Short Story - Song Of Life Part 2
Part 2 Percakapan Dengan Masa Lalu
Keesokan paginya, sinar matahari menembus gorden tipis di kamar Aldo. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia bangun sedikit lebih awal, meski rasa berat di dadanya masih ada. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajah, dan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menjalani hari.
Aldo tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini—terjebak dalam rutinitas tanpa tujuan. Tapi masalahnya, ia bahkan tak tahu dari mana harus memulai. Rasanya seperti berdiri di depan pintu yang tak terlihat, mencari pegangan, tapi hanya menemukan kekosongan.
Setelah menyeruput kopi pahit dan menghabiskan sisa roti kering di meja dapur, pikirannya melayang ke masa lalu. Dulu semua terasa lebih mudah. Waktu ia masih kuliah, hidup adalah tentang impian dan kebebasan. Ia dan beberapa teman, termasuk Raka, sering tampil di kafe-kafe kecil, memainkan musik yang mereka buat sendiri. Itu bukan hanya hobi—musik adalah napas dan jiwa Aldo. Ia percaya suatu hari mereka bisa membuat album dan dikenal sebagai musisi.
Namun, seperti kebanyakan mimpi di masa muda, realitas akhirnya mengambil alih. Setelah lulus, tuntutan orang tua memaksanya untuk "mencari pekerjaan yang jelas." Impian bermusik pun ia kubur demi sebuah karier di perusahaan, sesuatu yang menurutnya lebih "aman dan realistis." Tahun-tahun berlalu, dan musik yang dulu menjadi bagian dari dirinya mulai memudar.
Sore itu, dengan kepala penuh kenangan, Aldo membuka lemari di sudut kamar dan menemukan gitar tuanya. Lapisan debu di permukaan gitar menunjukkan betapa lama ia tak menyentuhnya. Ia mengusap debu itu dan membuka kunci nada. Jemarinya menyentuh senar, tapi hanya menghasilkan nada yang sumbang. Gitar itu seolah ikut mencerminkan kehidupannya saat ini—tua, berdebu, dan tak lagi selaras.
Tanpa sadar, Aldo mulai memetik satu demi satu senar. Suaranya pelan, tapi nada-nada itu membawa kembali memori masa lalu: tawa teman-teman, penampilan mereka di panggung kecil, dan rasa haru saat penonton ikut bernyanyi bersama. Namun, semua itu kini hanya bayangan yang menyakitkan.
"Kapan terakhir kali aku bahagia seperti itu?" Aldo bergumam pelan pada dirinya sendiri.
Ia mencoba memainkan sebuah lagu yang dulu sering ia mainkan bersama Raka. Tapi jemarinya kaku, seakan-akan melupakan keajaiban yang dulu pernah mereka ciptakan. Setiap nada terdengar aneh dan asing di telinganya, membuatnya semakin sadar betapa ia telah meninggalkan bagian penting dari dirinya.
Kenangan tentang Raka membuat hatinya terasa lebih berat. Raka sukses, sedangkan aku terjebak di sini, tenggelam dalam penyesalan. Ia tahu Raka masih bermain musik dan sudah menelurkan beberapa album indie yang mendapat respons positif. Setiap kali mendengar kabar tentang Raka, ada rasa iri yang bercampur dengan penyesalan—seandainya aku tidak berhenti dulu, mungkin aku bisa berada di tempat yang sama.
Namun, bukan hanya karier musik yang ia tinggalkan. Ada juga momen-momen kecil yang ia abaikan—waktu bersama keluarga, kesempatan untuk menjalin hubungan lebih erat dengan teman-teman, dan impian-impian sederhana yang terlewatkan begitu saja. Semuanya ia korbankan demi mengejar kesuksesan yang sekarang tampak seperti fatamorgana.
Aldo menghela napas panjang dan menunduk, menatap gitar di pangkuannya. Rasanya seperti berbicara dengan bagian dari dirinya yang sudah lama hilang.
"Apakah semuanya sudah terlambat?" pikir Aldo. Ia merasa seperti seseorang yang terjebak di tengah laut, tak tahu arah, dan hanya bisa hanyut mengikuti arus.
Namun, di tengah kepasrahan itu, muncul sebuah ide. Mungkin aku bisa mencoba lagi. Bukan untuk menjadi bintang, tapi sekadar untuk menemukan kembali bagian dari diriku yang hilang. Ia sadar, saat ini ia tidak membutuhkan kesuksesan besar; ia hanya butuh satu alasan untuk bangun setiap hari. Mungkin itu bisa dimulai dari sesuatu yang kecil.
Aldo tersenyum tipis, walaupun hatinya masih dipenuhi keraguan. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada harapan kecil yang bersembunyi di dalam hatinya—sebuah bisikan bahwa mungkin, hanya mungkin, belum terlambat untuk memulai dari awal.
" In this farewell There's no blood, there's no alibi 'Cause I've drawn regret From the truth of a thousand lies So let mercy come and wash away What I've done I'll face myself To cross out what I've become Erase myself And let go of what I've done".
What I've Done - Linkin Park
Thank You For Reading My Post and Thank You For All Curators for the Endless Support, Until Next Time, Peace✌️ and Love ❤️ from Indonesia
Here I Am Explore and Expose The Exotic, Regards @mytravelandscape
| Travel Story| Thought| Tutorial| YouTube
Makassar 21 November 2024
Unless otherwise specified, text and photos are copyright
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.