Pagi Basah, Kuah Teucrah, Gelebah, Rindu Rumah
Pagi itu desau angin, rinai membasahi Desa Jenangan pagi jam delapan-an. Setumpuk pisang bertumpuk di atas piring merah di atas meja yang dikelilingi dengan penuh tatakan buku kiri kanan depan di ruang bacaan.
Aku duduk terdiam di pojokan seraya bersandaran di kursi yang sebenarnya tidak ada sandaran. Entah kemana sandarannya, nir agih enigma padaku pasalnya akupun sendiri tak tahu dimana (aku).
Terdengar alunan lagu syahdu dari seorang jejaka muda dari balad yang beza, “Well you only need the light when it’s burning low. Only miss the sun when it starts to snow...”. Sejenak mantik dan atmaku berkembara lagi ke balad yang terlampau idam kusebut Tanah Merah Riyadhah.
”Only know you’ve been high when you’re feeling low. Only hate the road when you’re missing home. Only know you love her when you let her go. And you let her go...”, Berlanjut Passenger melirihkan kata tersebut melalui lagunya.
Ku gigit pisang keduaku perlahan dengan tatapan kosong menatap di antara celah buku yang tersusun rapi kurang lebih enam meter berada di depanku. Jujur aku tak tahu ke arah mana pikiranku mengembara. Satu yang aku tahu pasti, aku rindu rumah dan Kuah Teucrah
.
Terang saja beberapa lagu menggiring kita ke masa silam. Entahpun kelam. Tapi ini bukan soal asmaraloka. Ini soal masa dimana kau melakukan hal-hal yang teramat bodoh hingga beberapanya terkadang menyapa dalam masa penyesalan yang teramat dalam di masa yang akan datang. Sekarang...
Berkali-kali ketika hening sunyi sendiri, rekaman tolol itu kerap kali datang berlari-lari suka cita di sirahku tanpa ketuk dan sapa.
”Ibu, aku sudah bilang bahwa aku capek sehabis pulang sekolah sampai malam. Aku tidak sanggup mengerjakan apapun lagi atau membantumu hari ini. Aku sangat lelah”, Sentakku kepada Ibu yang telah berjibaku dengan kuali, baskom, kompor, piring, sendok, pisau, daun pisang serta dagangannya dari pagi buta hingga tengah malam.
Entah setan apa yang merasuki tubuh remaja empat belas tahunan merta mulutnya pada saat gulita menggigil gigit itu.
”Ibu dimana kau letakkan sajadahku ? Aku mau sholat”, Sentakku lagi kesekian kalinya. ”Coba cari di lemari kamar tengah, Dek. Jangan marah-marah dulu. Coba cari sekali lagi pelan-pelan. Ibu sedang masak agar-agar”, Sahutnya masih lembut kepadaku yang tak tahu diri (malu).
Pada zahirnya seekor nyamuk yang hinggap di jari tengah menyadarkanku di pagi rinai basah. Entah aku hanya kelewat teramat hawa Kuah Teucrah atau aku hanya yang terlampau lalu rindu rumah pasal mulai merasa jengah resah menanggung gelabah di balad antah berantah pada sang puan di Tanah Merah Riyadhah.
Warm regards,
Intropluv