The Diary Game Better Life [Kamis, 23 September 2021]: Sepenggal Kisah di Bengkel Pandai Besi
Diary saya hari ini bercerita tentang Marzuki, pendai besi pembuat berbagai jenis senjata tajam. Ada tumpuan dan harapan yang disampaikannya kepada pemerintah, semoga tersampaikan.
Pagi tadi saya mengambil rute lain untuk olah raga. Bila sebelumnya sering dari Cot Iri ke Uleekarang, kini balik kea rah selatan, dari jembatan Cot Iri ke jembatan Lambaro. Jalur ini memang lumayan sepi waktu pagi. Lebih leluasa jogging. Satu-satunya yang mengganggu adalah sering mencium aroma kotoran lembu dari balik bantaran sungai, ketika melewati kandang lembu milik warga.
Ketika kembali dari Lambaro ke Cot Iri, aku menemukan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sebuah rumah pandai besi, tempat senjata tajam ditempa. Aku penasaran, padahal menurut orang-orang, pandai besi itu sudah lama di sana, hanya aku saja yang tak memperhatikannya.
Marzuki mengasah parang yang ditempanya [foto: dok pribadi]
Sampai ke rumah, setelah membersihkan diri, sarapan, lalu mengantarkan putri pertama saya ke sekolah, ingatan saya masih ke tempat pandai besi itu. Sekitar pukul 10.00 WIB ketika berbelanja ke Pasar Induk Lambaro, aku kembali melewati bengkel pandai besi di pinggir jalan desa Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar itu. Bengkel itu masih sepi, mungkin pemiliknya ada di dalam.
Maka, siang usai menjemput anak di sekolah. Aku kembali lagi ke sana. Dua orang oria duduk terlihat di sana, satu duduk di bangku kayu panjang, satu lagi sibuk mengasah parang. Aku beri salam sebagai basa basi permulaan pertemuan, mereka menyambut dengan ramah.
Pria pertama yang duduk di kursi kayu ternyata seorang pelanggan. Ia datang jauh-jauh dari Montasik untuk memperbaiki parang, beberapa sadeup dan pisau. Pria kedua yang duduk di tanah mengasah parang ternyata Marzuki, dialah pemilik tempat menempa senjata tajam itu.
Senjata tajam produk Marzuki [foto: dok pribadi]
Marzuki berusia 49 tahun. Ia sudah lama menggeluti pekerjaan itu. Ayah dua anak ini mengaku setiap hari rata-rata hanya laku tiga sejata tajam buatannya, kadang-kadang parang, ada kalanya pisau, dan sebagainya. “Cukup untuk makan dan operasional lah. Paling dalam sebulan ada sisa Rp500 ribu,” jelasnya.
Pria asal desa Lam Ujong, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar ini sangat bersyukur dengan pekerjaannya itu. Baginya lebih baik bekerja dengan keahlian sendiri dari pada bekerja pada orang lain. Yang penting baginya berusaha secara sunguh-sungguh, ”meugrak jaroe meu’ek igoe.” katanya. Asal mau berusaha, ada yang bisa dimakan.
Marzuki menambahkan, soal kualitas, senjata tajam buatannya bisa diuji dengan barang luar. Pelanggannya datang dari berbagai daerah sekitar. Ia sudah lama menggeluti profesi tersebut. Keahlian menempa senjata tajam didapat secara turun termurun dari keluarganya.
Senjata tajam lainnya buatan Marzuki [foto: dok pribadi]
Menariknya, ternyata di bengkel pembuatan senjata tajam Marzuki itu, ia pernah menerima mahasiswa praktek dari Universitas Syiah Kuala (USK). Untuk bahan baku pembuatan senjata tajam, ia menggunakan besi pilihan, untuk menekan biaya, ia menggunakan besi per dan as mobil bekas.
Untuk tubueng pengikat senjata tajam dengan gagangnya, Marzuki menggunakan kuningan dari biji timbangan (aneuk ceng) yang dilebur dan dibentuk kembali sesuai kebutuhan. Kalau di luar sudah ada kuningan yang berbentuk pipa, sehinga bisa praktis saat dipakai untuk tubueng. “Kita di sini karena tidak ada terpaksa harus olah sendiri dengan berbagai cara,” kata Marzuki.
Marzuki sangat berharap bantuan pemerintah untuk pengadaan alat-alat kerja, agar kerja lebih praktis dan memangkas waktu pembuatan. “Jangan kasih uang, kalau bantuan uang banyak yang akan tercecer, lebih baik kasih alat, agar bisa bekerja maksimal dan bisa memperkejakan para pandai besi lainnya,” harapnya.
Dulu Marzuki pernah mempekerjakan beberapa orang. Tapi setelah sepi pembeli, kini bekerja sendiri karena tidak sanggup menutup biaya operasinal dan gaji karyawan. Makanya ia sekarang bekerja sendiri.
Dari tempat Marzuki saya kembali ke rumah, ada rutinitas kerja yang harus diselesaikan, mengedit berita kiriman wartawan untuk media tempat saya bekerja. Usai shalat asar ngopi bersama @munaa di warung kampung sambil menunggu jadwal jemput anak mengaji. Malamnya saya hampir lupa belum membuat postingan. Maka, meski telat, saya selesaikan juga postingan sederhana menjelang tengah malam.
Bonus pisang di halaman bengkel Marzuki yang seolah sebatang bertanda dua, padahal batangnya juga dua [foto: dok pribadi]
Bereh nyan pak @isnorman na parang ngen koh pisang
Memang bereh utoh Aceh Rayeuek.
Payah tapiyoh bak utoh nyan watee tajak u banda
jeut hai, sikin na parang na, rahet na, sadeup pih na, ba beulanja ju beule.
Promosi juga.... jika laris dapat pisau nantinya.
Bantu sesama insan.