Teknik Wawancara untuk Jurnalis |
Wawancara dengan tenaga medis di RRI Lhokseumawe tentang keselamatan mereka selama pandemi.
Oleh Ayi Jufridar
Terminologi
Wawancara adalah tanya-jawab dengan seseorang atau lebih (narasumber) untuk mendapatkan keterangan, data, atau meminta pendapat narasumber tentang suatu hal atau masalah. Wawancara sering dihubungkan dengan pekerjaan jurnalistik untuk keperluan penulisan berita yang disiarkan dalam media massa. Namun wawancara juga dapat dilakukan oleh pihak lain untuk keperluan, misalnya, penelitian atau penerimaan pegawai.
Perbedaan penting antara wawancara dengan percakapan biasa adalah wawancara bertujuan pasti: menggali permasalahan yang ingin diketahui untuk disampaikan kepada khalayak pembaca (media cetak), pendengar (radio), atau pemirsa (televisi). Namun berbeda dengan penyidik perkara atau interogator, wartawan tidak memaksa tetapi membujuk orang agar bersedia memberikan keterangan yang diperlukan.
Tujuan
Seorang jurnalis melakukan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang lengkap, akurat, dan adil (fair). Seorang pewawancara yang baik mencari sebuah pengungkapan atau wawasan (insight), pikiran atau sudut pandang yang menarik, yang cukup bernilai untuk diketahui. Jadi bukan sesuatu yang sudah secara umum didengar atau diketahui.
Sikap
Sebelum melakukan wawancara, seorang jurnalis menyadari bahwa dirinya seorang jurnalis, bukan interrogator. Seorang jurnalis harus membebaskan diri dari segala kepentingan di luar dari prinsip-prinsip jurnalisme (netral, independen, berimbang). Karena itu, penting untuk membebaskan diri dari egoisme pribadi, tidak emosional meski berbeda pendapat, ideologi dengan narasumber.
Persiapan
Sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, idealnya jurnalis harus harus melakukan berbagai persiapan, apalagi jika wawancara tersebut berkaitan sebuah berita yang memiliki magnitude besar. Rangkaian persiapan mencakupi:
- Pastikan sudah membuat janji dengan narasumber hingga detail; hari, tanggal, jam, tempat. Sebagian narasumber adalah orang sibuk, atau untuk menghidari benturan kegiatan narasumber.
- Membuat daftar pertanyaan serta data yang kita butuhkan. Ini tidak harus membuat wawancara berlansung secara kaku. Daftar pertanyaan hanya sebagai patron saja. Perlu dilakukan pengembangan agar mendapatkan informasi lebih luas. Terkadang, narasumber mempunyai informasi penting yang tidak termasuk dalam daftar pertanyaan.
- Penting bagi jurnalis untuk mengetahui latar belakang persoalan yang ditanyakan. Hal ini semacam peta atau kompas bagi wartawan dalam melangkah sehingga tidak tersesat dalam perjalanan (selama proses wawancara).
Memperhatikan, Bukan Sekadar Mendengarkan
Menurut Satrio Arismunandar, salah seorang produser dan di Trans TV, salam proses wawancara wartawan harus memantau semua yang diucapkan oleh dan bahasa tubuh dari orang yang diwawancarai, sambil berusaha menciptakan suasana santai dan tidak-mengancam, yakni suasana yang kondusif bagi berlangsungnya wawancara. Dalam prakteknya, berbagai pikiran muncul di benak si pewawancara ketika wawancara sedang berlangsung. Seperti: Apa yang harus saya tanyakan lagi? Bagaimana nada bicara orang yang diwawancarai ini? Dari gerak tubuh dan nada suaranya, apakah terlihat ia bicara jujur atau mencoba menyembunyikan sesuatu?
Seorang pewawancara secara sekaligus melakukan berbagai hal: mendengarkan, mengamati, menyelidiki, menanggapi, dan mencatat. Kadang-kadang ia seperti seorang penginterogasi, kadang-kadang secara tajam ia menyerang dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan orang yang diwawancarai, kadang-kadang ia mengklarifikasi, kadang-kadang pula ia seperti pasif atau menjadi pendengar yang baik. Seberapa sukses suatu wawancara tergantung pada kemampuan melakukan kombinasi berbagai keterampilan yang ini secara pas, sesuai dengan tuntutan situasi dan orang yang diwawancarai.
Sifat wawancara bermacam-macam, tergantung dari informasi apa yang diinginkan si pewawancara dan bagaimana situasi serta kondisi yang dihadapi orang yang diwawancarai. Sifat wawancara bisa sangat bervariasi, dari yang biasa-biasa saja sampai yang antagonistik. Dari yang mempertunjukkan luapan perasaan sampai yang bersifat defensif dan menutup diri.
Jika seorang wartawan mewawancarai seorang pejabat pemerintah tentang keberhasilan salah satu programnya, tentu si wartawan akan mendapat tanggapan yang baik dan panjang-lebar. Namun jika si wartawan mencoba mengungkap praktek korupsi yang diduga dilakukan oleh pejabat bersangkutan, tentu si pejabat akan bersikat defensif bahkan tertutup.
Wartawan yang baik harus mengerti bagaimana cara “memegang” orang yang diwawancarai dan menangani situasi. Wartawan harus bisa merasakan, apa yang harus dilakukan pada momen tertentu ketika berlangsung wawancara –kapan ia harus bersikap lembut, kapan harus ngotot atau bersikap keras, kapan harus mendengarkan tanpa komentar, dan kapan harus memancing dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.[]
Wawancara tentang orang dengan gangguan jiwa di RRI Lhokseumawe.
Berbicara adalah seni tersendiri. Saya suka artikel ini Bang ayijufridar.
Saya bukan jurnalis radio @aneukpineung78. Tapi sejak kecil bermimpi jadi penyiar radio. Meski belum terwujud sampai sekarang, tapi bisa menjadi host acara di radio. Alhamdulillah juga.