Merangkai Kenangan dari Potongan-potongan yang Tersisa
Di antara beragam kebiasaan yang berkembang seiring perkembangan diri, salah satu yang paling konsisten dalam hidup saya adalah tradisi pertemuan dengan kawan-kawan kecil setiap kali saya akan kembali ke Kota Banda Aceh. Bukan hal yang aneh, setiap kali saya akan meninggalkan kampung halaman, kawan-kawan masa kecilku selalu mengadakan semacam selebrasi kecil-kecilan.
Bukan selebrasi yang gemerlap, sih, hanya pertemuan intim dan lebih personal yang diadakan sembari mengenang ritual lama kami yang tak pernah usang dimakan waktu.
Ini baru berlangsung selama dua tahun belakangan, sebab sebelum lanjut ke jenjang perguruan tinggi, saya selalu ikut ke mana pun mereka pergi.
Anehnya, dalam pertemuan seperti ini, tak ada satu pun dari mereka yang absen. Semuanya selalu punya waktu, tak peduli seberapa sibuk mereka dengan kerepotannya masing-masing. Padahal, sehari-harinya, masing-masing dari kawan kecil ini selalu punya dalih yang tak berkesudahan untuk menghindar dari ajakan sekadar bergumul membunuh waktu.
Malam itu, sebelum kembali ke Banda Aceh karena liburan telah berakhir dan waktu untuk kembali ke kampus sudah tiba, saya tak menaruh ekspektasi tinggi. Saya hanya menghubungi dua dari mereka, berharap bisa sekadar berbincang ringan, mengenang masa lalu yang kini hanya berupa fragmen dalam ingatan. Dua orang, tak lebih.
Beberapa lainnya saya ketahui sedang sibuk dengan aktivitas akademiknya. Ada yang sibuk magang, sibuk organisasi, dan beberapa yang masih duduk di bangku SMA sibuk dengan ekstrakurikuler dan aktivitas perlombaannya.
Sebagian besar dari pertemuan itu diisi dengan obrolan ringan tentang masa kecil. Bagaimana kami bermain petak umpet di senja yang memerah, atau bagaimana kami melompat tali di bawah bayangan pohon rindang. Ingatan temporalku yang kadang-kadang mengkhianati masih berusaha merangkai kembali kenangan-kenangan itu dari potongan-potongan yang tersisa.
Kami berasal dari latar belakang usia yang berbeda-beda. Dulu, saat kecil, kami sering bermain dalam kelompok-kelompok yang disesuaikan dengan usia. Mereka yang seumuran dengan saya biasanya menjadi anggota “reguler” dalam permainan seperti petak umpet, lompat tali, kejar-kejaran, atau bersepeda bersama.
Sementara itu, mereka yang lebih tua punya kendali lebih dalam permainan. Mereka punya otoritas—ah, otoritas—dalam menetapkan aturan, juga menentukan siapa yang boleh bermain atau tidak.
Saya ingat betapa kami yang lebih muda sering merasa jadi kacung bagi mereka yang lebih tua. Namun, sebagai seseorang yang sejak kecil tidak terlalu vokal dan lebih banyak diam, saya cenderung memendam keresahan itu sendiri. Ketika saya merasa dirugikan, saya lebih memilih untuk mundur dari permainan atau pura-pura sakit. Dasar people pleaser sejak dini.
Satu lagi, yang lebih muda dari saya biasanya hanya menjadi “anak bawang” dalam permainan. Tidak ada kemenangan atau kekalahan bagi mereka, tugas mereka hanya untuk meramaikan permainan saja.
Namun, seiring waktu, banyak yang berubah. Kawan-kawan kecil saya kini sudah berkuliah atau bekerja di luar daerah. Yang tersisa hanya sebagian kecil saja.
Malam itu, saya memilih untuk pergi sendiri ke tempat makan yang telah kami sepakati, sebuah kafe bernuansa Korea yang tak jauh dari rumah. Saya tidak mengekspektasikan banyak orang akan hadir. Namun, ketika saya sampai, saya agak terkejut ketika yang datang bukan satu atau dua orang seperti yang dijanjikan, melainkan lebih dari lima orang. Sungguh menggembirakan dan bikin haru.
Kami banyak bicara soal masa kecil, terutama menjelaskan kepada gebetan kawan saya, tentang bagaimana masa kecil kami berlalu. Kenangan masa kecil selalu punya tempat khusus dalam benak kita. Meski seperti halnya kenangan lain, mereka hanya menjadi bagian dari masa lalu yang tak mungkin terulang.
Upvoted. Thank You for sending some of your rewards to @null. It will make Steem stronger.
Click Here
"Wah, keren banget foto-foto di sini! 📸👍 Saya suka sekali membaca cerita tentang kebiasaan pertemuan dengan kawan-kawan kecil setiap kali kamu kembali ke Kota Banda Aceh. Membuat saya merasa seperti sedang menyaksikan kisah yang sangat santai dan nyaman. 😊
Saya harap kamu bisa terus membagikan cerita-cerita menarik lainnya tentang masa kecilmu! 💡 Dan jangan lupa untuk membagikan foto-foto lebih banyak lagi, ya! 📸👍
Jika kamu ingin meninggalkan komentar di blog ini, saya sarankan kamu untuk melihat postingan terbaru dari @xpilar.witness. Banyak ide menarik untuk mencoba dan menginspirasi kita semua menjadi lebih baik! 💡
Saya juga ingin meminta bantuanmu dalam membantu mengembangkan ekosistem Steem dengan memberikan suara untuk saksi yang sangat hebat, @xpilar.witness. Kamu bisa melakukan ini dengan mudah dengan mengunjungi https://steemitwallet.com/~witnesses dan memberikan suaranya untuk saksi tersebut! 🙏
Semoga kita semua bisa terus berbagi dan mendukung satu sama lain dalam komunitas Steem yang sangat luar biasa ini! 💕"