Acehnologi (Review) "TRADISI BERGURU DI ACEH" [VolumeIII:Bab28]
Ketika mendengar kata Aceh, "kota syariat" langsung terbayang bagi masyarakat luar. Berguru di Aceh disebut dengan "megure" dan tradisi ini merupakan suatu kehidupan masyarakat Aceh yang ingin menuju gerbang keilmuan yang megure kepada ulama atau guru. Pada megure sistem tradisional masyarakat Aceh memang lebih mencari ilmu yang disebut dengan "jak meudagang" di dayah yang juga mengabdikan kehidupannya disana.
Mengapa penulis mengaitkan hal ini dengan sistem pendidikan? Ketika membahas tradisi meugure ini adalah bahwa dayah atau pesantren merupakan sumber peradaban yang paling asli di nusantara. Karena lembaga pendidikan ini mampu menghasilkan self (jiwa) yang memiliki spirit. Proses pencarian pengenalan self yang dibingkai dalam tradisi meudagang telah menciptakan suatu sistem kosmologi bersifat transenden. Dari tradisi inilah kemudian orang Aceh mampu memahami keberadaannya sebagai manusia. Konsep keberadaan (being) dan diri (self) dapat ditemukan dalam pemikiran Hamzah Fansuri yang merupakan intelektual Aceh yang spirit nya masih dapat dirasakan sekarang.
Saat ini, tradisi intelektual sepertinya sulit kita cicipi lagi, diakibatkan saat ini tradisi tersebut hanya terpaku pada mikro-kosmos, dan makro-kosmos enggam dipentingkan lagi, dapat dikatakan bahwa pada level peradaban, salah satu faktor kejumudah dunia pendidikan Aceh adalah kana kehilangan dpirit intelektual. Kehilangan arah dalam memahami dunia pendidikan Aceh inilah yang menjadikan spirit intelektual meredup, sehingga jika dulu jebolan dayah mampu menjadi "harta" di dalam suatu kehidupan bermasyarakat, atau sarjana yang dilahirkan mampu mentransfer eksistensinya , berbeda dengan sekarang yang kian meredup.
Walaupun dulu pendidikan belum tersentuh oleh dunia modern, namun karya intelektual Aceh mampu menjadi rujukan hingga sekarang terutama juga di bidang agama, hal ini dikarenakan dulu lebih memusatkan kepada makro-kosmos yaitu adanya kegelisahan jika dari mereka tak mampu mewariskan sesuatu kepada generasi berikutnya. Pertemuan dengan peradaban barat dan jawa lah akhirnya arah pendidikan di Aceh hanya ditujukan pada aspek mikro-kosmos. Walaupun demikian Aceh tetap menghasilkan pemikir-pemikir yang sangat otentik. Mereka dengan segala keterbatasn telah menghasilkan karya dan spirit intelektual yang amat kuat pada generasi berikutnya.
Aceh memiliki akar sejarah tersendiri dalam membangun dunia intelektual, disaat Aceh sudah bangkit saja ternyata Barat baru menemukan spirit intelektual mereka yang diperlihatkan oleh Hegel. Sepertinya kita harus kembali kepada aspek kosmologi Aceh yang menjadi pijakan berfilosofi kita. Mungkin saja ketika mengingat sekarang menuntut ilmu bukan untuk mendapat spirit intelektual namun hanya untuk formalitas semata disinilah letak mengapa generasi akan datang semakin menurun kredebilitasnya.