Cerpen : HALAMAN BELAKANG SEKOLAH

in Indonesia3 years ago

20210601_202543.jpg

SETELAH HUJAN REDA, kau meninggalkan halte dan membelah jalanan yang hanya dilalui oleh satu-dua kendaraan. Di kepalamu yang sudah tidak lagi berotak, namanya masihlah terasa segar, entah menempel pada syaraf yang mana. Ajaib memang, gadis yang menemanimu melewati masa putih abu-abu, yang rambut-nya selalu tergerai dan terjuntai hingga ke pinggang, yang duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang sekolah sambil menikmati sepotong tahu isi, yang tak pernah bercakap cakap atau berbaur dengan teman lainnya, nyatanya telah mencuri hatimu.

Jika saja otakmu masih ada dan tidak kau kubur di halaman belakang sekolah, mungkin kau bakal lebih kacau dari ini.

Teman-teman selalu membicarakannya, mendesas-desus di belakangnya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang senang nyeletuk, membuat julukan “Anak Pembunuh” menempel pada tubuh kurusnya selama dua tahun. Maka, selama itu kau hanya diam atau diam-diam memperhatikannya. Mencuri pandang dari kursi barisan depan—urutan ketiga dari pintu. Dia tahu kalau kau sering memandangnya, karena kadang pandanganmu dan pandangannya bertemu. Hanya saja dia tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain datar. Pikirmu, barangkali dia menyamaratakanmu dengan yang lain.

Tidak, tidak! Tidak boleh begitu!

Akhirnya, pada siang yang terik, ketika dia menikmati sepotong tahu isi di halaman belakang, untuk kali pertama dalam hidupmu, kau memberanikan diri duduk tak jauh darinya. Hanya duduk, tidak menyapa atau melakukan sesuatu seperti memakan roti kemasan yang baru kau beli di kantin sebelum datang ke tempat ini.

“Tu—tunggu!” cegahmu ketika melihatnya bangkit dan menepuk-nepuk bagian belakang roknya.

Dia menoleh ke kiri dan kanan, kemudian menatapmu bingung. Dari tatapannya, dia seperti bertanya, “Apa kamu bicara padaku?”

“Ini!” Kau menyodorkan sebuah buku yang tadi kau jadikan alas duduk, lantas berlalu meninggalkannya.

Dengan setengah berlari, kau menyembunyikan muka mu yang merah seperti udang rebus. Kau malu, benar-benar malu karena memberikan buku Cinderella.
Apa tidak ada buku yang lebih keren? Ah, sudahlah!


Dia akan datang, kau percaya itu. Layaknya Cinderella, dia akan datang ke pesta ulang tahunmu yang ketujuh belas, meski tak mengenakan gaun cantik atau sepatu kaca. Toh, buat apa semua itu. Jika dia kabur, tentu kau sudah mengenalnya. Kau akan menghampirinya tanpa takut keliru.

Maka, saat teman-teman sudah berkumpul, kau baru menyadari kalau dugaanmu salah. Dia bukan gadis yang akan datang ke pesta hanya karena kau berteriak di depan kelas, mengajak semua teman untuk hadir. Dia butuh diajak bicara empat mata, dan kau masih tak pernah berani bicara dengannya kecuali saat memberikan sebuah buku di halaman belakang sekolah.

Jadi, pagi ini kau menghampirinya, mengulurkan tanganmu dan berkata, “Berry.”

Tak ada jawaban darinya, bahkan membalas uluran tanganmu saja tidak. Dia menunduk dalam, mundur dua langkah, lalu tanganmu menggenggam pergelangan tangan nya saat kau dapati dia hendak kabur.

“Aku hanya ingin berteman.”

“Aku harus pergi.”

“Kenapa?”

“Lepaskan!”

Dia menarik tangannya paksa, membuatmu tak punya pilihan selain membiarkannya pergi. Setelahnya pun sama, dia tetap tak berminat menjadi temanmu, entah karena alasan apa. Yang kau tahu dia terus menghindarimu, bahkan sudah sebulan lamanya dia tak pernah lagi kedapatan masuk sekolah.


Itu rumahnya, yang bercat hijau ketupat. Kau dapati alamatnya dari wali kelas, dan kau sudah berdiri di depan pintu. Berkali-kali kau mengetuk, dan berkali-kali pula tak ada jawaban.

“Pergi!”

Kau membalikkan badan ketika menyadari kalau dia berdiri di belakangmu. Tangan kirinya menenteng kantong kresek putih berlogo sebuah apotek. Membuatmu dengan cepat bertanya apakah dia sakit.

“Bukan urusanmu.”

“Apa ayahmu yang melakukan semua ini?” tanyamu begitu melihat lebam di pipi kanannya yang terhalang rambut.
“Aku akan melaporkan ini ke polisi.”

“Kamu akan terluka jika mengurusi orang lain.”

“Aku hanya ingin melindungimu.”

“Dan melihatmu hanya membuatku ingin segera mati.”

Hening. Perbincangan sore itu hanya ditutup dengan suara bantingan daun pintu.


Kau masih tak mengerti kenapa dia membencimu. Mungkin karena teman-teman mulai membuat gosip baru, tentang betapa tidak tahu dirinya seorang anak pembunuh yang menolak uluran tanganmu. Hanya saja kau baru menyadari apa yang sebenarnya salah. Dia adalah anak pembunuh. Semua orang tahu itu. Namun bukan itu yang membuat matamu terbelalak, kakimu mundur beberapa langkah dan punggungmu menempel ke dinding di belakang pintu yang terbuka.

Teman-teman sedang membicarakan gadis itu, yang baru kembali masuk ke sekolah dan masih setia duduk di bangku paling belakang. Dari perbincangan itu, kau baru menyadari kalau yang dibunuh bapaknya adalah ayahmu.


Bapaknya hampir saja menghunuskan pisau tepat ke jantungmu ketika gadis itu ditemukan gantung diri di halaman belakang sekolah. Kau masih tidak mengerti kenapa memaafkannya malah membuat dia jadi begitu. Kau tidak marah kepadanya. Kau memaafkan bapaknya. Dan dua hari kemudian, gadis itu ditemukan gantung diri di pohon mangga tempatnya biasa berteduh.

“Kenapa harus kau? Kenapa dia harus jatuh cinta kepadamu?” Bapaknya terduduk di tanah basah bekas guyuran hujan semalam. Menunduk dalam-dalam. Tangannya tak lagi mencengkram pisau, tetapi mencengkram rumput liar di sekitar kakinya. Bibirnya bergetar, matanya basah oleh air yang menggenang dan enggan tumpah.

“Selama ini dia sudah tersiksa dengan masa lalunya. Anak bodoh itu bahkan diam saja saat dipanggil Anak Pembunuh. Sampai suatu hari, saat saya pikir lukanya telah hilang, saat saya dapati buku hariannya dipenuhi warna merah jambu, kemudian … kenapa dia jatuh cinta dengan orang yang salah. Kenapa harus kau? Kenapa harus anak dari pria yang pernah memerkosanya?”

Pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan itu, yang seharusnya membuat hatimu berbunga-bunga, nyatanya malah serupa belati yang menancap dalam. Begitu sakit, sangat perih.

Kau tidak tahu bagaimana harus menebus segalanya saat hujan turun hari ini. Rintik-rintik hujan itu pasti selalu berjatuhan, menusuk-nusuk, bahkan membanjiri hatinya. Bisa jadi langit dengan awan kelabu terus menodongkan kenangan buruk kepadanya. Kau berpikir tentang itu berulang kali. Maka, setelah hujan reda, kau tidak ingin mengingat apapun. Tidak sedikit pun. Itu sebabnya kau terduduk, menggali tanah dengan kuku-kukumu, mengubur kenangan tentangnya, juga otakmu.

Namun percuma saja, namanya masih segar dalam ingatanmu. Hujan di hatinya juga terdengar deras menusuk gendang telingamu. Bahkan saat dia memutuskan gantung diri di halaman belakang sekolah, kau merasa kalau dia tidak pernah mati. Jika memang ada yang mati, itu adalah kau.[]

20210601_202549.jpg


Sumber foto : Twitter

Salam,

20210505_015725_0000.png

Sort:  

Toh, buat apa semua itu.

Tetap putus asa, jangan semangat!