Menjemput Rindu di Pintu Takdir
Sudah hampir satu jam aku menyetir, melewati jalan-jalan yang tak asing namun terasa berbeda setiap kali perjalanan ini kutempuh. Tujuan kami adalah Cirebon, sebuah kota yang hari ini menjadi panggung kecil bagi rindu-rindu yang menggumpal. Matahari berdiri gagah di atas sana, memancarkan panas yang membuatku menurunkan kaca jendela, membiarkan angin bercampur debu masuk.
Setelah Jumatan tadi, kami langsung berangkat. Jalannya lurus, tapi rasanya lambat. Udara panas terasa menyelimuti, mengingatkan pada perjalanan mudik saat kecil dulu, ketika waktu seakan enggan bergerak. Tapi kali ini ada tujuan yang membuat perjalanan ini terasa berarti: anak sulungku.
Bis pondok itu akan berhenti di sebuah titik di kota ini, menurunkan santri-santri yang pulang ke kampung halaman mereka. Mereka adalah anak-anak yang mencintai ilmu, tapi tetap menyimpan rindu yang sama—pada rumah, pada orang tua, pada hangatnya kehidupan sederhana yang sempat mereka tinggalkan.
Aku tahu, aku tidak sendirian di sini. Ayah-ayah lain juga ada, berdiri di sisi jalan, menyeka keringat sambil melirik jam tangan. Ada kesamaan yang tak perlu diucapkan di antara kami: rasa rindu yang menggebu.
Anak sulungku, ah, ia anak yang dulu lucu. Dulu, jika hendak tidur, ia hanya mau digendong di bahuku. Kini, ia telah tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah. Waktu berlalu begitu cepat, terlalu cepat.
✿
Aku bersyukur, sungguh bersyukur, sampai detik ini semuanya berjalan dengan lancar. Padahal dulu, ketika pertama kali kami memutuskan untuk mendaftar ke pondok, semuanya serba bimbang. Tidak ada yang pasti, kecuali keinginan anakku yang begitu besar untuk belajar agama.
Masuk pondok membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pendaftaran, seragam, kitab-kitab, dan uang bulanan yang terus berjalan. Pendapatanku? Jauh dari cukup untuk semua itu. Tapi saat itu kami tetap berusaha, dengan hati yang penuh doa, meski kecemasan terus menghantui.
Aku ingat betul, hari itu kami mendaftar dengan harap-harap cemas. Satu sisi, aku takut ia tidak diterima dan kecewa. Tapi di sisi lain, aku lebih takut jika ia diterima, bagaimana kami akan membiayainya? Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk, seperti ombak yang tidak mau reda.
Kenangan masa kecilku muncul, menambah rasa khawatir. Kedua kakakku hanya mampu menamatkan sekolah hingga SD. Kakak yang paling sulung sedikit lebih maju, sempat melanjutkan ke SMP, tapi ia pun tak bisa menyelesaikan ujian akhir karena biaya. Aku tahu bagaimana rasanya melihat cita-cita harus berhenti di tengah jalan karena ketiadaan uang.
✿
Ketika pengumuman itu tiba, hatiku seperti genderang perang, berdetak tak beraturan. Anakku diterima. Harusnya aku bahagia, kan? Tapi kenyataan tak seindah itu. Aku tidak memegang uang sepeser pun untuk melunasi biaya awal yang diminta. Jumlahnya terlalu besar bagi kami, hampir mustahil terpenuhi.
Bukannya lega, hatiku justru bertambah gelisah. Pihak pondok mengirim pesan, mengingatkan bahwa jika pembayaran tidak dilakukan hingga batas waktu, anakku dianggap mengundurkan diri. Kalimat itu seperti duri yang menancap, menambah cemas yang sudah meluap-luap. Aku duduk termenung, memikirkan segala cara. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyerah?
...
Waktu terus berjalan, hari demi hari.
Hingga jarum jam semakin mendekati batas akhir. Dua jam sebelum semua benar-benar ditutup, aku masih tak punya jawaban. Tapi saat itu, entah bagaimana, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Sebuah rezeki yang tidak pernah kusangka-sangka datang menghampiri. Rasanya seperti embun yang menetes di tengah kemarau panjang.
Aku tidak ingin menunggu sedetik pun.
Uang itu langsung kutransfer ke pihak pondok, memastikan anakku tetap diterima. Dan saat semuanya selesai, ada perasaan lega yang sulit dilukiskan. Air mataku jatuh, bukan hanya karena rindu yang sebentar lagi terwujud, tapi juga karena Allah telah menunjukkan bahwa takdir selalu punya jalan—bahkan ketika aku hampir kehilangan harapan.
Tak lama setelah itu, Allah kembali membukakan pintu lain. Aku mendapatkan pekerjaan tambahan, yang akhirnya cukup untuk menutupi biaya bulanan pondok. Setiap bulan tetap terasa berat, tapi kali ini aku yakin, semua akan ada jalannya. Anakku kini belajar di pondok, dan aku belajar dari pengalaman ini: bahwa ragu boleh hadir, tapi jangan pernah berhenti berusaha dan berdoa. Karena di balik setiap kesulitan, Allah selalu menyimpan jawaban.
✿
Pukul dua siang akhirnya kami tiba juga.
Mobil perlahan melaju menuju sebuah masjid yang berdiri megah di tepi jalan. Masjid itu indah, dengan kubah yang memantulkan cahaya matahari sore. Di halaman masjid, pemandangan yang selalu kutunggu terlihat jelas: anak-anak berkumpul, satu per satu dipeluk erat oleh orang tua yang telah lama merindukan mereka.
Aku duduk sejenak di kursi mobil - ya mobil yang dulu hanya sebatas angan-angan bagiku. Aku membiarkan momen itu meresap. Ada haru yang tak bisa kubendung. Ini lebih dari sekadar pertemuan setelah berpisah. Pemandangan itu mengingatkanku pada perjalanan panjang yang kami lalui. Bukan hanya tentang jarak atau waktu, tapi tentang setiap doa yang terucap, setiap air mata yang jatuh, dan setiap ragu yang akhirnya luruh oleh keyakinan.
Yang paling menyentuhku bukan hanya pelukan itu, tetapi pelajaran besar yang Allah tanamkan di hati ini: jangan pernah melupakan Allah. Dalam keadaan apapun—baik di tengah harapan yang menggebu, maupun di tepi jurang putus asa—selama kita meminta kepada-Nya, Allah tidak akan pernah meninggalkan.
Aku keluar dari mobil, dan di sana dia berdiri, anak sulungku, dengan senyum yang menghapus semua lelah. Kupeluk dia erat, lebih erat dari biasanya. Bukan hanya karena aku rindu, tapi juga karena aku tahu, pelukan ini adalah hadiah dari Allah, atas setiap langkah yang kami tempuh bersama doa-doa yang tak pernah berhenti.
Jum'at, 20 Desember 2024