Mungkinkah Hasan Tiro Sang Proklamator GAM itu Plagiat?

in #indonesia7 years ago (edited)

Entah secara kebetulan belaka atau barangkali memang dilakukan dengan sadar, buku yang ditulis oleh pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Hasan Muhammad Di Tiro dengan judul asli; Atjeh Bak Mata Donja, yang pada tahun 2013 dialih bahasakan ke bahasa Indonesia oleh Haekal Afifa sekilas memiliki judul yang sama dengan buku Mochtar Lubis “Indonesia di Mata Dunia”. Buku Mochtar itu berisi tentang catatan perjalanan jurnalistiknya yang memuat kritik kepada pemerintah Indonesia dalam urusan diplomasi luar negeri.

24312749_1895812223779919_383747210242228197_n.jpg

Saya mendapati serpihan cerita tentang buku itu beberapa hari yang lalu, ketika ‘tersesat’ dalam sebuah blog yang mendaras kisah Hasan Tiro berjumpa dengan Mochtar Lubis. Cerita perjumpaan itu, diakui oleh pemilik blog sebagai salah satu bagian yang menarik dari isi buku Indonesia di Mata Dunia.

Dalam buku itu Mochtar Lubis menulis perjumpaannya dengan Hasan Tiro terjadi pada musim hujan yang terus turun di kota New York, ketika dia bertandang ke sebuah gedung di Fifth Avenue yang menjadi kantor Hasan Tiro. Perjumpaan dengan pemuda yang baru memproklamirkan diri sebagai duta Negara Islam Indonesia di PBB itu, dikisahkan Mochtar Lubis terjadi sangat canggung sebab “Hasan Tiro tersenyum ragu-ragu menjabat tangan saya”.

Sebagai jurnalis, Mochtar menggambarkan cukup detail sosok yang berada di hadapannya itu. Dalam catatannya dia menulis, “orangnya muda. Badannya sedang besarnya. Dan raut mukanya manis. Rambutnya disisir licin-licin. Dan dia berpakaian necis”.

Mochtar juga tak luput memperhatikan ruangan yang dijadikan Hasan Tiro sebagai kantor. Menurutnya kantor itu sangat kecil. Kurang lebih tiga kali tiga meter. “hanya sebuah meja tulis, dua kursi, dan sebuah sangkutan topi dan baju”. Begitu gambaran Mochtar Lubis tentang Hasan Tiro dan kantor yang ia tempati sebagai duta Negara Islam Indonesia.

Pertemuan di Fifth Avenue dalam sebuah ruang yang sempit dan hujan yang terus turun tak berhenti di kota New York itu, langsung dimanfaatkan tanpa basa-basi oleh Mochtar Lubis untuk menanyakan kabar terhangat tentang protes Hasan Tiro terhadap kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya memproklamirkan diri sebagai duta Negara Islam Indonesia.
Di dalam buku Indonesia di Mata Dunia, pada halaman ke 13, dua pertanyaan dari Mochtar Lubis dijawab dengan nada diplomatis yang tampak jelas dalam tiap kalimat Hasan Tiro.

Dia menegaskan tak bisa mundur lagi menghadapi kabinet Ali yang makin represif terhadap gerakan Darul Islam. “Jika kami berdiam diri, kami habis dibunuh semua. Lihat apa yang terjadi di Aceh,” jawab Hasan Tiro atas pertanyaan Mochtar Lubis; apa sebab ia memproklamirkan diri sebagai duta Negara Islam Indonesia.

Lalu Mochtar melempar pertanyaan kedua yang masih satu simpul dengan pertanyaan pertama; tapi mengapa tidak protes dengan cara yang lain? [kenapa harus memproklamirkan diri sebagai duta Negara Islam Indonesia]. Namun alih-alih langsung menjawab, Hasan Tiro malah melempar tanya pada Mochtar, “bagaimana kami bisa memprotes?”

Mochtar terdiam.

sesungguhnya Hasan Tiro tak membutuhkan jawaban Mochtar, sebab ia langsung melanjutkannya dengan kalimat yang tegas “cara parlementer sudah jalan buntu,” katanya tegas.

Begitulah isi perbincangan Mochtar Lubis dengan Hasan Tiro dalam buku Indonesia di Mata Dunia. Saya belum membaca buku ini. Namun merasa beruntung tersesat pada blog yang memuat sekilas isi buku lengkap dengan foto cuplikan isi halaman 13.

Berbeda dengan penulis blog tersebut, percakapan Mochtar dengan Hasan Tiro di dalam buku Indonesia di Mata Dunia yang menurutnya menarik, saya memiliki catatan lain. Ketika melihat judul buku Mochtar itu, saya langsung teringat dengan judul buku yang ditulis oleh Hasan Tiro.

Buku itu di cetak pertama sekali di New York pada tahun 1968. Judul aslinya “Atjeh Bak Mata Donja”. Bahasa yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah bahasa Aceh. Isinya banyak mengandung tentang sejarah Aceh dan "romantisme" Aceh masa lampau sebagai wilayah yang berdaulat.

Buku Atjeh Bak Mata Donja juga memasukkan pesan-pesan identitas ke-acehan [sebuah terma yang belakangan ini cukup populer bagi masyarakat Aceh]. Hasan Tiro dalam bukunya ini menurut saya cukup berhasil menyambungkan antara sejarah, romantisme, dan membantu ‘merekontruksi ulang’ identitas para penghuni wilayah yang disebut Aceh ini. Sekalipun buku Atjeh Bak Mata Donja tidak seperti buku babon, namun data-data yang ia sajikan cukup melimpah.

Saya punya buku Atjeh Bak Mata Donja yang telah dialih bahasakan tahun 2013 ke bahasa Indonesia dengan judul yang sama “Aceh di Mata Dunia” itu.

Namun yang mengganjal dalam pikiran saya, apakah judul buku yang ditulis oleh dua anak Sumatra yang cemerlang ini dengan judul yang nyaris sama, hanyalah kebetulan belaka? Kita tahu yang membedakan dua judul buku tersebut hanyalah kata ‘Indonesia’ dan ‘Aceh’ saja.

Akan tetapi sejarah lebih dahulu mencatat ‘Indonesia di Mata Dunia’ milik Mochtar Lubis lah yang pertama lahir. Bahkan cetakan kedua buku itu yang dikerjakan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1960. Cetakannya yang pertama diterbitkan oleh National Publishing House tanpa membubuhkan keterangan tahun. Sebelumnya, sebagaimana catatan Mochtar dalam bukunya itu, pertemuannya dengan Hasan Tiro di New York terjadi pada tahun 1954.

Sedangkan Atjeh di Mata Donja milik Hasan Tiro, sebagaimana yang tertera di dalam buku edisi yang sudah dialih bahasakan, cetakan pertamanya dilakukan tahun 1968 di kota New York. Berikutnya buku ini juga pernah terbit lagi tahun 1977 di Glee Mampree dan Stockholm pada 1984.

Tiga kali Atjeh di Mata Donja lahir tanpa sama sekali menjelaskan siapa penerbitnya. Dan itu berbeda dengan edisi dalam bahasa Indonesia, terjemahan Haekal Afifa, yang turut menyertakan nama penerbit buku.

Kini kedua anak Sumatra yang cemerlang itu telah berpulang. Tentu konfirmasi atas dua judul buku yang nyaris sama itu sulit dilakukan. Kepada mereka berdua saya memanjatkan doa agar dilapangkan kubur, ditempatkan pada sisi orang-orang yang dimuliakan Tuhan. Terima kasih atas dua buku yang bagi saya adalah harta karun tersebut. Alfatihah.

Sort:  

yang saya baca dari tulisan Hasan Tiro, sebagai salah orang yang saya salut pemikirannya, adalah... dia seperti Nietzche cara menulisnya.

Btw, buatlah posting introduceyourself, perkenalkan dirimu dulu kepada semua... tujuannya adalah untuk membuktikan dirimu bukan robot atau palsu yang ujungnya akan berhubungan dengan wallet saat kamu membutuhkan uang untuk menariknya dari steemit ini...

gunakan tag introduceyourself indonesia ksi

Saleum kak Mariska...

Ya betul. Hasan Tiro sedikit tidaknya memang mengikuti alur pikiran Nietzche. Beberapa kalimat-kalimat Nietzche ia kutip dan ditabalkan pada buku karangannya.

Terima kasih sarannya kak Mariska, soal introduceyourself. Saya baru memulai ini semua. Belum begitu paham. Sarannya akan saya ikuti. :)

Congratulations @alfathasmunda! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

You published your First Post
You made your First Comment

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!