelum akhirnya diizinkan memegang pisau bedah, atau spekulum.
Kalau tidak, lengah dikit nyawa bisa melayang.
Teori memberikan kita peta alias gambaran besar. Atau dengan kata lain kerangka berpikir yang membantu kita memahami dunia sebelum kita benar-benar melangkah ke dalamnya.
Ada seorang gitaris dahsyat yang belajar secara otodidak. Hebat? Oh jelas. Dia bisa memainkan melodi-melodi indah dan membuat pemirsahh terpesona.
Tapi ketika diajak join main orkestra, sontak dia terlihat bingung. Notasi balok, staccato, allegro? Semua itu seperti bahasa outsider baginya.
Banyak orang berpendapat bahwa teori harus didahulukan. Alasan klasiknya, teori mempersiapkan kita untuk terjun ke lapangan. Mereka yang belajar teori dulu cenderung lebih terstruktur dalam berpikir dan bertindak. Itu suatu hal lumrah yang saya dapatkan di dunia nyata.
Ada juga yang berpendapat sebaliknya. Praktik adalah guru terbaik. Anda bisa membaca ribuan halaman tentang teknik renang, tapi Anda tidak akan pernah bisa berenang jika tidak pernah menyentuh air.
Bagaimana pendapat anda? Saya hanya mencoba mengelaborasi perdebatan teori vs praktek dengan objektif. Saya rasa keduanya sama-sama diperlukan untuk memberikan hasil yang optimal.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
Congratulations! This post has been voted through steemcurator09. We support quality posts, good comments anywhere and any tags.
Terima kasih…
kee enak, kalau pas kopi.. banyak kali bahan tulisan, coba kalau abis dapat tagihan.. langsung pening, tak jelas kapan bangun kapan tidur. Hahah... ada bagusnya juga menulis semacam ini, jadi seperti tempat melepaskan isi pikiran dengan bebas sekalian kasih bahan kuliah yaa??
kiban sagoe nyan?
Sekarang hari ini gak ada lagi tagihan ini-itu kak…. tagihan-tagihan tu udah bukan tanggung jawabku lagi. Sekarang yang bikin aku pusing itu pas jaga lilin. Kalau lilinnya merah, baru puyeng aku.
Sagoe nyoe aman asai lilin warna hijau… Hahaha
bereh lah meunyo meunan, mari kita lanjutkan jaga lilin itu. Loen syit siuroe sigoe jak pantau lilin mirah atawa hijau nyan. walaupun tak seberapa mana, kalau ada yang bisa diserok sikit, serok teros... tak mampu anak mudanya pinjam sana sini untuk keperluan mendesak yang akhir2 ini sering muncul ntah darimana.
asalkan masih ada yang bisa dijaga, gaskeun!!
Belajar mari belajar
Hahaha